PENUTUPAN
warung Bu Saeni oleh Satpol Pamong Praja (PP) Kota Serang, Banten, sesungguhnya
merupakan peristiwa biasa dan lumrah. Dalih satpol PP pun jelas, menjalankan
Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan, dan Penanggulangan Penyakit
Masyarakat. Serta, Surat Edaran Wali Kota Serang Nomor 451.13/556-Kesra/2016
tentang Imbauan Bersama Menyambut Bulan Suci Ramadan terkait jam operasional
rumah makan.
Tidak ada yang
istimewa dari peristiwa tersebut. Satpol PP adalah alat negara yang memiliki
keabsahan untuk bertindak atas nama negara. Sebagai alat negara, satpol PP
lebih ’’pantas’’ melakukan razia terhadap penyakit masyarakat daripada
organisasi masyarakat lain.
Negara adalah
lembaga tertinggi dalam masyarakat. Tidak boleh ada organisasi dalam masyarakat
yang kekuasaannya melebihi negara. Negara dituntun oleh kebajikan publik, bukan
orang per orang.
Dalam kasus Bu
Saeni, apakah perintah perda dan razia satpol PP sudah berdasar pada kebajikan
publik, ini yang perlu dipersoalkan. Sebab, jika negara menjalankan fungsinya
dengan baik, tidak ada alasan menolak kehadiran negara.
Negara bukanlah
milik pribadi atau golongan. Negara harus bersifat netral kepada semua warga
negara agar kepentingannya tidak terganggu oleh keberpihakan yang tidak adil.
Netralitas ini
penting agar ia tidak terjebak pada dominasi kelompok besar atau dikendalikan
oleh sejumlah kecil orang. Dalam keindonesiaan, tidak ada mayoritas dan
minoritas, yang ada hanyalah warga negara. Di hadapan negara, setiap warga
negara berada dalam posisi dan kedudukan yang setara.
Sejarah
kebangsaan kita adalah sejarah keragaman suku dan agama. Sejarah kita adalah
sejarah kerukunan satu sama lain. Bangsa ini memiliki toleransi cukup tinggi
terhadap yang berbeda. Tidak perlu ada yang mengajarkan tentang toleransi,
karena kita sudah mempraktikkannya.
Masyarakat
alamiah kita sudah terbiasa dengan perbedaan. Semua agama hidup berdampingan
dengan cara damai. Etnisitas yang berbeda juga nyaman hidup bersama tanpa menghadirkan
ketegangan yang berarti. Yang puasa maupun yang tidak puasa bisa berjalan
secara baik. Yang besar melindungi yang kecil. Begitu sebaliknya, yang kecil
tidak pernah merasa menjadi kerdil.
Toleransi itu nature
keindonesiaan kita. Tak perlu ada perintah lewat spanduk-spanduk,
slogan-slogan, apalagi perundang-undangan. Tegasnya, tidak perlulah
keindonesiaan kita diajari bagaimana harus bersikap toleran kepada yang
berbeda. Sebab, memang inilah watak dari kepribadian bangsa Indonesia.
Tapi, belakangan,
sifat kealamiahan kita ini mulai terusik. Faktor utamanya adalah menguatnya
intoleransi sosial dalam masyarakat. Tidak lagi menjadi gejala, tetapi sudah
berkembang menjadi fakta.
Fenomena Bu
Saeni dan pembatalan 3.143 peraturan daerah (perda) bermasalah oleh negara
menjadi salah satu titik picunya. Ada semangat menghadap-hadapkan persoalan
tersebut dengan agama sebagai isu sensitifnya.
Logika yang
disusun pun terjebak pada fallacy (sesat pikir) yang berbahaya. Yakni,
memberikan analog pembanding antara menutup warung di bulan Ramadan dengan
upacara Nyepi di Bali atau pemasangan pohon Natal di mal-mal. Begitu pun dengan
pembatalan ribuan perda oleh pemerintah seolah menjadi pembuktian ketidakadilan
yang diciptakan negara.
Pembatalan
perda bermasalah menjadi amunisi untuk menyerang negara ke area sensitif, yakni
kezaliman terhadap agama tertentu. Padahal, perda bermasalah yang dibatalkan
itu beragam, tidak hanya soal perda terkait dengan toleransi.
Tapi, karena
menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, menghambat kemudahan berusaha, dan
bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Hanya 25 persen perda bermasalah
yang dibatalkan terkait dengan toleransi.
Publik kita
sudah telanjur membuat kesimpulan bahwa setiap hal yang berbau agama mesti
benar, termasuk dalam menyusun sebuah perda. Menolaknya, pasti dianggap menolak
agama (tertentu). Realitas inilah yang saat ini terjadi. Pembatalan perda
intoleran –akhirnya– dianggap sebagai bagian dari misi agama tertentu
meminggirkan agama lainnya.
Keindonesiaan
kita sepertinya memang mulai retak. Keindonesiaan yang disusun dari keragaman
suku, agama, dan antar golongan mulai dihadap-hadapkan satu sama lainnya.
Keindonesiaan
kita mulai dibelah. Dibelah antara kelompok agamis dan kelompok sekuler. Mirip
situasi pemilihan presiden lalu, keindonesiaan kita juga dibelah dalam dua kubu
yang saling berseberangan.
Realitas ini
tentu saja berbahaya. Ada bahaya laten di negeri ini berupa sektarianisme dan
sekularisme. Yang keduanya memang tengah memperebutkan ruang (kosong)
keindonesiaan yang mulai jauh dari kepribadian Pancasila.
Ada banyak
generasi sektarian berkuasa di berbagai daerah yang menciptakan perda yang
bermasalah. Yang sektarian mencipta perda bermuatan intoleransi sosial, yang
sekuler melahirkan perda yang memberi peluang berkembangnya ekonomi
liberal-kapitalis.
Yang sektarian
meletakkan sudut pandang ’’agama’’ sebagai legitimasinya, yang liberal
menggunakan hak asasi manusia sebagai pelindungnya. Yang satu semangat
men-agama-kan negara, yang satunya bersemangat me-liberal-kan negara.
Keduanya jelas
bukan kepribadian alamiah Indonesia. Kepribadian kebangsaan kita sedang
menghadapi ancaman dari dua ideologi ini. Ke depan, mungkin kita bisa mandiri
di bidang ekonomi atau berdaulat di bidang politik, tapi kita tidak
berkepribadian di bidang kebudayaan. Kepribadian kebangsaan kita tak lagi nature
keindonesiaan, melainkan sektarian atau liberal.
oleh Listiyono Santoso
disadur dari Jawa Pos, Sabtu, 25 Juni 2016