Editors Picks

Rabu, 29 Juni 2016

Keindonesiaan yang Rapuh



PENUTUPAN warung Bu Saeni oleh Satpol Pamong Praja (PP) Kota Serang, Banten, sesungguhnya merupakan peristiwa biasa dan lumrah. Dalih satpol PP pun jelas, menjalankan Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan, dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat. Serta, Surat Edaran Wali Kota Serang Nomor 451.13/556-Kesra/2016 tentang Imbauan Bersama Menyambut Bulan Suci Ramadan terkait jam operasional rumah makan.

Tidak ada yang istimewa dari peristiwa tersebut. Satpol PP adalah alat negara yang memiliki keabsahan untuk bertindak atas nama negara. Sebagai alat negara, satpol PP lebih ’’pantas’’ melakukan razia terhadap penyakit masyarakat daripada organisasi masyarakat lain.

Negara adalah lembaga tertinggi dalam masyarakat. Tidak boleh ada organisasi dalam masyarakat yang kekuasaannya melebihi negara. Negara dituntun oleh kebajikan publik, bukan orang per orang.

Dalam kasus Bu Saeni, apakah perintah perda dan razia satpol PP sudah berdasar pada kebajikan publik, ini yang perlu dipersoalkan. Sebab, jika negara menjalankan fungsinya dengan baik, tidak ada alasan menolak kehadiran negara.

Negara bukanlah milik pribadi atau golongan. Negara harus bersifat netral kepada semua warga negara agar kepentingannya tidak terganggu oleh keberpihakan yang tidak adil.

Netralitas ini penting agar ia tidak terjebak pada dominasi kelompok besar atau dikendalikan oleh sejumlah kecil orang. Dalam keindonesiaan, tidak ada mayoritas dan minoritas, yang ada hanyalah warga negara. Di hadapan negara, setiap warga negara berada dalam posisi dan kedudukan yang setara.

Sejarah kebangsaan kita adalah sejarah keragaman suku dan agama. Sejarah kita adalah sejarah kerukunan satu sama lain. Bangsa ini memiliki toleransi cukup tinggi terhadap yang berbeda. Tidak perlu ada yang mengajarkan tentang toleransi, karena kita sudah mempraktikkannya.

Masyarakat alamiah kita sudah terbiasa dengan perbedaan. Semua agama hidup berdampingan dengan cara damai. Etnisitas yang berbeda juga nyaman hidup bersama tanpa menghadirkan ketegangan yang berarti. Yang puasa maupun yang tidak puasa bisa berjalan secara baik. Yang besar melindungi yang kecil. Begitu sebaliknya, yang kecil tidak pernah merasa menjadi kerdil.

Toleransi itu nature keindonesiaan kita. Tak perlu ada perintah lewat spanduk-spanduk, slogan-slogan, apalagi perundang-undangan. Tegasnya, tidak perlulah keindonesiaan kita diajari bagaimana harus bersikap toleran kepada yang berbeda. Sebab, memang inilah watak dari kepribadian bangsa Indonesia.

Tapi, belakangan, sifat kealamiahan kita ini mulai terusik. Faktor utamanya adalah menguatnya intoleransi sosial dalam masyarakat. Tidak lagi menjadi gejala, tetapi sudah berkembang menjadi fakta.

Fenomena Bu Saeni dan pembatalan 3.143 peraturan daerah (perda) bermasalah oleh negara menjadi salah satu titik picunya. Ada semangat menghadap-hadapkan persoalan tersebut dengan agama sebagai isu sensitifnya.

Logika yang disusun pun terjebak pada fallacy (sesat pikir) yang berbahaya. Yakni, memberikan analog pembanding antara menutup warung di bulan Ramadan dengan upacara Nyepi di Bali atau pemasangan pohon Natal di mal-mal. Begitu pun dengan pembatalan ribuan perda oleh pemerintah seolah menjadi pembuktian ketidakadilan yang diciptakan negara.

Pembatalan perda bermasalah menjadi amunisi untuk menyerang negara ke area sensitif, yakni kezaliman terhadap agama tertentu. Padahal, perda bermasalah yang dibatalkan itu beragam, tidak hanya soal perda terkait dengan toleransi.

Tapi, karena menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, menghambat kemudahan berusaha, dan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Hanya 25 persen perda bermasalah yang dibatalkan terkait dengan toleransi.

Publik kita sudah telanjur membuat kesimpulan bahwa setiap hal yang berbau agama mesti benar, termasuk dalam menyusun sebuah perda. Menolaknya, pasti dianggap menolak agama (tertentu). Realitas inilah yang saat ini terjadi. Pembatalan perda intoleran –akhirnya– dianggap sebagai bagian dari misi agama tertentu meminggirkan agama lainnya.

Keindonesiaan kita sepertinya memang mulai retak. Keindonesiaan yang disusun dari keragaman suku, agama, dan antar golongan mulai dihadap-hadapkan satu sama lainnya.

Keindonesiaan kita mulai dibelah. Dibelah antara kelompok agamis dan kelompok sekuler. Mirip situasi pemilihan presiden lalu, keindonesiaan kita juga dibelah dalam dua kubu yang saling berseberangan.

Realitas ini tentu saja berbahaya. Ada bahaya laten di negeri ini berupa sektarianisme dan sekularisme. Yang keduanya memang tengah memperebutkan ruang (kosong) keindonesiaan yang mulai jauh dari kepribadian Pancasila.

Ada banyak generasi sektarian berkuasa di berbagai daerah yang menciptakan perda yang bermasalah. Yang sektarian mencipta perda bermuatan intoleransi sosial, yang sekuler melahirkan perda yang memberi peluang berkembangnya ekonomi liberal-kapitalis.

Yang sektarian meletakkan sudut pandang ’’agama’’ sebagai legitimasinya, yang liberal menggunakan hak asasi manusia sebagai pelindungnya. Yang satu semangat men-agama-kan negara, yang satunya bersemangat me-liberal-kan negara.

Keduanya jelas bukan kepribadian alamiah Indonesia. Kepribadian kebangsaan kita sedang menghadapi ancaman dari dua ideologi ini. Ke depan, mungkin kita bisa mandiri di bidang ekonomi atau berdaulat di bidang politik, tapi kita tidak berkepribadian di bidang kebudayaan. Kepribadian kebangsaan kita tak lagi nature keindonesiaan, melainkan sektarian atau liberal.

oleh Listiyono Santoso
disadur dari Jawa Pos, Sabtu, 25 Juni 2016


Perda Puasa dan Empati kepada Sesama



PERTANYAAN yang terus menggantung dalam penegakan perda puasa seperti di Kota Serang adalah tergolong mungkarkah buka warung makan saat siang? Jika tergolong mungkar, perlukah makanan dan minuman yang dijual pedagang warung tersebut disita?

Tulisan ini bukannya mempersoalkan perda syariah (baca: puasa). Yang perlu dijernihkan adalah bagaimana memaknai kemungkaran dan kemakrufan, terutama dalam bulan yang penuh berkah. Alquran sebagai pencerah kemanusiaan lebih mempromosikan kemakrufan daripada penghancuran kemungkaran.

Saat miliaran muslim di seluruh dunia memenuhi kewajiban puasa, itulah bulan penuh berkah dan ampunan Tuhan yang kebaikannya lebih dari 1.000 bulan. Selama sebulan mereka berjuang memenuhi hasrat suci laku saleh, bebas tindak mungkar dan maksiat. Setiap tempat siang di seluruh lorong dan sudut negeri ini menjadi saksi suasana pembebasan diri dari tindakan maksiat serta kemungkaran tersebut.

Tersedia tiga pilihan bagi muslim saat melihat kemungkaran seperti hadis berikut. Dari Abu Sa'id Al-Khudri ra berkata: Aku mendengar Rasul SAW bersabda: ''Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, dengan lisannya; jika masih tidak mampu, dengan hatinya, tapi itulah selemah-lemahnya iman'' (HR Muslim).

Hadis nabi yang sering dirujuk saat menghadapi kemungkaran tersebut menyediakan tiga pilihan: diubah dengan kekuatan (biyadih; dengan tangan) secara tegas, dengan peringatan lisan, atau menolak dalam hati. Pilihan ketiga itu menjadi indikasi kualitas keber-iman-an seseorang yang rendah atau lemah.

Masalahnya, apakah berjualan makanan dan minuman saat siang selama bulan Ramadan tergolong kemungkaran? Tidak 100 persen muslim yang balig menjalani puasa karena berbagai alasan. Perempuan yang sedang menyusui atau datang bulan juga boleh tidak berpuasa. Demikian pula mereka yang sedang sakit atau bepergian. Layanan bagi mereka yang tidak berpuasa, baik karena alasan syarak atau bukan muslim, adalah bagian kemakrufan kemanusiaan.

Dalam hubungan itulah, berjualan makanan dan minuman saat siang dalam bulan Ramadan bisa berarti memenuhi kebutuhan mereka yang sedang tidak menjalani puasa. Bukankah menolong orang lain yang membutuhkan tergolong tindakan makruf atau baik yang dianjurkan ajaran Islam?

Di situ, tindakan satpol PP yang menyita dagangan Bu Saeni saat membuka wartegnya ketika siang pada akhir minggu pertama Ramadan di Kota Serang mengundang perdebatan. Alasan Bu Saeni dianggap melanggar perda Kota Serang perlu di-tabayyun atau diklarifikasi lebih dahulu.

Jadi, wajar jika tindakan satpol PP tersebut mengundang reaksi netizen. Dalam tempo kurang dari 36 jam, ''tragedi'' Saeni menghasilkan donasi lebih dari Rp 265 juta, selain bantuan dari Presiden Jokowi.

Pada saat yang sama, muncul pertanyaan mengenai bagaimana sebenarnya sikap yang lebih tepat dan arif bagi yang menjalani puasa, juga bagi yang tidak berpuasa, berdasar beragam alasan?

Setiap datang bulan puasa, selalu muncul pertanyaan apakah warung, restoran, atau kafe harus tutup. Bagaimana pedagang dan karyawan warung, restoran, atau kafe harus memenuhi kebutuhan hidup mereka selama bulan puasa?

Soal ini mestinya menjadi pertimbangan penetapan peraturan daerah selama bulan puasa. Apa makna menghormati bulan puasa, bagaimana menjalani ibadah puasa secara baik dan benar, manusiawi, serta ikhtisaaban (atas dasar iman dan kesadaran)?

Cara mengelola ketidakpuasaan selalu menjadi persoalan saat memasuki ibadah puasa. Apakah mereka yang tidak berpuasa harus tidak makan di ruang terbuka sehingga warung atau restoran mesti tutup?

Bukankah mereka yang sedang menjalani puasa harus menghormati yang tidak berpuasa? Persoalannya adalah kesediaan menerima orang lain yang tidak sedang berpuasa apa adanya sebagai empati kepada sesama dalam sebuah komunitas. Bahkan, bukankah Tuhan memberi kesempatan iblis untuk menggoda manusia sehingga menjadi pengikutnya?

Sukses puasa adalah jika berlaku sabar dan berempati kepada sesama, apa pun agama dan komunitasnya. Mereka yang tidak sedang menjalani ibadah puasa harus diterima dan dihormati sebagai bagian dari sabar serta empati. Baik karena memang tidak memeluk ajaran Islam atau sedang berhalangan, safar (bepergian), sakit, atau alasan lain yang dibenarkan syarak.

Saat Tuhan memberikan balasan berlipat atas amal ibadah sesuai dengan kesulitan saat menjalani ibadah, bukankah makin tinggi godaan saat puasa berarti makin tinggi peluang mendapat bonus pahala? Bukankah orang yang sakit dan pekerja keras seperti tukang becak boleh berbuka, selain yang safar atau bepergian?

Menghormati yang tidak berpuasa bersama berjihad menahan nafsu makan saat melihat orang makan dengan lahap di warung makan merupakan jalan terjal menjemput Tuhan dalam bulan puasa penuh berkah dan ampunan Allah ini. Berkah kemanusiaan saat kitab suci diturunkan bagai matahari menerangi muka bumi. Inilah kecerdasan spiritual berbasis God Spot (lihat Danah Zohar & Ian Marshall), ketika seluruh tindakan dicerahi sinar ilahi, bukan nafsu kedekatan pada-Nya.

oleh Abdul Munir Mulkan
disadur dari Jawa Pos, Jum'at, 24 Juni 2016