Juni adalah bulan kelahiran Pancasila. Di tangan Bung Karno sebagai penggalinya, Pancasila mendapatkan rohnya yang paripurna.
Tentang hal ini tentu telah
mendapatkan telaah memadai. Satu hal yang sering dilupakan adalah kenyataan bahwa
Bung Karno merupakanpribadi yang sangat religius dengan pemikiran keagamaan
unik yang menarik dijadikan bahan renungan bersama justru di tengah pemikiran
dan tindakan keagamaan akhir-akhiryangbanyak bertentangan dengan akal sehat.
Dua hal menjadi lokus nalar
keagamaan Bung Besar itu. Pertama,kewajiban menjadikan akal sebagai daulat
utama; kedua, keniscayaan memosisikan agama sebagai kekuatan untuk membangun
kesadaran anti kolonial.
Imperatif yang pertama, segala
bentuk kepatuhan tak beralasan (taklid) tidak saja harus disingkirkan, tetapi
juga dipandang sebagai akar kemunduran. Pemuliaan terhadap akal harus menjadi
bagian keinsafan kolektif umat Islam seperti zaman Al-Farabi, Ibnu Sina,
Al-Kindi yang sering disebut abad keemasan. "Kembali kepada kemurnian, tatkala
Islam belum dihinggapi kekotorannya seribu satu takhayul."
Teologi Bung Karno berporos pada
perayaan kebebasan berpikir, memandang wahyu sekadar medan konfirmasi kebenaran
pikir. Semacam mutazilah. Mendayagunakan akal secara optimal sebagai lambang keluhuran
kemanusiaan sekaligus ekspresi mensyukuri anugerah Tuhan. Akal penanda
kebudayaan, jangkar peradaban. Atau dalam sila kelima usulannya,
"Ketuhanan yang berkebudayaan".
Bagi Bung Karno, akal itu pandu
kemajuan dan jiwa Islam adalah agama kemajuan. Sebagaimana dibilang dalam
"Surat-surat Islam dari Endeh", "Islam is progress". Dalam semangat rasionalisme seperti ini,
"api" Islam diletakkan. Di luar itu dipandang sekadar
"abu".
Justru abu ini dalam pandangannya
yang mendominasi alam pikir dan tindakan umat, mereka lebih senang
mengedepankan sesuatu yang artifisial ketimbang substansial, bergerak
mendahulukan "ujaran masa silam" ketimbang mengedepankan gagasan
untuk menata kehidupan masa yang akan datang yang menjulang. Abu sebagai alasan
Islamkemudian menjadi sontoloyo, menjadi residu kehidupan.
Tiga susulan sebagairembesan dari
abu keagamaan itu biasanya diwujudkan dalam bentuk: (1) merebaknya puritanisme
dan eksklusivisme sehinggamudah menebarkan stigma "kafir" kepada
liyan. Yang berbeda keyakinan dianggap keliru, dan yang tidak sama hujjah
keagamaannya dipandang menyesatkan. Kebenaran menjadi berwajah homogen dan
pendakuan tak lagi terhindarkan.
Kemudian, (2) kekeliruan dalam
membaca inti sejarah. Mempelajari sejarah bukan dijadikan rute melakukan pembebasan,
tetapi sekadar nostalgia dan gerak mengenang masa lalu untuk kemudian
ditahbiskannya sebagai contoh ideal yang semestinya diartikulasikan dalam
kehidupan sekarang dan ke depan.
Persoalan hari ini dicarikan
jawabannya pada pesona gerak arkaik masa silam. Maka, Bung Karno dengan nyinyir
menyebut fantasi politik kilafah tak lebih hanya sebagai wujud kebuntuan
berpikir umat Islam.
Selanjutnya, (3) terkerangkeng dalam
dominasi berpikir fikih oriented.
Tersekap fikih Abad Pertengahan yang serba hitam putih, skolastik dan hanya
bertendensi menyelesaikan persoalan lewat ilusi metafisik. Fikih yang
semestinya bersifat temporal dan lokal malah "disakralkan" sehingga
daya kuasanya menjadi melampaui ruang dan waktu. "Fikih itu, walaupun
sudah kita saring semurni-murninya, belum mencukupi semua kehendak agama. Belum
dapat memenuhi syarat-syarat ketuhanan yang sejati, yang juga berhajat kepada
tauhid, akhlak, kebaktian rohani, kepada Allah."
Bahkan disebutnya fikih sebagai
biang kerok yang menjadi hijab tertutupnya pesan-pesan keluhuran Al Quran.
"Dunia Islam sekarang ini setengah mati, tiada nyawa, tiada api, karena
umat Islam sama sekali tenggelam dalam kitab fikihnya saja, tidak terbang
seperti burung garuda di atas udara-udaranya Levend Geloof, yakni udara-udaranya
agama yang hidup."
Di persimpangan ini, dengan telak
pula dikritiknya Bukhari-Muslim, dua kolektor hadis berwibawa, sebagai bagian
yang harus bertanggung jawab atas kemunduran itu karena seringnya menghimpun
hadis-hadis yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan elan vital kemajuan.
"Saya perlu kepada Bukhari atau Muslim itu karena di situlah dihimpun
hadis-hadis sahih."
Meski dari keterangan salah seorang
pengamat Islam bangsa Inggris, di Bukhari pun masih terselip hadis-hadis yang
lemah. Dia pun menerangkan bahwa kemunduran Islam, kekunoan Islam, kemesuman
Islam, ketakhayulan orang Islam banyaklah karena hadis-hadis lemah itu yang
sering lebih laku daripada ayat-ayat Al Quran. Saya kira anggapan ini adalah
benar."
Modernisme yang salah satunya
dicirikan rasionalisme bagi Bung Karno juga harus diterapkan dalam pemaknaan keagamaan.
Pengalaman Barat yang lama lesap dalam kegelapan, mereka menemukan kunci
kemajuannya dalam manhaj berpikir rasional dan jejak seperti ini mesti ditiru
masyarakat yang berada dalam kemunduran.
Anti
kolonial
Di sisi lain, karena bangsa yang
ditempatinya masih terpuruk dan menjadi bagian dari bumi jajahan Hindia
Belanda, agama yang dipikirkan Bung Karno pada saat yang sama harusmampu
memompa semangat umatnya untuk melakukan perlawanan terhadap kolonial.
Di titik ini, Bung Karno dan Tan
Malaka merasa tidak ada persoalan dengan gagasan pan islamisme-nya Jamaludin
al-Afgani yang sama-sama mengusung tema besar meniru Barat sekaligus melucuti
sikap kolonialnya.
Tentu saja bagi Bung Karno danmanusia
pergerakan lainnya untuk melakukan perubahan sosial, agama saja tidak cukup,
harus ada sikap lapang menerima ideologi lain yang telah terbukti bisa
diandalkan mempercepat terusirnya kaum kolonial.
Di titik ini sejak awal Soekarno
menyerukan perkawinannasionalisme, Islam dan Marxisme(1926). Sumpah Pemuda
(1928) pada titik tertentu melambangkan imaji kebangsaan yang melampaui
fanatisme etnik dan keagamaan. Tubuh keindonesiaan yang diikat dalam kesatuan
bangsa, bahasa, dan tanah air.
Kalau kita perhatikan, tema
"nasionalisme, Islam dan Marxisme" yang pertamakali
disosialisasikannya dalam Klub Studi Umum Bandung sesungguhnya yang menjadi
obsesi politik Bung Karno sepanjang masanya. Secara politis disampaikannya di
ruang publik, pamflet, garis besar perjuangan partai (PNI dan Pertindo), dan
juga di panggung pengadilan seperti terbaca dalam "Indonesia
Menggugat"(1930).
Maka, tak heran pada Juni 1945
saatsidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI), Bung Karno menawarkan Pancasila sebagai dasar negara. Napas seperti
ini sejatinya yang menjadi latar Bung Karno dalam Konferensi Asia Afrika (1955)
menyerukan tata dunia nondiskriminatif, melampaui sentimentalisme sempit,
mengeluarkan Dekrit Presiden (1959) sekaligus memperkenalkan GBHN yang
meliputi: UUD 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi
terpimpin, dan kepribadian Indonesia (USDEK).
Sikap politiknya yang
"revolusioner", melompat-lompat, zigzag ini juga, dan semakin
terkonsentrasi dalam genggaman satu orang, demokrasi terpimpin (1957), pada
akhirnya dalam sebuah era ketika ekonomi tak kian membaik, konspirasi negara
luar yang kental, intrik elite dan pergesekan antarpartai yang semakin memanas,
pada akhirnya berujung pada penolakan MPRS dan DPRGR (1967) sebagai
pertanggungjawaban presiden.
Nawaksara ditampikdan Supersemar
lekas menyalip. Soeharto dengan cerdik (dan licik) memanfaatkan situasi
sengkarut politik itu untuk kepentingannya. Akhirnya, di zaman Orde Baru selama
tiga puluh tahun hidup dalam kondisi darurat.
Politik kehilangan akal sehat, agama
dihilangkan elan sosialnya dan ekonomi direduksi sebatas grafik angka.
Nomenklatur "warga negara" kehilangan otentisitas rujukan kultural
dan ideologisnya. Negara hilang dan warga terantukjejaknya dalam lorong gelap
kebangsaan dan tak henti sampai hari ini bersengketa tentang
"kebenaran" peristiwa 1965 yang sudah lama digelapkan pemerintahan
yang gelap mata.
oleh: Asep Salahudin
disadur dari Kompas, Selasa, 7 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar