Jujur,
kita harus akui peran sektor industri di dalam perekonomian Indonesia mengalami
kemunduran. Ini ditunjukkan persentase di dalam PDB (Produk Domestik Bruto)
yang terus turun sejak 2004. Tahun 2004 itu, proporsi sektor industri di dalam
PDB sebesar 24,5% tapi terus mengecil menjadi 22,2% di tahun 2015. Tren ini
mengindikasikan perkembangan ekonomi yang tidak sehat walaupun ekonomi tumbuh
5,5%-6,2% sejak 2004, kecuali tahun 2009 saat krisis global dan 2015 saat harga
komoditas anjlok.
Paling
tidak, ada dua sebab kenapa peran sektor industri dalam perekonomian menurun. Pertama, boom komoditas yang
mendongkrak harga-harga komoditas tinggi dalam sepuluh tahun terakhir membuat
pemerintah dan pelaku usaha terlena. Tanpa industrialisasi pun, toh,
pertumbuhan ekonomi sudah tinggi. Pada periode 2004 - 2014, harga minyak tembus
US$ 100 per barel, minyak kelapa sawit US$ 1000 per ton, dan batubara US$ 100
per ton.
Kedua,
tidak ada kebijakan
yang terarah dan komprehensif untuk mendorong pertumbuhan industri. Alih-alih
mendukung industrialisasi, banyak faktor yang malah menghambat pertumbuhan
industri, seperti kenaikan upah yang melebihi kenaikan produktivitas,
kekurangan infrastruktur yang membuat biaya logistik tinggi, peran birokrasi
termasuk prosedur dan perizinan yang membuat cost
of doing business tinggi.
Kita
harus jujur mengakui bahwa boom komoditas telah berakhir. Permintaan Tiongkok
di masa yang akan datang tidak akan sebesar periode 2004-2014. Akibatnya, kita
tidak bisa lagi berharap harga meningkat tajam dan kembali ke tingkat harga
yang sangat tinggi.
Ada
dua pelajaran yang dapat dipetik. Pertama,
akumulasi pengetahuan dan teknologi berjalan lambat kalau tidak dikatakan diam
di tempat karena tidak didukung riset industri yang kuat. Dahulu, ada strategi
substitusi impor (tahun 70-an—80-an) di mana banyak industri berat
dikembangkan, seperti industri baja, telekomunikasi, kapal laut, keretaapi dan
pesawat terbang. Tapi, perkembangannya mandek karena tak ada kemajuan
teknologi. Kedua,
upah naik melebihi produktivitas. Strategi promosi ekspor ditempuh 80-an—90-an
akhir. Saat itu, industri padat tenaga kerja seperti alas kaki, tekstil
digenjot ekspornya. Kini, kondisinya menurun (sunset industry) karena tenaga kerja mahal,
produktivitas rendah, dan akumulasi teknologi lambat.
Ketergantungan
terhadap komoditas sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi jelas tidak berkelanjutan
dan rentan terhadap gejolak harga, khususnya untuk daerah yang memiliki
ketergantungan tinggi pada migas dan batubara, seperti Aceh, Riau, Kalimantan
Timur, dan Kalimantan Selatan. Daerah itu harus mendesain ulang strategi
pembangunan ekonomi daerahnya. Sumber pertumbuhan ekonomi harus dirancang dan
disiapkan lagi.
Kita
harus berpikir ulang strategi industrialisasi dan sektor industri mana yang
bisa dijadikan engine of
growth di masa yang akan datang. Selain itu, penting mempersiapkan
sejak awal engine of growth
bisa berkelanjutan (sustainable),
memiliki ikatan erat dengan sumber daya lokal, termasuk sumber daya manusianya,
serta relatif tahan terhadap goncangan kondisi eksternal.
Strategi
industrialisasi di masa yang akan datang perlu fokus pada pemanfaatan sumber
daya yang ada di Indonesia. Berbeda dengan strategi industrialisasi klasik
promosi ekspor yang fokus pada pasar luar negeri, saya kira strategi
industrialisasi ke depan perlu menitikberatkan memproduksi barang dengan
menggunakan input lokal yang banyak (high
local content). Sementara itu, target pasar bisa untuk ekspor atau
untuk domestik.
Argoindustri
(pertanian dan perkebunan), misalnya cokelat, karet, minyak kelapa dan minyak
sawit; industri maritim, misalnya, perikanan, rumput laut dan udang; dan
industri pengolahan bahan tambang, misalnya nikel tembaga dan minyak mentah
adalah sektor industri berbasiskan sumber daya lokal yang perlu dikembangkan.
Pengembangan industri harus diarahkan untuk menciptakan nilai tambah. Di saat
yang bersamaan, pemerintah tentu memberikan insentif baik fiskal atau nonfiskal
yang lebih menarik dibandingkan sektor lain, bagi pengembangan sektor industri
berbasiskan sumber daya lokal ini sehingga investasi banyak masuk.
oleh
Dendi Ramdani
disadur
dari Kontan, Senin, 20 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar