Editors Picks

Rabu, 22 Juni 2016

Strategi industrialisasi masa depan



Jujur, kita harus akui peran sektor industri di dalam perekonomian Indonesia mengalami kemunduran. Ini ditunjukkan persentase di dalam PDB (Produk Domestik Bruto) yang terus turun sejak 2004. Tahun 2004 itu, proporsi sektor industri di dalam PDB sebesar 24,5% tapi terus mengecil menjadi 22,2% di tahun 2015. Tren ini mengindikasikan perkembangan ekonomi yang tidak sehat walaupun ekonomi tumbuh 5,5%-6,2% sejak 2004, kecuali tahun 2009 saat krisis global dan 2015 saat harga komoditas anjlok.

Paling tidak, ada dua sebab kenapa peran sektor industri dalam perekonomian menurun. Pertama, boom komoditas yang mendongkrak harga-harga komoditas tinggi dalam sepuluh tahun terakhir membuat pemerintah dan pelaku usaha terlena. Tanpa industrialisasi pun, toh, pertumbuhan ekonomi sudah tinggi. Pada periode 2004 - 2014, harga minyak tembus US$ 100 per barel, minyak kelapa sawit US$ 1000 per ton, dan batubara US$ 100 per ton.

Kedua, tidak ada kebijakan yang terarah dan komprehensif untuk mendorong pertumbuhan industri. Alih-alih mendukung industrialisasi, banyak faktor yang malah menghambat pertumbuhan industri, seperti kenaikan upah yang melebihi kenaikan produktivitas, kekurangan infrastruktur yang membuat biaya logistik tinggi, peran birokrasi termasuk prosedur dan perizinan yang membuat cost of doing business tinggi.

Kita harus jujur mengakui bahwa boom komoditas telah berakhir. Permintaan Tiongkok di masa yang akan datang tidak akan sebesar periode 2004-2014. Akibatnya, kita tidak bisa lagi berharap harga meningkat tajam dan kembali ke tingkat harga yang sangat tinggi.

Ada dua pelajaran yang dapat dipetik. Pertama, akumulasi pengetahuan dan teknologi berjalan lambat kalau tidak dikatakan diam di tempat karena tidak didukung riset industri yang kuat. Dahulu, ada strategi substitusi impor (tahun 70-an—80-an) di mana banyak industri berat dikembangkan, seperti industri baja, telekomunikasi, kapal laut, keretaapi dan pesawat terbang. Tapi, perkembangannya mandek karena tak ada kemajuan teknologi. Kedua, upah naik melebihi produktivitas. Strategi promosi ekspor ditempuh 80-an—90-an akhir. Saat itu, industri padat tenaga kerja seperti alas kaki, tekstil digenjot ekspornya. Kini, kondisinya menurun (sunset industry) karena tenaga kerja mahal, produktivitas rendah, dan akumulasi teknologi lambat.

Ketergantungan terhadap komoditas sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi jelas tidak berkelanjutan dan rentan terhadap gejolak harga,  khususnya untuk daerah yang memiliki ketergantungan tinggi pada migas dan batubara, seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Daerah itu harus mendesain ulang strategi pembangunan ekonomi daerahnya. Sumber pertumbuhan ekonomi harus dirancang dan disiapkan lagi.

Kita harus berpikir ulang strategi industrialisasi dan sektor industri mana yang bisa dijadikan engine of growth di masa yang akan datang. Selain itu, penting mempersiapkan sejak awal engine of growth bisa berkelanjutan (sustainable), memiliki ikatan erat dengan sumber daya lokal, termasuk sumber daya manusianya, serta relatif tahan terhadap goncangan kondisi eksternal.

Strategi industrialisasi di masa yang akan datang perlu fokus pada pemanfaatan sumber daya yang ada di Indonesia. Berbeda dengan strategi industrialisasi klasik promosi ekspor yang fokus pada pasar luar negeri, saya kira strategi industrialisasi ke depan perlu menitikberatkan memproduksi barang dengan menggunakan input lokal yang banyak (high local content). Sementara itu, target pasar bisa untuk ekspor atau untuk domestik.

Argoindustri (pertanian dan perkebunan), misalnya cokelat, karet, minyak kelapa dan minyak sawit; industri maritim, misalnya, perikanan, rumput laut dan udang; dan industri pengolahan bahan tambang, misalnya nikel tembaga dan minyak mentah adalah sektor industri berbasiskan sumber daya lokal yang perlu dikembangkan. Pengembangan industri harus diarahkan untuk menciptakan nilai tambah. Di saat yang bersamaan, pemerintah tentu memberikan insentif baik fiskal atau nonfiskal yang lebih menarik dibandingkan sektor lain, bagi pengembangan sektor industri berbasiskan sumber daya lokal ini sehingga investasi banyak masuk.

oleh Dendi Ramdani
disadur dari Kontan, Senin, 20 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar