Bisa
dikatakan, fungsi intermediasi perbankan dalam 4 bulan pertama 2016, tidak
berjalan.
Laju
penyaluran kredit baru begitu lambat, bahkan lebih lambat dari pelunasan kredit
oleh debitor.
Posisi
(outstanding)
kredit per akhir April 2016 sebesar Rp 4.006 triliun, tumbuh negatif
dibandingkan akhir Desember 2015 yang senilai Rp 4.057 triliun.
Negatifnya
pertumbuhan kredit hingga akhir bulan keempat jelas sangat mengkhawatirkan.
Pola
ini tergolong tidak lazim karena pada tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan
negatif biasanya hanya terjadi sampai bulan ketiga tahun berjalan.
Secara
tahunan (year on year),
pertumbuhan kredit juga menyedihkan karena hanya mencapai 7,7 persen.
Sudah
3 tahun, sejak 2014, pertumbuhan kredit perbankan seolah mampet.
Padahal,
kecuali tahun 2009, pertumbuhan kredit perbankan nasional selama periode 2002 –
2013 selalu di atas 20 persen.
Namun,
pada 2014, pertumbuhan kredit anjlok menjadi hanya 11,56 persen. Pada 2015,
pertumbuhan kredit makin nyungsep
karena hanya 10,12 persen.
Pertumbuhan
kredit tahun 2015 itu tercatat sebagai salah satu yang terendah selama era
reformasi.
Lambatnya
penyaluran kredit tentu saja berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia
yang terus meloyo dalam beberapa tahun terakhir.
Pada
tahun 2014, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 5,02 persen. Tahun
berikutnya, pertumbuhan ekonomi malah melambat menjadi 4,79 persen.
Pada
triwulan I 2016, pertumbuhan ekonomi tetap rendah, hanya sebesar 4,92 persen.
Ekonomi
Indonesia loyo karena harga berbagai komoditas seperti batubara dan energi
anjlok drastis. Padahal, komoditas tambang dan bahan mentah lainnya merupakan
andalan ekspor Indonesia.
Seiring
itu, perekonomian global yang tengah melemah berimbas pula ke perekonomian
domestik. Dampaknya, investasi asing dan domestik merosot.
Karena
kinerja dunia usaha melempem,
pajak yang diterima negara pun tidak seperti yang diharapkan. Ujungnya, belanja
negara pun terhambat.
NPL
Melihat
seretnya penyaluran kredit hingga April 2016, target pertumbuhan kredit
12 persen di ujung tahun yang dicanangkan perbankan niscaya bakal sulit
tercapai.
Memang
betul, pertumbuhan ekonomi tahun 2016 diperkirakan akan lebih baik ketimbang
tahun lalu. Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini berkisar
5 – 5,4 persen.
Dalam
RAPBN Perubahan 2016 yang kini tengah dibahas, pemerintah dan DPR
kemungkinan menetapkan asumsi pertumbuhan ekonomi tahun 2016 sebesar 5,2
persen.
Namun,
indikator-indikator tersebut dinilai belum cukup untuk mendongkrak penyaluran
kredit.
Persoalannya
saat ini, perbankan juga dihantui oleh meningkatnya kredit macet (non performing loan/NPL).
Per
April 2016, NPL perbankan nasional mencapai 2,92 persen, meningkat dibandingkan
periode sama tahun sebelumnya yang sebesar 2,58 persen.
Kejatuhan
harga komoditas secara drastis telah membuat banyak perusahaan gulung tikar,
terutama yang bergerak di sektor pertambangan. Akibatnya, kredit yang mereka
pinjam tak bisa dilunasi.
Penyaluran
kredit yang jor-joran di sektor mikro juga menjadi bumerang tatkala
perekonomian memburuk.
Sektor
mikro yang belum mapan dan baru beroperasi memang rentan terhempas gejolak
perekonomian.
Jadi
saat ini, mampet-nya
penyaluran kredit bersumber dari dua sisi sekaligus.
Dari
eskternal perbankan, kredit mampet
karena permintaan kredit sangat minim. Sangat sedikit sekali, perusahaan yang
melakukan investasi dalam kondisi perekonomian seperti saat ini.
Buktinya,
undisbursed loan
atau komitmen kredit yang belum dicairkan meningkat tajam.
Adapun
dari internal, perbankan saat ini betul-betul mengerem penyaluran kredit ke
sektor-sektor yang dianggap berisiko.
Berdasarkan
data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejumlah sektor yang NPL-nya tinggi antara
lain sektor perdagangan, industri pengolahan, pertambangan, dan transportasi.
Pertanyaannya,
jika tidak menyalurkan kredit, lalu darimana industri perbankan mendapatkan
untung?
Dalam
kondisi saat ini, tentu saja perbankan akan memainkan suku bunganya.
Caranya,
dengan menurunkan bunga simpanan secepat mungkin dan menurunkan bunga kredit
selambat mungkin.
Berdasarkan
data statistik perbankan yang dirilis OJK, rata-rata suku bunga deposito turun
57 basis poin (bp) dari 7,94 persen pada akhir Desember 2015 menjadi 7,37
persen pada akhir April 2016.
Namun,
selama periode yang sama, rata-rata suku bunga kredit hanya turun 22 bp dari
12,83 persen menjadi 12,61 persen.
Artinya spread suku bunga
simpanan dan suku bunga kredit makin melebar.
Dengan
strategi ini, bank tidak hanya bisa mempertahankan margin bunga bersih (net
interest margin/NIM), tetapi bahkan meningkatkannya.
Pada
akhir April 2016, NIM perbankan nasional mencapai 5,56 persen, meningkat
dibandingkan akhir tahun 2015 yang sebesar 5,39 persen.
Praktik
yang dilakukan perbankan tersebut tentulah bukan solusi yang diharapkan. Sebab,
cara itu justru akan menjadi bumerang bagi perekonomian.
Jika
bunga kredit tetap tinggi, pelaku usaha makin enggan meminjam kredit untuk
melakukan ekspansi. Dampaknya, penyaluran kredit akan makin mampet.
Properti
Melihat
kondisi ini, OJK dan Bank Indonesia mau tak mau harus mendorong agar penyaluran
kredit tetap bisa tumbuh.
Karena
perbankan tak begitu bernafsu menyalurkan kredit, maka yang harus digenjot
adalah sisi permintaan kreditnya.
Bagaimana
merangsang masyarakat meminjam kredit?
Karena
penurunan suku bunga tak bisa diharapkan menjadi solusi jangka pendek, maka
deregulasi dan pelonggaran aturan pun menjadi pilihan.
Inilah
yang dilakukan Bank Sentral tatkala melonggarkan kebijakan makroprudensial yang
terkait kredit kepemilikan rumah (KPR).
Sebagai
bentuk kehati-hatian, KPR selama ini memang diatur. Tujuannya agar penyaluran
KPR tidak jor-joran yang berpotensi meningkatkan NPL.
Dalam
penyaluran KPR, bank tidak boleh membiayai seluruh kebutuhan membeli rumah.
Harus ada porsi pembiayaan juga dari nasabah. Porsi KPR yang bisa disalurkan
bank dinamakan Loan to Value
atau LTV.
Rasio
LTV tak hanya satu macam, namun berbeda-beda tergantung tipe properti,
fasilitas kredit untuk rumah keberapa, dan menggunakan skema syariah atau
konvensional.
Misalnya,
untuk kredit rumah pertama dengan tipe rumah di atas 70 meter persegi, rasio
LTV ditetapkan sebesar 80 persen.
Artinya,
jika harga rumah tersebut senilai Rp 350 juta, maka maksimal KPR yang bisa
disalurkan bank adalah senilai Rp 280 juta. Adapun sisanya sebesar Rp 70 juta
harus ditanggung nasabah pembeli rumah.
Nah
kini, aturan LTV itu dilonggarkan BI. Rasio LTV untuk KPR rumah pertama dengan
tipe rumah di atas 70 meter persegi dinaikkan dari 80 persen menjadi 85 persen.
Artinya,
jika sebelumnya nasabah pembeli harus menyediakan uang sendiri sebesar Rp 70
juta untuk mengajukan KPR dengan harga rumah Rp 350 juta, maka dengan aturan
yang baru, nasabah cukup menyediakan dana sendiri sebesar Rp 52,5 juta.
Sebaliknya
bagi perbankan, nilai kredit meningkat dari 280 juta menjadi Rp 297,5 juta.
Lebih
sedikitnya dana sendiri yang harus disediakan nasabah tentu akan mendorong
masyarakat untuk mengajukan kredit properti, baik itu untuk rumah tapak, rumah
susun (apartemen), atau ruko toko (ruko) dan rumah kantor (rukan).
Jika
kredit properti mulai tumbuh dan menggeliat kembali, maka dampaknya terhadap
perekonomian akan cukup besar. Alasannya, banyak bisnis turunan yang
terkait dengan sektor properti.
Inilah
yang tidak tampak dalam tiga tahun terakhir ini, tatkala kredit properti
benar-benar anjlok. Lemahnya bisnis properti turut memperlambat pertumbuhan
ekonomi 3 tahun terakhir.
Dalam
satu dekade terakhir, pertumbuhan kredit properti rata-rata di atas 25 persen.
Pada 2011 misalnya, kredit properti tumbuh 30 persen.
Namun
pada 2014, pertumbuhan kredit properti anjlok hanya 12,78 persen dan makin
melambat menjadi hanya 7,38 persen pada tahun 2015.
Per
April 2016, kredit pemilikan rumah tapak, rumah susun, dan ruko/rukan mencapai
Rp 373 triliun. Angka tersebut hanya tumbuh sekitar 8 persen dibandingkan
periode sama tahun 2015.
Berdasarkan
survei harga properti residensial yang dilakukan Bank Indonesia, volume
penjualan properti residensial melambat selama triwulan I 2016.
Seiring
lemahnya bisnis properti, harga rumah juga cenderung menurun.
Secara
tahunan, rata-rata harga properti residensial pada triwulan I 2016 turun 4,15
persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Dengan
melonggarkan aturan LTV, BI berharap permintaan kredit properti akan meningkat
yang pada gilirannya akan menggairahkan kembali bisnis properti.
Bagaimanapun,
gairah bisnis properti selalu menjadi indikator awal menggeliatnya
perekonomian.
oleh M Fajar Marta
disadur dari Kompas, Kamis, 23 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar