Isu tentang sapi pada lima tahun
terakhir ini dapat dikatakan naik pangkat. Karena isu sapi hamper setara dengan
isu politik strategis ataupun bahan pokok penting seperti beras dan bahan bakar
minyak (BBM). Munculnya isu sapi hampir selalu menjadi trending topics yang mewarnai wajah media massa maupun media
sosial. Beberapa waktu lalu dalam suatu rapat terbatas, Presiden Joko Widodo
memberi arahan agar harga sapi dapat diturunkan sehingga pada Hari Raya Idul
Fitri nanti ditargetkan menjadi Rp 80.000/kg. Berbagai spekulasi pertanyaan
muncul, apakaha dapat terealisasi atau tidak? Dana apa persyaratannya?
Akhir 2015 sampai awal 2016 lalu
fenomena kenaikan harga beras juga sempat mewarnai isu nasional. Fenomena ini
dengan cepat dapat diredam, dengan salah satunya operasi pasar yang dilakukan
baik oleh Bulog maupun pemerintah Harga sapi tidak hanya saat ini saja berada
di atas Rp 100.000. Dengan kata lain ini telah berlangsung lama. Namun demikian
nampaknya konstruksi persoalan beras dan sapi berbeda, sehingga kecil sekali
peluang untuk dapat diselesaikan dengan operasi pasar. Daging sapi, selain
karena nilai ekonomi yang tinggi (membutuhkan biaya ekonomi yang besar), juga
karena jumlah stok sapi berbeda dengan stok beras. Produksi beras nasional
dapat dikatakan pada level swasembada, kalaupun kurang ada pada posisi jumlah
cadangan bukan pada kebutuhan. Posisi stok sapi Indonesia belum sampai pada
level swasembada. Sehingga kalaupun memiliki dana untuk membeli daging sapi
dalam rangka operasi pasar, namun akan tetap terkendala pada ketersediaan
barang.
Jumlah populasi sapi potong
Indonesia15,5 juta (Kementan RI, 2015) masih jauh dari ideal. Jumlah kebutuhan
daging sapi nasional mencapai 571,2 juta kg/tahun (data konsumsi BPS 2013
sebesar 2,38 kg/kapita/tahun) dari asumsi penduduk Indonesia 240 juta jiwa.
Jumlah 571,2 juta kg/tahun setara dengan penyediaan 4,76 juta ekor/tahun sapi
hidup untuk dipotong (asumsi berat badan hidup sapi 300 kg). Jika angka
kebutuhan daging 571.200 kg/tahun, pemotongan betina produktif menurut
Simartani (2011) berkisar 200.000 ekor/tahun (mungkin bisa lebih). Pertumbuhan
populasi sapi 7,24%/tahun dan kerbau 9,26%/tahun, maka jumlah ideal sapi potong
yang seharusnya dimiliki Indonesia untuk sampai pada level swasembada adalah 61
juta ekor.
Jumlah sapi Indonesia 98% berada di
peternak rakyat dimana hanya 20% saja yang siap untuk dipotong (Muladno, 2015).
Sedangkan Rahardi (2016) berpendapat jumlah yang di peternakan rakyat 70,6%.
Pada kondisi demikian, posisi harga dan jumlah sapi impor menjadi sangat
menentukan terhadap harga daging sapi Indonesia. Harga perkilogram berat hidup
sapi impor dari Australia pada Caturwulan I berada pada kisaran USD 3,15-3,25
(Rp 45.675-Rp 47.125) pada saat itu kurs USD berada pada Rp 14.500, sedangkan
pada Caturwulan II pada kisaran USD 2,75-2,95 (Rp 37.675-Rp 40.415), dolar pada
kurs Rp 13.700. Jika diasumsikan harga hari ini USD 2,75 dengan kurs Rp 13.600,
dengan produksi karkas 50% dan persentase daging 70% dari karkas, maka BEP perkilogram
daging sapi seorang pedagang sapi adalah Rp 106.900 (belum termasuk transport,
bea karantina, pakan dan lainnya). Harga Rp 80.000/kg daging sapi dapat dicapai
jika harga beli (impor) dari Australia turun menjadi USD 2,1/kg bobot hidup
atau jika kurs dolar turun menjadi Rp 10.500.
Persoalan sapi memang tidak
sesedeharna menghitung harganya, kecuali jika konsumen mau beralih ke barang
substitusinya. Presiden pelu mendapatkan input yang jujur dan jelas, tidak
sekedar asal bapak senang (ABS), agar Presiden dapat memutuskan dengan cepat,
cermat, dan tepat. Kebijakan tentang persapian boleh jadi lebih diprioritaskan
pada visi jangka panjang. Bukan hanya jangka pendek, apalagi kebijakan reaktif.
oleh: Bambang Suwignyo
disadur dari Kedaulatan Rakyat,
Kamis, 2 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar