Upaya mendorong perubahan dalam
belitan sistem yang telah mengakar umumnya terganjal tembok penghalang, yaitu
perilaku business as usual dan
keengganan keluar dari zona nyaman. Reformasi birokrasi tersendat dan berada
dalam kubangan rintangan ini.
Tiga petunjuk berikut menjelaskan
kelemahan reformasi birokrasi saat berhadapan dengan hambatan dan kelindan
aneka kepentingan. Kisah pertama tentang keluhan seorang camat di Kota Depok,
Jawa Barat, kepada penulis. Menapak karier dari bawah selama23 tahun selepas
menamatkan pendidikan di APDN, ia beroleh predikat teladan dan sejumlah
penghargaan sebagai bukti kompetensi dan dedikasi. Namun, camat on call ini mandek kariernya, tidak
mendapatkan promosi kecuali hanya rotasi dan mutasi biasa.
Fakta kedua tentang dua sahabat yang
mengikuti seleksi terbuka lewat lelang jabatan untuk posisi dirjen sebuah
kementerian dan wakil rektor universitas negeri. Meski masing-masing menempati
peringkat tertinggi setelah lolos seleksi akhir,yang terpilih dan dilantik
justru kandidat berperingkat lebih rendah.
Ilustrasi ketiga adalah pernyataan
Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang menyebut mayoritas pejabat eselon I dan II
di instansi pemerintah memiliki kompetensi rendah (Kompas, 7/4). Selain itu,
BKN juga menemukan data 57.000 pegawai negeri sipil (PNS) yang tidak diketahui
keberadaannya alias misterius. Di perguruan tinggi negeri saja, terdapat 5.000
dari 120.000 PNS yang tidak jelas statusnya.
Tumpul
sanksi
Tiga ilustrasi fakta tersebutbukan
semata kasus sporadis, melainkan mewakili gambaran umum keruwetan aparatur
pemerintahan kita. Kondisi ini menegaskan proses reformasi birokrasi berhenti
hanya sekadar political will, jauh
dari ketangguhan sistem dan peta jalan,transparan, dan akuntabel. Pokok
persoalan kelambanan menghela gerak maju birokrasi mengerucut pada hal-hal yang
sudah menjadi rahasia umum, yaitu kental campur tangan politik
kepentingan,kontrol lemah, dan tumpulnya sanksi dan apresiasi.
Sirkulasi elite—terutama di
daerah—sebagian besar masih dalam kendali politik kepentingan yang berbasis
oligarki, nepotisme, dan transaksional. Dua indikasi buruk yang mudah ditengarai
adalah berlangsungnya rotasi dan mutasi pejabat eselon laksana "arisan
jabatan" danperekrutan yang mengabaikan asas kelayakan dan kompetensi.
Setali tiga uang, pada eselon III dan IV, perekrutmen pejabat juga tertutup,
tidak mengacu pada assessment jelas
dan terukur. Bagi mereka yang berupaya bekerja lurus dan memupuk kompetensi
tidak ada yang lebih membuat frustrasi selain remunerasi kacau dan sarat
korupsi, kolusi, dan nepotisme alias KKN.
Secara nasional, dampak stagnasi
reformasi birokrasi jelas terlihat dan merugikan tata kelola bernegara.Salah
satunya terus berulang setiap tahun,yaitu rendahnya serapan anggaran, terutama
untuk pos belanja modal di kementerian dan lembaga negara. Faktaini
memberipetunjuk langgengnya kultur rutinitas. Jebakan rutinitasmengakar hingga
daerah sehingga setiap tahun dana perimbangan pusat ke daerah selalu menumpuk
di perbankan karena realisasi program selalu molor atau bahkan tidak jadi
dikerjakan.
Akibatnya, fungsi belanja modal
pemerintah sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi tidak optimal.Presiden Jokowi
berulang kali mengungkapkan kekecewaannya menyikapi kelambanan serapan
anggaran. Ia meminta kementerian dan lembaga negara menyegerakan pelaksanaan
lelang proyek-proyek pemerintah (Kompas, 11/5). Problem klasik dari rezim ke
rezim ini muskil terpecahkan jika tak ada perubahan radikal berupa pembaruan
sistem birokrasi pusat dan daerah.
Dampak lain reformasi birokrasi yang
miskin peta jalan adalah tidak terkendalinya penambahan jumlah personel
terutama di daerah, ruwetnya penjenjangan karier, dan semakin besarnya beban
anggaran untuk menopang belanja pegawai. Dengan jumlah PNS mencapai sekitar 4,4
juta orang dan komposisinya timpang, 80 persen tenaga administratif dan 20
persen fungsional, tugas-tugas pelayanan dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat
sukar tercapai. Anomali justru terjadi pada tenaga guru honorer yang melonjak
setelah era otonomi daerah, dari 84.000 pada 2005 menjadi 812.000 pada 2015.
Selain daya ungkit belanja modal tak
optimal, warisan masalah yang tidak berkurang bobotnya adalah stabilnya
ketergantungan struktur keuangan daerah ke pusat. Mayoritas APBD tak otonom
banyak bersumber dari dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana
dekonsentrasi, dan lain-lain. Ketergantungan ini menegaskan miskinnya inovasi
untuk menggali sumber-sumber pendapatan baru dari kreasi lokal. Tanpa panduan
dan perubahan mendasar, beban ini bakal mendatangkan masalah besar jika
pendapatan negara merosot dalam jangka waktu lama.
Libatkan
masyarakat
Baliho dan banner revolusi mental kini banyak terpasang di kantor-kantor instansi
pemerintah.Beberapa telah berubah dan bergerak mewujudkan pelayanan cepat dan "bersih".
Namun,karakter birokrasi secara keseluruhan belum beranjak jauh dari analogi
bunglon: seolah-olah berubah, tetapi hakikatnya masih tetap sama.
Singkatnya, harus ada mekanisme
sanksi dan apresiasi terukur dan mengikat untuk melansir perubahan
berkelanjutan menuju tata birokrasi ideal. Dalam konteks hasil dan capaian,
penilaian berbasis indeks kinerja utama semestinya melibatkan masyarakat sebagai
penerima dampak kebijakan dan kepemimpinan. Proses penilaian tidak boleh lagi
bersifat internal, tetapi terbuka dan akuntabel. Apalagi bila pengisian jabatan
melalui mekanisme lelang dengan persyaratan dan target yang jelas.
Demikian pula promosi untuk pejabat
eselon semestinya tidak hanya mengandalkan badan pertimbangan jabatan dan
kepangkatan (baperjakat), tetapi dengan melibatkan pemangku kepentingan.
Meritokrasi berkualitas mustahil terwujud melalui seleksi tertutup dan
menafikan kebutuhan berdimensi luas.
Secara keseluruhan, fokus perbaikan
kinerja birokrasi seharusnya bertumpu padastandar yang dapat dipahami dan
menjadi tujuan akhir bersama, yakni peningkatan Indeks Pembangunan Manusia.
Titik beratnya pada peningkatan aspek pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur
ekonomi untuk kesejahteraan rakyat.Kriteria ini selain sederhana, jelas, dan
terukur, juga memastikan kesatuan panduan kinerja bagi semua aparatur
pemerintah.
Birokrasi memang tidak sepenuhnya
bisa terlepas dari konstelasi politik lokal dan nasional yang merasuk ke dalam sistem
pemerintahan. Profesionalisme dan code of
conduct dapat menjadi penjaga netralitas dan menjamin meritokrasi.
Patronase politik dan kepentingan tidak akanleluasa bermain jika
"pagar" yang dibuat kokoh membentengi dan tersedia sistem
pengawasandengan melibatkan peran aktif berbagai elemen masyarakat.
Spektrum persoalan birokrasi akan
menjadi beban berat di masa depan manakala pendekatan pemecahan secara
substansial absen dilakukan sedari sekarang. Konfigurasi tantangan yang mengemuka
sudah sangat jelas. Kebutuhannya bukan sekadar perubahan mentalitas birokrasi
dari provider menjadi enabler, pangreh praja menjadi pamong
praja, melainkan lebih dari itu, yakni menjadi agen perubahan untuk mengejar
berbagai ketertinggalan dan keterbelakangan.
Dalam hubungan ini, kritik MAW
Brower (1983) dapat digunakan sebagai pengingat sekaligus pelecut: "Dulu,
Prusia dianggap sebagai negara militer, Tiongkok Maois negara buruh, Amerika
negara wiraswasta, Iran negara ulama, dan Indonesia bisa dianggap sebagai
negara pegawai". Sekarang, semua negara itu telah berubah, kecuali kita.
oleh: Suwidi Tono
disadur dari Kompas, Sabtu, 4 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar