Editors Picks

Senin, 06 Juni 2016

Birokrasi Bunglon




Upaya mendorong perubahan dalam belitan sistem yang telah mengakar umumnya terganjal tembok penghalang, yaitu perilaku business as usual dan keengganan keluar dari zona nyaman. Reformasi birokrasi tersendat dan berada dalam kubangan rintangan ini.

Tiga petunjuk berikut menjelaskan kelemahan reformasi birokrasi saat berhadapan dengan hambatan dan kelindan aneka kepentingan. Kisah pertama tentang keluhan seorang camat di Kota Depok, Jawa Barat, kepada penulis. Menapak karier dari bawah selama23 tahun selepas menamatkan pendidikan di APDN, ia beroleh predikat teladan dan sejumlah penghargaan sebagai bukti kompetensi dan dedikasi. Namun, camat on call ini mandek kariernya, tidak mendapatkan promosi kecuali hanya rotasi dan mutasi biasa.

Fakta kedua tentang dua sahabat yang mengikuti seleksi terbuka lewat lelang jabatan untuk posisi dirjen sebuah kementerian dan wakil rektor universitas negeri. Meski masing-masing menempati peringkat tertinggi setelah lolos seleksi akhir,yang terpilih dan dilantik justru kandidat berperingkat lebih rendah.

Ilustrasi ketiga adalah pernyataan Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang menyebut mayoritas pejabat eselon I dan II di instansi pemerintah memiliki kompetensi rendah (Kompas, 7/4). Selain itu, BKN juga menemukan data 57.000 pegawai negeri sipil (PNS) yang tidak diketahui keberadaannya alias misterius. Di perguruan tinggi negeri saja, terdapat 5.000 dari 120.000 PNS yang tidak jelas statusnya.

Tumpul sanksi
Tiga ilustrasi fakta tersebutbukan semata kasus sporadis, melainkan mewakili gambaran umum keruwetan aparatur pemerintahan kita. Kondisi ini menegaskan proses reformasi birokrasi berhenti hanya sekadar political will, jauh dari ketangguhan sistem dan peta jalan,transparan, dan akuntabel. Pokok persoalan kelambanan menghela gerak maju birokrasi mengerucut pada hal-hal yang sudah menjadi rahasia umum, yaitu kental campur tangan politik kepentingan,kontrol lemah, dan tumpulnya sanksi dan apresiasi.

Sirkulasi elite—terutama di daerah—sebagian besar masih dalam kendali politik kepentingan yang berbasis oligarki, nepotisme, dan transaksional. Dua indikasi buruk yang mudah ditengarai adalah berlangsungnya rotasi dan mutasi pejabat eselon laksana "arisan jabatan" danperekrutan yang mengabaikan asas kelayakan dan kompetensi. Setali tiga uang, pada eselon III dan IV, perekrutmen pejabat juga tertutup, tidak mengacu pada assessment jelas dan terukur. Bagi mereka yang berupaya bekerja lurus dan memupuk kompetensi tidak ada yang lebih membuat frustrasi selain remunerasi kacau dan sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme alias KKN.

Secara nasional, dampak stagnasi reformasi birokrasi jelas terlihat dan merugikan tata kelola bernegara.Salah satunya terus berulang setiap tahun,yaitu rendahnya serapan anggaran, terutama untuk pos belanja modal di kementerian dan lembaga negara. Faktaini memberipetunjuk langgengnya kultur rutinitas. Jebakan rutinitasmengakar hingga daerah sehingga setiap tahun dana perimbangan pusat ke daerah selalu menumpuk di perbankan karena realisasi program selalu molor atau bahkan tidak jadi dikerjakan.

Akibatnya, fungsi belanja modal pemerintah sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi tidak optimal.Presiden Jokowi berulang kali mengungkapkan kekecewaannya menyikapi kelambanan serapan anggaran. Ia meminta kementerian dan lembaga negara menyegerakan pelaksanaan lelang proyek-proyek pemerintah (Kompas, 11/5). Problem klasik dari rezim ke rezim ini muskil terpecahkan jika tak ada perubahan radikal berupa pembaruan sistem birokrasi pusat dan daerah.

Dampak lain reformasi birokrasi yang miskin peta jalan adalah tidak terkendalinya penambahan jumlah personel terutama di daerah, ruwetnya penjenjangan karier, dan semakin besarnya beban anggaran untuk menopang belanja pegawai. Dengan jumlah PNS mencapai sekitar 4,4 juta orang dan komposisinya timpang, 80 persen tenaga administratif dan 20 persen fungsional, tugas-tugas pelayanan dan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat sukar tercapai. Anomali justru terjadi pada tenaga guru honorer yang melonjak setelah era otonomi daerah, dari 84.000 pada 2005 menjadi 812.000 pada 2015.

Selain daya ungkit belanja modal tak optimal, warisan masalah yang tidak berkurang bobotnya adalah stabilnya ketergantungan struktur keuangan daerah ke pusat. Mayoritas APBD tak otonom banyak bersumber dari dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana dekonsentrasi, dan lain-lain. Ketergantungan ini menegaskan miskinnya inovasi untuk menggali sumber-sumber pendapatan baru dari kreasi lokal. Tanpa panduan dan perubahan mendasar, beban ini bakal mendatangkan masalah besar jika pendapatan negara merosot dalam jangka waktu lama.

Libatkan masyarakat
Baliho dan banner revolusi mental kini banyak terpasang di kantor-kantor instansi pemerintah.Beberapa telah berubah dan bergerak mewujudkan pelayanan cepat dan "bersih". Namun,karakter birokrasi secara keseluruhan belum beranjak jauh dari analogi bunglon: seolah-olah berubah, tetapi hakikatnya masih tetap sama.

Singkatnya, harus ada mekanisme sanksi dan apresiasi terukur dan mengikat untuk melansir perubahan berkelanjutan menuju tata birokrasi ideal. Dalam konteks hasil dan capaian, penilaian berbasis indeks kinerja utama semestinya melibatkan masyarakat sebagai penerima dampak kebijakan dan kepemimpinan. Proses penilaian tidak boleh lagi bersifat internal, tetapi terbuka dan akuntabel. Apalagi bila pengisian jabatan melalui mekanisme lelang dengan persyaratan dan target yang jelas.

Demikian pula promosi untuk pejabat eselon semestinya tidak hanya mengandalkan badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan (baperjakat), tetapi dengan melibatkan pemangku kepentingan. Meritokrasi berkualitas mustahil terwujud melalui seleksi tertutup dan menafikan kebutuhan berdimensi luas.

Secara keseluruhan, fokus perbaikan kinerja birokrasi seharusnya bertumpu padastandar yang dapat dipahami dan menjadi tujuan akhir bersama, yakni peningkatan Indeks Pembangunan Manusia. Titik beratnya pada peningkatan aspek pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur ekonomi untuk kesejahteraan rakyat.Kriteria ini selain sederhana, jelas, dan terukur, juga memastikan kesatuan panduan kinerja bagi semua aparatur pemerintah.

Birokrasi memang tidak sepenuhnya bisa terlepas dari konstelasi politik lokal dan nasional yang merasuk ke dalam sistem pemerintahan. Profesionalisme dan code of conduct dapat menjadi penjaga netralitas dan menjamin meritokrasi. Patronase politik dan kepentingan tidak akanleluasa bermain jika "pagar" yang dibuat kokoh membentengi dan tersedia sistem pengawasandengan melibatkan peran aktif berbagai elemen masyarakat.

Spektrum persoalan birokrasi akan menjadi beban berat di masa depan manakala pendekatan pemecahan secara substansial absen dilakukan sedari sekarang. Konfigurasi tantangan yang mengemuka sudah sangat jelas. Kebutuhannya bukan sekadar perubahan mentalitas birokrasi dari provider menjadi enabler, pangreh praja menjadi pamong praja, melainkan lebih dari itu, yakni menjadi agen perubahan untuk mengejar berbagai ketertinggalan dan keterbelakangan.

Dalam hubungan ini, kritik MAW Brower (1983) dapat digunakan sebagai pengingat sekaligus pelecut: "Dulu, Prusia dianggap sebagai negara militer, Tiongkok Maois negara buruh, Amerika negara wiraswasta, Iran negara ulama, dan Indonesia bisa dianggap sebagai negara pegawai". Sekarang, semua negara itu telah berubah, kecuali kita.

oleh: Suwidi Tono
disadur dari Kompas, Sabtu, 4 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar