Desa telah menjadi altar baru dalam
gempita pembangunan nasional. Seusai aneka percobaan pembangunan dijalankan
dengan hasil yang sebagian mengecewakan, muncul hasrat baru dengan meletakkan
desa sebagai sumbu pembangunan. Namun, di sini muncul pertanyaan kritis: jika
desa ditunjuk sebagai titik tumpu pembangunan, apakah desa menjadi sekadar
lokus pembangunan ataukah filosofi dan kerangka dasar pembangunan juga berubah?
Pertanyaan ini bukan cuma penting,
tetapi sekaligus penanda ke mana arah pembangunan desa mesti digerakkan. Warta
bagusnya, kita punya stok dasar negara yang amat kukuh meski selama ini nyaris
tak dijadikan sebagai kompas. Hari ini, saat Pancasila dirayakan di seluruh
penjuru negeri, kodratnya sebagai fondasi bernegara menggema kembali. Oleh
karena itu, misi suci pembangunan desa seharusnya bertolak dari titik ini:
menjadikannya satu tarikan napas dalam merawat roh dasar negara.
Gugusan
baru pembangunan
Pada 28 Agustus 1959, Soekarno
menyampaikan Amanat Presiden tentang Pembangunan Semesta Berencana kepada
Depernas (Dewan Perantjang Nasional): "..tudjuan dan maksud pembangunan
semesta ialah membangun masjarakat jang adil dan makmur; adil dan makmur jaitu
menurut tindjauan adjaran Pantjasila..." (Departemen Penerangan RI, 1959).
Setelah hampir 71 tahun merdeka,
amanat ini menjadi agenda pokok yang mesti dijawab: apakah pembangunan sudah
bersendikan ajaran Pancasila? Sulit menampik, pembangunan yang diselenggarakan
selama ini telah banyak memproduksi keberhasilan, baik yang dirasakan khalayak
domestik maupun publik negara lain. Namun, ukuran keberhasilan itu lebih
berdasarkan norma yang diterima umum sehingga parameter yang bersumber dari
dasar negara tak banyak mendapatkan ruang. Implikasinya, jarak antara pencapaian
pembangunan dan ajaran Pancasila bisa berpunggungan.
Di sinilah noktah terpenting untuk
menjaga dan membela Pancasila dalam konteks pembangunan desa. Afirmasi terhadap
pembangunan mesti diletakkan sebagai usaha menegakkan Pancasila sampai ke
akarnya, yang kemudian tumbuh menjadi batang dan ranting yang kokoh pada setiap
lini pembangunan nasional.
Desa menjadi pangkal harapan karena
dua pertimbangan. Pertama, saat perumusan Pancasila kondisi
sosio-ekonomi-politik nasional bisa merujuk kepada situasi desa hari ini meski
tentu saja tak sama persis. Perikehidupan manusia dan alam pada masa
kemerdekaan adalah pantulan derap nadi desa masa kini. Dengan demikian,
menempatkan desa sebagai alas penegakan isi dasar negara merupakan
persinggungan yang layak digelar.
Kedua, persentuhan desa dengan
modernisasi (pembangunan) masih belum begitu jauh sehingga eksperimen membentuk
gugusan baru pembangunan dengan nilai dasar negara tersebut masih mudah
dijalankan.
Sila pertama "Ketuhanan yang
Maha Esa" adalah akar tunjang pembangunan yang tak meletakkan materialitas
sebagai usaha pencapaian puncak tujuan. Prinsip ini meyakini sumber pembangunan
adalah spiritualitas. Agama sebagai mata air spiritualitas dan moralitas
menjadi daya dorong manusia berpikir, berucap, dan bertindak. Tuhan bersemayam
dalam kalbu dan menjadi pandu atas setiap niat dan perbuatan yang bakal
dikerjakan. Sungguh pun begitu, agama tak perlu menjadi asas kenegaraan formal
karena kondisi sosio-politik nasional yang beraneka ragam, yang terangkum dalam
frasa "Bhinneka Tunggal Ika".
Dalam banyak segi, desa dihidupi
oleh kekuatan spiritualitas tersebut. Ritual keagamaan menjadi tradisi, bahkan
kemudian menjadi budaya, dan menghidupi gerak masyarakat. Modal itulah yang
membuat desa tak tercerabut dalam kemalangan penyakit materialitas karena
dijaga oleh moralitas agama. Pembangunan merupakan pendalaman ritual keagamaan
itu sendiri. Refleksi pembangunan yang paling konkret selalu terkait dengan
manusia dan hubungan antarmanusia. Dengan demikian, sila kedua "Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab" merupakan tangkai terpenting berhubungan dengan
pembangunan. Moda produksi sebagai mata rantai pembangunan (ekonomi) berurusan
dengan modal, tanah, dan tenaga kerja (manusia). Hanya pada faktor produksi
tenaga kerja tersebut terdapat dimensi sosial, budaya, politik, dan seterusnya.
Maknanya, hubungan antarmanusia
dalam pembangunan tak boleh mereduksi kemanusiaan. Di desa, hubungan
antarmanusia (dalam bingkai ekonomi sekalipun) selalu menganggap persaudaraan
sebagai penanda sikap. Persaudaraan merupakan inti kemanusiaan sehingga relasi
pembangunan tidak menjadi isolasi antarkelas dan menjadi basis pertarungan.
Oleh karena itu, sila ini menjadi pengingat bahwa pembangunan mesti menjadi
pengungkit nilai kemanusiaan dan bukan malah menggerusnya.
Hasil pembangunan yang kerap
dicemaskan adalah: pertumbuhan menghasilkan peminggiran. Pelaku ekonomi yang
satu tumbuh, lainnya mati. Pembangunan bukan merangkul, melainkan memisahkan.
Itulah deskripsi yang terjadi selama ini. Agenda persatuan menjadi jauh
panggang dari api. Di desa, kosakata gotong royong menggaung hingga kini meski
mulai terkikis oleh sistem persaingan individu yang kian bengis. Sekurangnya,
gotong royong masih menjadi bahasa relasi antarmanusia di desa. Nilai ini yang harus
diselamatkan karena modal sosial ini adalah sumber keabadian bangsa. Bahkan,
ketika Soekarno diminta memeras Pancasila menjadi Ekasila, yang dia sampaikan
adalah kata "gotong royong". Jadi, titik tolak sila "Persatuan
Indonesia" berhulu dari gotong royong tersebut. Demikian pula pasal 33
ayat 1 yang berbunyi "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
asas kekeluargaan" juga amat dinapasi oleh sila ketiga ini, seperti
diungkapkan oleh Mohammad Hatta.
Persatuan itu masih terbungkus
jejaknya pada saat mengonstruksi kedaulatan rakyat dalam panggung politik
dengan sila yang memiliki bobot dahsyat: "Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan". Persatuan akan
solid apabila keputusan berporos kepada permusyawaratan. Keputusan yang hanya
berlatar kepada kuantitas suara kerap tak berpijak kepada pengetahuan sehingga
memungkinkan terjadinya dikte mayoritas.
Sebaliknya, permusyawaratan mesti
berbasis pengetahuan. Itulah sebabnya frasa "hikmat kebijaksanaan"
muncul sebagai muara dari pengetahuan. Di desa, praktik semacam itu terus
terjaga, misalnya di desa adat, sehingga setiap pikiran warga terserap dalam
sistem sosial yang dibangun. Musyawarah desa menjadi salah satu perwujudan sila
keempat dan langgeng hingga kini. Nilai dan kecerdasan lokal yang bersumber
dari agama, budaya, dan lain-lain menjadi dasar lahirnya hikmat kebijaksanaan.
Perayaan
Pancasila
Akumulasi dari Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, dan Permusyawaratan bisa terpantul dari hasil
keseluruhan pembangunan. Terma "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia" adalah keagungan dari empat dasar tersebut. Keadilan sosial
memiliki makna yang amat mendalam, yakni kesejahteraan yang tak kehilangan
spiritualitas, manusia tidak dianggap sebagai semata faktor produksi, penguatan
relasi dan distribusi sosial, dan pengejawantahan konsensus (kedaulatan).
Perasaan kehidupan yang makin kering, meskipun kesejahteraan meningkat, tak
menggambarkan adanya spiritualitas, kemanusiaan, persatuan, dan permusyawaratan
tersebut. Tentu saja keadilan sosial menjadi tak bisa digapai. Oleh karena itu,
puncak pembangunan yang dimaknai sebagai adil dan makmur, seperti diucapkan
oleh pendiri negara di atas, sebetulnya merupakan agregasi dari praktik
perikehidupan atas implementasi empat sila sebelumnya.
Bara api Pancasila itu harus menjadi
penyala pembangunan dan pemberdayaan (warga) desa. Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang diberi mandat memanggul
misi ini meletakkan fondasi negara sebagai ajaran yang harus berdiri tegak.
Tiga pilar/matra pembangunan desa yang dikonseptualisasikan Direktorat Jenderal
PPMD (Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa), yaitu Lingkar Budaya Desa
(Karya Desa), Jaring Komunitas Wiradesa (Jamu Desa), dan Lumbung Ekonomi Desa
(Bumi Desa), diabdikan untuk memberi jejak dasar negara ini.
Budaya yang bersumber dari agama dan
spiritualitas menjadi dasar gerak pembangunan desa (Karya Desa). Pengabaian
terhadapnya membuat pembangunan kehilangan panggung dan upacara. Pembangunan adalah
kerja budaya itu sendiri, di mana keseluruhan nilai-nilai menjelma menjadi tata
cara dan pilihan program yang diambil warga. "Jamu Desa" adalah
ikhtiar meningkatkan kapabilitas warga (desa) sebagai esensi pembangunan.
Prinsip ini dibangun berangkat dari kesadaran untuk memuliakan manusia
(kemanusiaan), penguatan komunitas (sebagai basis persatuan), dan pendalaman
konsensus (permusyawaratan). "Balai Rakyat" adalah agenda yang
didorong sebagai pembelajaran mandiri komunitas untuk menambah bobot stok pengetahuan
warga.
Demikian pula Musdes (musyawarah
desa) menjadi napas partisipasi warga dan tidak hanya menjadi ritual proses
perencanaan ketika desa membuat APBDes ataupun RPJMDes sehingga kedaulatan
rakyat terjaga sebagaimana mestinya. Terakhir, "Bumi Desa" diturunkan
sebagai upaya penguasaan sumber daya (ekonomi) oleh desa dan warga desa
sehingga keadilan sosial dapat dimaklumatkan. Institusi koperasi dan BUMDes
terus dipromosikan untuk memastikan kegotongroyongan menjadi sumbu ekonomi bagi
pencapaian keadilan sosial. Singkatnya, pembangunan desa adalah perayaan
Pancasila.
oleh: Ahmad Erani Yustika
disadur dari Kompas, Kamis, 2 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar