Bangunlah dunia yang sesuai dengan
impian dan cita-cita umat manusia. Putuskan sekarang hubungan dengan masa
lampau, karena fajar sedang menyingsing. Putuskan sekarang hubungan dengan
masa-lampau, sehingga kita bisa mempertanggungjawabkan diri terhadap masa
depan.
Bung Karno, dalam pidato "To
Build the World Anew" di muka Sidang Umum PBB, 1960
Yang membedakan tokoh besar dengan
orang biasa hanyalah mimpi dan usahanya. Bagi Soekarno membebaskan Indonesia
dari penjajahan tidaklah cukup. Dia ingin memerdekakan dunia. Dia adalah
nasionalis dan internasionalis terbesar yang pernah dimiliki bangsa ini.
Di Sidang Umum PBB, 30 September
1960, Soekarno menuntut diakhirinya imperialisme dan kolonialisme. Dunia yang
baru hanya mungkin dibangun di atas fondasi kemerdekaan bagi semua bangsa.
Sebuah seruan yang sangat berani dari negara yang baru 15 tahun merdeka. Namun,
itulah suara zaman. Puluhan negara baru bermunculan dalam peta dunia bak jamur
di musim hujan. Antara Januari hingga Desember 1960 saja terdapat 17 negara
sub-Sahara Afrika yang berhasil meraih kemerdekaannya. Dunia memasuki zaman
kebangkitan bangsa. Era imperium lama kini telah runtuh.
Pada saat yang sama dunia memasuki
era pertarungan ideologi, yang disertai ancaman bahaya perang nuklir.
Bangsa-bangsa yang baru lahir tersebut terancam menjadi korban permainan
berbahaya negara-negara adikuasa. Atas nama 92 juta rakyat Indonesia dan
ratusan juta penduduk Asia dan Afrika, Soekarno meminta PBB menjadikan Pancasila
sebagai sistem etik. Ia menawarkan dunia di mana Liberalisme dan Marxisme serta
Nasionalisme dan Internasionalisme dapat duduk berdampingan dalam kerangka
sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme.
Dunia merupakan sebuah kolektivitas
global yang terintegrasi dan saling bergantung satu sama lain. Ia dapat
dipahami sebagai organisme biologis. Setiap bagian memiliki fungsi yang
berbeda. Namun, setiap bagian itu memiliki kontribusi bagi kesehatan organisme
secara keseluruhan. Untuk itu, dibutuhkan sebuah kerangka etis universal yang
memungkinkan "sistem imun" bekerja, mencegah sel-sel yang normal
berubah menjadi sel kanker yang berbahaya. Dalam kerangka inilah Bung Karno
menawarkan Pancasila kepada dunia.
Seruan Soekarno memiliki pijakan
yang sangat kuat, walau mungkin bergerak jauh melampaui zamannya. Namun, ia
tetap relevan dan strategis untuk diserukan kembali.
Kebangkitan
kebangsaan baru
Era perang ideologi sudah selesai.
Keruntuhan Uni Sovietpada akhir 1991 telah mengakhiri eksperimen raksasa
ideologi komunis. Demikian pula dengan Partai Komunis Tiongkok yang sejak
program modernisasi oleh Deng Xiaoping pada akhir dekade 1970-an tidak lagi
mendasarkan legitimasinya semata-mata pada kekuatan ideologi. Kredibilitas
pemerintahan di kedua negara tersebut sekarang praktis bergantung kepada
kinerja ekonomi dan kebijakan politik yang semakin berorientasi kebangsaan.
Tren yang sama juga terbaca melalui
data empiris N-gram ideologi, yang bersumber dari 5,2 juta buku yang ada dalam
koleksi Google (Bandung Fe Institute, 2016). Tren penggunaan kata
"Marxism", dalam buku-buku berbahasa Inggris yang terbit dalam 200
tahun terakhir, mencapai puncaknya pada 1982. Namun, pada dekade pertama abad
ke-21, diskursus ideologi ini menurun. Ia hanya tersisa 50 persen dari popularitas
puncaknya. Demikian pula tren kata "communism"
yang sudah kehilangan popularitas sejak 1963.
Arah peradaban tidak pernah bergerak
linear. Globalisasi yang didorong oleh perkembangan teknologi informasi
sebelumnya diprediksi mengarahkan dunia ke arah homogenisasi global.
Kapitalisme kehilangan lawan tanding pasca berakhirnya perang dingin. Lalu
apakah kapitalisme akan menjadi satu-satunya pusaran peradaban dunia?
Homogenisasi kebudayaan ternyata
tidak pernah terjadi. Konektivitas global justru membuat diversitas budaya yang
terserak di berbagai penjuru bumi mendapat kesempatan untuk tampil secara
global. Setiap orang berlomba-lomba menunjukkan keunikan identitasnya. Hal ini
mungkin di luar perkiraan Eric Hobsbawm dan Ernest Gellner, intelektual pemuka
studi nasionalisme. Semangat kebangsaan ternyata tetap menjadi "mesin
penggerak sejarah". Dari data N-gram ideologi Google, tren penggunaan kata
"nationalism" terus
menanjak naik sejak 1985. Ia menjadi terminologi ideologi yang paling populer
saat ini, bersaing dengan kata "capitalism".
Progresif
vs konservatif
Namun, wajah kebangsaan baru ini
tidaklah homogen. Di Eropa ia muncul dalam dua wajah, progresif dan
konservatif. Gelora wajah kebangsaan yang cenderungkonservatif atau bahkan
rasis terwakili oleh Partai Independen di Inggris, yang secara mengejutkan
menjadi salah satu arus utama dalam pemilu 2015 di Inggris, dan Fron Nasional
di Perancis. Pada sisi progresif, Partai Syrizadi di Yunani dan Partai Podemos (Kita
Bisa!) di Spanyol menjadi rujukan fenomena kebangkitan gerakan patriotis
kewargaan (civic patriotism) yang
progresif, tetapi juga punya semangat internasionalisme.
Kegiatan jelang pemilu 2016 di
Amerika Serikat juga menyumbangkan tonggak sejarah tersendiri. Liberalisme
hak-hak sipil diserang oleh Donald Trump dari sisi kanan dan liberalisme
ekonomi digugat oleh Bernie Sanders dari sisi kiri.
Kebangsaan kembali bangkit di tengah
lanskap politik global yang sama sekali berbeda. Tidak ada lagi Amerika Serikat
dan Uni Soviet yang menjadi dua pusaran gejolak sekaligus penjaga stabilitas
dunia. Semua negara saat ini sama-sama memegang tanggung jawab masing-masing,
dalam sebuah jejaring saling ketergantungan sosial ekonomi. Krisis di tingkat
lokal dapat memicu kemunculan krisis di level global.
Meski demikian, ada satu hal yang
tidak berubah sebagai akar persoalan yang dihadapi, yaitu kemiskinan dan
kesenjangan sosial. Paus Fransiskus dalam "World Meeting of Popular Movements
2015" (Pertemuan Gerakan-gerakan Rakyat Seluruh Dunia 2015) mengingatkan
tiga masalah utama yang dihadapi dunia saat ini, yaitu ekonomi yang tidak
berpihak kepada rakyat kecil, bangkitnya kolonialisme baru, dan perubahan
iklim.
Pada konteks inilah seruan Bung
Karno 56 tahun lalu itu menjadi relevan dan strategis. Kita tak mengatakan
bahwa nilai-nilai Pancasila telah terimplementasi secara baik dan mulus
sepanjang perjalanan republik ini. Namun, sejauh ini kita telah membuktikan
bangsa yang sedemikian besar dan beragam ini masih tetap utuh dalam payung
persatuan nasional.
Pada dua periode pertama republik
(Orde Lama dan Orde Baru) kita telah memperkuat sendi ketuhanan dan persatuan
dari bangunan kebangsaan kita. Di periode reformasi ini mari kita fokus pada
penguatan kemanusiaan, aspek sosial dalam sendi demokrasi, dan aspek demokrasi
dalam sendi keadilan di negara kita. Gelombang sejarah baru terpapar di depan
kita. Janganlah diam dan menoleh ke belakang hanya karena ketakutan masa lalu.
Ayo keluar sekarang dari prasangka-prasangka masa lampau, karena masa depan
tidak akan bisa ditunda!
oleh: Budiman Sudjatmiko
disadur dari Kompas, Rabu, 1 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar