Editors Picks

Selasa, 07 Juni 2016

Darurat Desentralisasi Fungsional

Bulan April adalah bulan otonomi bagi bangsa Indonesia. Catatan terakhir dalam panggung otonomi daerah di Indonesia tergores akibat persoalan merosotnya perekonomian Kota Batam.

Menurut sejumlah pihak, kemerosotan terjadi karena perseteruan Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam yang tak kunjung usai mengenai siapa yang lebih berhak mengelola arus perdagangan di kota tersebut. Juga pada titik-titik mana urusan perdagangan di kota tersebut dapat dibagi-bagi antara pemerintah kota dan pihak Otorita Batam.

Perseteruan tersebut menyeruak ke panggung nasional lantaran dampaknya yang besar. Bahkan, sampai-sampai pertumbuhan ekonomi Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN dapat terpengaruhi karena pola kebijakan nasional, seperti di Kota Batam dapat terancam. Untuk itu, "kasus Batam" patut dicermati.

Cacat bawaan
Pola kebijakan nasional di Batam memang memiliki cacat bawaan. Meskipun lahir mulus dan tumbuh besar pada saat tertentu, Batam lahir dalam suasana Indonesia yang sentralistik di bawah rezim militeristik dan otoriter. Nilai pertumbuhan dalam kebijakan pembangunan yang diinginkan memuluskan pengembangan Batam sebagai salah satu titik tumbuh dengan dibangunnya Otorita Batam sebagai pihak pengendali di tingkat lokal.

Sejumlah alasan geografis memperkuat Batam dijadikannya titik tumbuh tersebut, terutama karena berhadapan dengan Singapura sebagai negara kota yang tumbuh cepat di Asia Tenggara. Indonesia mau tak mau harus dapat mengimbanginya dengan terobosan kebijakan pembangunan yang bernilai pertumbuhan tersebut. Batam-lah pilihan yang tepat.

Pemerintah kota pada saat itu pun dibuat sejalan dengan pola sentralistik yang sejalan dengan UU Pemerintahan Daerah yang berlaku saat itu. Pemerintah Kota Batam saat itu hanya administratif belaka. Wali kota sepenuhnya adalah wakil pemerintah, bukan sebagai kepala daerah. Kepala daerah ada di tangan gubernur yang juga sebagai wakil pemerintah. Pengendalian Batam dari Jakarta lebih mudah. Di tangan presiden dan sejumlah menteri terkait, amat mudah memantau Batam.

Pola seperti ini tampak harmonis di lapangan pada saat tersebut. Bangsa Indonesia lupa logika kelembagaan yang sepantasnya dipertanyakan pada rezim saat itu, yang dapat jadi pelajaran berharga untuk saat ini yang meyakini nilai demokrasi (lokal) menjadi acuan dalam manajemen pemerintahan.

Seharusnya dipertanyakan asas apakah yang digunakan rezim Orde Baru dalam mengembangkan Otorita Batam? Apakah sentralisasi? Kenapa terdapat lembaga lokal dengan manajemen yang tidak di bawah satu kementerian mana pun secara langsung? Demikian pula dekonsentrasi, apakah terdapat pelimpahan wewenang dari lembaga atasannya? Tugas pembantuan dari pusat pun tidak, karena tidak melibatkan daerah otonom di sana. Desentralisasi pun jelas tidak, karena tidak ada pemda setempat yang jadi penanggung jawab.

Inilah cacat bawaan Otorita Batam. Keberadaannya juga terbawa sampai masa reformasi. Bangsa ini memperkuatnya dengan UU Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. UU ini pun layak dipertanyakan.

Otorita itu mengatur kawasan fisiknya atau lembaganya? Jika fisiknya, di sana ada pemerintah setempat yang oleh UU pula bertanggung jawab mengelola karena terdapat penduduk setempat. Cacat bawaan mengatur keberadaan Batam ternyata dinaikkan statusnya dalam UU, bahkan UU tersebut dapat diberlakukan di tempat lain selain Batam di Indonesia. Cacat bawaan tersebut ternyata dapat dinilai menular ke tempat lain.

Jika kelembagaan, mestinya dicarikan mana alur tata kelolanya dalam konstruksi negara- bangsa Indonesia, tidak abu-abu. Batam lahir karena kepemimpinan rezim yang ingin menerobos kekakuan dalam rangka mendorong pertumbuhan pembangunan Indonesia. Niat dan tujuannya bagus, tetapi tata cara prosedur kelembagaannya tidak dipelajari terlebih dahulu dengan baik.

Jangan biarkan berlarut
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur kawasan khusus untuk menampung persoalan-persoalan tersebut. Nyatanya, penyusun UU ingin menghindari konflik seperti di Batam. Namun, rancangan peraturan pemerintah di bawahnya hanya diamanahi mengatur peran-peran apa yang dimainkan pemerintah daerah atas sejumlah kawasan khusus yang didirikan elemen pemerintah pusat. Direncanakan diatur pula bahwa sejumlah kawasan khusus dapat didirikan oleh pemda. Dengan demikian, penyusun UU masih berpikir bagi-bagi lapak soal kawasan khusus ini.

Ketidakkonsistenan juga terjadi pada definisi kawasan khusus itu sendiri dalam UU Pemda yang baru. Definisinya menunjuk pada kawasan fisik, tetapi maknanya mampu melakukan sejumlah kegiatan, artinya mengarah pada konsep lembaga.

Seharusnya penyusun UU berpikir strategis terlebih dahulu. Masa Pemerintah Hindia Belanda, dalam UUD perihal lembaga khusus yang nantinya dapat memiliki kawasan (fisik) khusus, diatur dalam satu pasal tersendiri. Pada masa itu yang masyhur, termasuk di Negeri Belanda sendiri saat ini, adalah kawasan air yang berdasarkan catchment area aliran sungai dengan dikembangkannya waterschappen sehingga baru terbentuk dua buah di Solo dan Yogyakarta. Namun, sejak merdeka, pendiri negara menghapus pasal tersebut sehingga hilanglah desentralisasi fungsional.

Tampak, negara kita perlu kembali mengadopsi desentralisasi fungsional juga, bukan hanya desentralisasi teritorial, seperti selama ini sepanjang kemerdekaan diadopsi. Hilangnya konsep tersebut, menyebabkan terobosan rezim Soeharto mengatur Batam menjadi masuk dalam wilayah abu-abu, sehingga begitu demokrasi lokal dianut pecahlah konflik antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam. Mungkin konflik tidak terjadi jika terdapat desentralisasi fungsional dalam konstruksi lembaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desentralisasi fungsional menyebabkan terdapatnya lembaga lokal mandiri-otonom bukan dimiliki pusat semata, bukan pula dimiliki pemda semata, tetapi milik pemangku kepentingan lokal yang berkepentingan terhadap urusan yang dikelolanya. Bagaimana pemangku kepentingan terkait dapat terlibat berperan dalam lembaga tersebut, ini diatur dalam lembaga-lembaga yang tercipta di dalamnya. Lembaga politik yang mengatur dikembangkan semacam dewan atau lembaga representatif, sehingga terdapat pemerintah pusat dan pemda duduk bersama di sana, bahkan terdapat masyarakat yang berkepentingan.

Lembaga birokrasinya mandiri di bawahnya. Bekerja atas perintah lembaga pengaturnya sehingga mampu untuk mengatasi konflik berbagai pihak yang ada, bahkan mandiri dan profesional karena sumber keuangan dan sumber lainnya diatur sendiri. Dengan dasar hukum yang kuat bahkan semestinya dalam UUD. Inilah desentralisasi fungsional yang berbeda daripada desentralisasi teritorial yang menciptakan pemda-pemda, seperti kita lihat sampai saat ini. Semoga ini dapat diadopsi untuk mengatasi berbagai persoalan publik NKRI masa depan.

oleh Irfan Ridwan Maksum
disadur dari Kompas, Selasa, 7 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar