Menurut sejumlah pihak, kemerosotan
terjadi karena perseteruan Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam yang tak
kunjung usai mengenai siapa yang lebih berhak mengelola arus perdagangan di
kota tersebut. Juga pada titik-titik mana urusan perdagangan di kota tersebut
dapat dibagi-bagi antara pemerintah kota dan pihak Otorita Batam.
Perseteruan tersebut menyeruak ke
panggung nasional lantaran dampaknya yang besar. Bahkan, sampai-sampai
pertumbuhan ekonomi Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN dapat
terpengaruhi karena pola kebijakan nasional, seperti di Kota Batam dapat
terancam. Untuk itu, "kasus Batam" patut dicermati.
Cacat
bawaan
Pola kebijakan nasional di Batam
memang memiliki cacat bawaan. Meskipun lahir mulus dan tumbuh besar pada saat
tertentu, Batam lahir dalam suasana Indonesia yang sentralistik di bawah rezim
militeristik dan otoriter. Nilai pertumbuhan dalam kebijakan pembangunan yang
diinginkan memuluskan pengembangan Batam sebagai salah satu titik tumbuh dengan
dibangunnya Otorita Batam sebagai pihak pengendali di tingkat lokal.
Sejumlah alasan geografis memperkuat
Batam dijadikannya titik tumbuh tersebut, terutama karena berhadapan dengan
Singapura sebagai negara kota yang tumbuh cepat di Asia Tenggara. Indonesia mau
tak mau harus dapat mengimbanginya dengan terobosan kebijakan pembangunan yang bernilai
pertumbuhan tersebut. Batam-lah pilihan yang tepat.
Pemerintah kota pada saat itu pun
dibuat sejalan dengan pola sentralistik yang sejalan dengan UU Pemerintahan
Daerah yang berlaku saat itu. Pemerintah Kota Batam saat itu hanya
administratif belaka. Wali kota sepenuhnya adalah wakil pemerintah, bukan
sebagai kepala daerah. Kepala daerah ada di tangan gubernur yang juga sebagai
wakil pemerintah. Pengendalian Batam dari Jakarta lebih mudah. Di tangan
presiden dan sejumlah menteri terkait, amat mudah memantau Batam.
Pola seperti ini tampak harmonis di
lapangan pada saat tersebut. Bangsa Indonesia lupa logika kelembagaan yang
sepantasnya dipertanyakan pada rezim saat itu, yang dapat jadi pelajaran
berharga untuk saat ini yang meyakini nilai demokrasi (lokal) menjadi acuan
dalam manajemen pemerintahan.
Seharusnya dipertanyakan asas apakah
yang digunakan rezim Orde Baru dalam mengembangkan Otorita Batam? Apakah
sentralisasi? Kenapa terdapat lembaga lokal dengan manajemen yang tidak di
bawah satu kementerian mana pun secara langsung? Demikian pula dekonsentrasi,
apakah terdapat pelimpahan wewenang dari lembaga atasannya? Tugas pembantuan
dari pusat pun tidak, karena tidak melibatkan daerah otonom di sana.
Desentralisasi pun jelas tidak, karena tidak ada pemda setempat yang jadi
penanggung jawab.
Inilah cacat bawaan Otorita Batam.
Keberadaannya juga terbawa sampai masa reformasi. Bangsa ini memperkuatnya
dengan UU Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. UU ini pun layak
dipertanyakan.
Otorita itu mengatur kawasan
fisiknya atau lembaganya? Jika fisiknya, di sana ada pemerintah setempat yang
oleh UU pula bertanggung jawab mengelola karena terdapat penduduk setempat.
Cacat bawaan mengatur keberadaan Batam ternyata dinaikkan statusnya dalam UU,
bahkan UU tersebut dapat diberlakukan di tempat lain selain Batam di Indonesia.
Cacat bawaan tersebut ternyata dapat dinilai menular ke tempat lain.
Jika kelembagaan, mestinya dicarikan
mana alur tata kelolanya dalam konstruksi negara- bangsa Indonesia, tidak
abu-abu. Batam lahir karena kepemimpinan rezim yang ingin menerobos kekakuan
dalam rangka mendorong pertumbuhan pembangunan Indonesia. Niat dan tujuannya
bagus, tetapi tata cara prosedur kelembagaannya tidak dipelajari terlebih
dahulu dengan baik.
Jangan
biarkan berlarut
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah mengatur kawasan khusus untuk menampung persoalan-persoalan
tersebut. Nyatanya, penyusun UU ingin menghindari konflik seperti di Batam.
Namun, rancangan peraturan pemerintah di bawahnya hanya diamanahi mengatur
peran-peran apa yang dimainkan pemerintah daerah atas sejumlah kawasan khusus
yang didirikan elemen pemerintah pusat. Direncanakan diatur pula bahwa sejumlah
kawasan khusus dapat didirikan oleh pemda. Dengan demikian, penyusun UU masih
berpikir bagi-bagi lapak soal kawasan khusus ini.
Ketidakkonsistenan juga terjadi pada
definisi kawasan khusus itu sendiri dalam UU Pemda yang baru. Definisinya
menunjuk pada kawasan fisik, tetapi maknanya mampu melakukan sejumlah kegiatan,
artinya mengarah pada konsep lembaga.
Seharusnya penyusun UU berpikir
strategis terlebih dahulu. Masa Pemerintah Hindia Belanda, dalam UUD perihal
lembaga khusus yang nantinya dapat memiliki kawasan (fisik) khusus, diatur
dalam satu pasal tersendiri. Pada masa itu yang masyhur, termasuk di Negeri
Belanda sendiri saat ini, adalah kawasan air yang berdasarkan catchment area
aliran sungai dengan dikembangkannya waterschappen
sehingga baru terbentuk dua buah di Solo dan Yogyakarta. Namun, sejak merdeka,
pendiri negara menghapus pasal tersebut sehingga hilanglah desentralisasi
fungsional.
Tampak, negara kita perlu kembali
mengadopsi desentralisasi fungsional juga, bukan hanya desentralisasi
teritorial, seperti selama ini sepanjang kemerdekaan diadopsi. Hilangnya konsep
tersebut, menyebabkan terobosan rezim Soeharto mengatur Batam menjadi masuk
dalam wilayah abu-abu, sehingga begitu demokrasi lokal dianut pecahlah konflik
antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam. Mungkin konflik tidak terjadi
jika terdapat desentralisasi fungsional dalam konstruksi lembaga Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi fungsional
menyebabkan terdapatnya lembaga lokal mandiri-otonom bukan dimiliki pusat
semata, bukan pula dimiliki pemda semata, tetapi milik pemangku kepentingan
lokal yang berkepentingan terhadap urusan yang dikelolanya. Bagaimana pemangku
kepentingan terkait dapat terlibat berperan dalam lembaga tersebut, ini diatur
dalam lembaga-lembaga yang tercipta di dalamnya. Lembaga politik yang mengatur
dikembangkan semacam dewan atau lembaga representatif, sehingga terdapat
pemerintah pusat dan pemda duduk bersama di sana, bahkan terdapat masyarakat
yang berkepentingan.
Lembaga birokrasinya mandiri di
bawahnya. Bekerja atas perintah lembaga pengaturnya sehingga mampu untuk
mengatasi konflik berbagai pihak yang ada, bahkan mandiri dan profesional
karena sumber keuangan dan sumber lainnya diatur sendiri. Dengan dasar hukum
yang kuat bahkan semestinya dalam UUD. Inilah desentralisasi fungsional yang
berbeda daripada desentralisasi teritorial yang menciptakan pemda-pemda,
seperti kita lihat sampai saat ini. Semoga ini dapat diadopsi untuk mengatasi
berbagai persoalan publik NKRI masa depan.
oleh Irfan Ridwan Maksum
disadur dari Kompas, Selasa, 7 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar