Editors Picks

Minggu, 05 Juni 2016

Transformasi Status Informal



Data situasi ketenagakerjaan Februari 2016 yang dirilis BPS awal Mei: penduduk yang bekerja di sektor formal berkurang dari 42,06 persen menjadi 41,72 persen. Peran sektor informal masih dominan, naik dari 70,02 juta orang menjadi 70,3 juta orang.

Sejalan dengan kondisi tersebut, jumlah penganggur turun 430.000 orang, dari 7,45 juta orang jadi 7,02 juta orang. Secara relatif, tingkat penganggur terbuka menurun jadi 5,50 persen.

Fakta di atas membawa kemafhuman bersama terhadap eksistensi sektor informal dalam peta ketenagakerjaan di Indonesia. Saat peran sektor formal berkurang, kontribusi sektor informal dalam menyediakan lapangan kerja meningkat.

Citra ini tak terhindarkan lantaran kinerja sektor formal, industri manufaktur misalnya, mengalami pelambatan yang berimbas pada pemutusan hubungan kerja. Korban PHK ini diperkirakan beralih profesi jadi pelaku usaha di sektor informal. Dalam situasi yang ekstrem, pengalaman pada krisis ekonomi 1997/1998 menjadi bukti sahihnya.

Kenyataan semacam ini potensial ditafsirkan sebagai peningkatan kapasitas sektor informal dalam menyerap tenaga kerja. Bahkan, kesan yang timbul adalah peningkatan kapasitasnya melebihi kenaikan angka penganggur itu sendiri.

Secara teori, penyerapan lapangan kerja mengikuti konsep turunan. Induknya adalah permintaan terhadap output yang diproduksi. Atas dasar ini, penciptaan kesempatan kerja senantiasa harus dikaitkan dengan sektor produksinya.

Sektor produksi mengikuti Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia terbagi ke dalam sembilan sektor ekonomi atau setidaknya tiga kelompok besar: pertanian, industri, dan jasa. Tiap sektor memiliki perbedaan kemampuan penyerapan tenaga kerja terkait dengan prospek produksinya. Indikator yang sering dipakai adalah elastisitas kesempatan kerja. Indeks ini mengidentifikasi respons penciptaan lapangan kerja sebagai akibat dari pertumbuhan output. Atas dasar konsep ini, angka elastisitas yang lebih besar dari 1 (satu) mengindikasikan kemampuan penyerapan tenaga kerja yang semakin besar.

Dipaksakan
Konsep elastisitas ini sepertinya dipaksakan ke dalam konteks sektor informal. Sektor formal-informal dipandang sama kedudukannya dengan ketiga sektor ekonomi di atas. Padahal,output nasional sebagaimana tersaji dalam PDB tak membedakan kontribusi formal-informal.

Pembedaan formal-informal muncul dalam konteks status hubungan kerja. Dari lima klasifikasi status hubungan kerja, hanya majikan dan buruh yang disebut formal. Sisanya: pekerja mandiri yang dibantu dengan anggota rumah tangga, dan pekerja keluarga tak dibayar, termasuk kategori informal. Karena itu, pembedaan formal-informal—yang salah kaprah selalu diawali dengan kata sektor —seharusnya dipahami dalam konteks status hubungan kerja. Alhasil, menurunnya angka penganggur dan meningkatnya status informal dalam penyerapan tenaga kerja sejatinya bukan kabar baik.

Pemahaman ini lebih lanjut membawa implikasi yang sangat penting dalam mewawas keberadaan status informal. Status informal dipandang semata-mata hanya sebagai ekses status formal. Artinya, status tenaga kerja informal sebatas transisi sambil menunggu kesempatan kerja di status formal. Akibat berikutnya, status informal dianggap sebagai residual sehingga keberadaannya perlu direduksi. Artinya, hubungan antara formal-informal terjalin layaknya superior dan inferior. Dengan makin majunya status formal, status informal hilang dengan sendirinya sehingga terjadi semacam monopoli.

Pandangan lain berasumsi bahwa formal-informal adalah dua sisi mata uang. Mazhab ini menganggap keberadaan status informal harus ditempatkan secara alami sebagaimana adanya. Satu kegiatan ekonomi yang tak tergarap oleh status formal akan diisi status informal. Jika dianalogikan dengan pasar barang, posisi keduanya mirip dengan struktur duopoli. Masing-masing dari 'duopolis' memiliki segmen berbeda sehingga tak terjadi persaingan saling merugikan. Kerja sama keduanya terjalin dalam hubungan saling menguntungkan. Jelasnya, sektor informal dan formal itu komplementer.

Dalam konteks sektor informal di Indonesia, kompromi atas kedua pandangan itu layak dilakukan. Langkah awalnya adalah mentransformasi status informal ke dalam wadah yang lebih 'formal' setidaknya secara yuridis terlebih dahulu, seperti usaha mikro, usaha kecil dan menengah, serta koperasi (UMKMK).

Langkah ini pada awalnya tentu akan mendapat resistensi dari pelaku UMKMK karena fobia terhadap pajak. Namun, sejalan dengan paket kebijakan deregulasi ekonomi yang diluncurkan pemerintah, aspek legalitas UMKMK ini akan terfasilitasi dari sisi fiskal.

Konsekuensinya, perusahaan besar akan lebih mudah memberikan bantuan lewat program CSR-nya. Akses terhadap lembaga keuangan pun akan terbuka lantaran ada landasan yuridisnya. Subkontrak pekerjaan jadi saling membutuhkan dalam rajut kesepadanan. Dengan demikian, model itu berpotensi mengubah sifat konvensional status informal, dari yang semula independen dari siklus perekonomian menjadi stok penyangga yang kontras. Pola pengembangan semacam ini niscaya mampu menjadikan UMKMK sebagai bidang usaha yang mandiri.

Dalam jangka panjang, apabila pengembangan sektor formal dapat tercapai bersama-sama dengan peningkatan status informal, metode ini akan mendukung tercapainya ide redistribusi dengan pertumbuhan.

Alhasil, desain kebijakan terhadap status informal hanya akibat alih-alih sebagai sebab. Esensinya: cara mewawas terhadap masalah yang sedang dihadapi. Apabila esensi penyebabnya telah diidentifikasi, keefektifan kebijakan akan tercapai.

oleh: Haryo Kuncoro
disadur dari Kompas, Sabtu, 28 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar