Data situasi ketenagakerjaan
Februari 2016 yang dirilis BPS awal Mei: penduduk yang bekerja di sektor formal
berkurang dari 42,06 persen menjadi 41,72 persen. Peran sektor informal masih
dominan, naik dari 70,02 juta orang menjadi 70,3 juta orang.
Sejalan dengan kondisi tersebut,
jumlah penganggur turun 430.000 orang, dari 7,45 juta orang jadi 7,02 juta
orang. Secara relatif, tingkat penganggur terbuka menurun jadi 5,50 persen.
Fakta di atas membawa kemafhuman
bersama terhadap eksistensi sektor informal dalam peta ketenagakerjaan di
Indonesia. Saat peran sektor formal berkurang, kontribusi sektor informal dalam
menyediakan lapangan kerja meningkat.
Citra ini tak terhindarkan lantaran
kinerja sektor formal, industri manufaktur misalnya, mengalami pelambatan yang
berimbas pada pemutusan hubungan kerja. Korban PHK ini diperkirakan beralih
profesi jadi pelaku usaha di sektor informal. Dalam situasi yang ekstrem,
pengalaman pada krisis ekonomi 1997/1998 menjadi bukti sahihnya.
Kenyataan semacam ini potensial
ditafsirkan sebagai peningkatan kapasitas sektor informal dalam menyerap tenaga
kerja. Bahkan, kesan yang timbul adalah peningkatan kapasitasnya melebihi
kenaikan angka penganggur itu sendiri.
Secara teori, penyerapan lapangan
kerja mengikuti konsep turunan. Induknya adalah permintaan terhadap output yang
diproduksi. Atas dasar ini, penciptaan kesempatan kerja senantiasa harus
dikaitkan dengan sektor produksinya.
Sektor produksi mengikuti
Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia terbagi ke dalam sembilan sektor ekonomi
atau setidaknya tiga kelompok besar: pertanian, industri, dan jasa. Tiap sektor
memiliki perbedaan kemampuan penyerapan tenaga kerja terkait dengan prospek
produksinya. Indikator yang sering dipakai adalah elastisitas kesempatan kerja.
Indeks ini mengidentifikasi respons penciptaan lapangan kerja sebagai akibat
dari pertumbuhan output. Atas dasar konsep ini, angka elastisitas yang lebih
besar dari 1 (satu) mengindikasikan kemampuan penyerapan tenaga kerja yang
semakin besar.
Dipaksakan
Konsep elastisitas ini sepertinya
dipaksakan ke dalam konteks sektor informal. Sektor formal-informal dipandang
sama kedudukannya dengan ketiga sektor ekonomi di atas. Padahal,output nasional
sebagaimana tersaji dalam PDB tak membedakan kontribusi formal-informal.
Pembedaan formal-informal muncul
dalam konteks status hubungan kerja. Dari lima klasifikasi status hubungan
kerja, hanya majikan dan buruh yang disebut formal. Sisanya: pekerja mandiri
yang dibantu dengan anggota rumah tangga, dan pekerja keluarga tak dibayar,
termasuk kategori informal. Karena itu, pembedaan formal-informal—yang salah
kaprah selalu diawali dengan kata sektor —seharusnya dipahami dalam konteks
status hubungan kerja. Alhasil, menurunnya angka penganggur dan meningkatnya
status informal dalam penyerapan tenaga kerja sejatinya bukan kabar baik.
Pemahaman ini lebih lanjut membawa
implikasi yang sangat penting dalam mewawas keberadaan status informal. Status
informal dipandang semata-mata hanya sebagai ekses status formal. Artinya,
status tenaga kerja informal sebatas transisi sambil menunggu kesempatan kerja
di status formal. Akibat berikutnya, status informal dianggap sebagai residual
sehingga keberadaannya perlu direduksi. Artinya, hubungan antara
formal-informal terjalin layaknya superior dan inferior. Dengan makin majunya
status formal, status informal hilang dengan sendirinya sehingga terjadi
semacam monopoli.
Pandangan lain berasumsi bahwa
formal-informal adalah dua sisi mata uang. Mazhab ini menganggap keberadaan
status informal harus ditempatkan secara alami sebagaimana adanya. Satu
kegiatan ekonomi yang tak tergarap oleh status formal akan diisi status informal.
Jika dianalogikan dengan pasar barang, posisi keduanya mirip dengan struktur
duopoli. Masing-masing dari 'duopolis' memiliki segmen berbeda sehingga tak
terjadi persaingan saling merugikan. Kerja sama keduanya terjalin dalam
hubungan saling menguntungkan. Jelasnya, sektor informal dan formal itu
komplementer.
Dalam konteks sektor informal di
Indonesia, kompromi atas kedua pandangan itu layak dilakukan. Langkah awalnya
adalah mentransformasi status informal ke dalam wadah yang lebih 'formal'
setidaknya secara yuridis terlebih dahulu, seperti usaha mikro, usaha kecil dan
menengah, serta koperasi (UMKMK).
Langkah ini pada awalnya tentu akan
mendapat resistensi dari pelaku UMKMK karena fobia terhadap pajak. Namun,
sejalan dengan paket kebijakan deregulasi ekonomi yang diluncurkan pemerintah,
aspek legalitas UMKMK ini akan terfasilitasi dari sisi fiskal.
Konsekuensinya, perusahaan besar
akan lebih mudah memberikan bantuan lewat program CSR-nya. Akses terhadap
lembaga keuangan pun akan terbuka lantaran ada landasan yuridisnya. Subkontrak
pekerjaan jadi saling membutuhkan dalam rajut kesepadanan. Dengan demikian,
model itu berpotensi mengubah sifat konvensional status informal, dari yang
semula independen dari siklus perekonomian menjadi stok penyangga yang kontras.
Pola pengembangan semacam ini niscaya mampu menjadikan UMKMK sebagai bidang
usaha yang mandiri.
Dalam jangka panjang, apabila
pengembangan sektor formal dapat tercapai bersama-sama dengan peningkatan
status informal, metode ini akan mendukung tercapainya ide redistribusi dengan
pertumbuhan.
Alhasil, desain kebijakan terhadap
status informal hanya akibat alih-alih sebagai sebab. Esensinya: cara mewawas
terhadap masalah yang sedang dihadapi. Apabila esensi penyebabnya telah
diidentifikasi, keefektifan kebijakan akan tercapai.
oleh: Haryo Kuncoro
disadur dari Kompas, Sabtu, 28 Mei
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar