"Masyarakat agama dalam kondisi
modern senantiasa berhubungan dengan ekonomi, bentuk keagamaan, ritualistik
serta komodifikasi agama." (Bryan S Turner, 2014)
Fenomena kehidupan keagamaan di
negeri ini tak dimungkiri semakin marak. Semarak orang pergi ke gereja, pura,
wihara, kelenteng, serta masjid tidak terbantahkan. Sebagai masyarakat, bangsa
ini secara artikulatif tampak kasatmata: semakin religius, bukan makin sekuler.
Inilah masyarakat "post-sekuler".
Penduduk Muslim yang mayoritas—data
tahun 2015 menyebutkan 88,2 persen—bukti khusus bahwa umat Muslim tak
berkurang, tetapi bertambah. Karena itu, fenomena aktivitas kegiatan keislaman
semarak di seluruh Nusantara. Upacara keagamaan bersuasana keislaman tak pernah
berhenti diselenggarakan.
Masalahnya, kemakinsemarakan
aktivitas artikulasi keislaman (keagamaan) yang terjadi di negeri ini adakah
berhubungan dengan internalisasi dan obyektivikasi nilai keagamaan yang dianut
masyarakat, perlu mendapat perhatian serius kaum agamawan. Ada pesan kuat bahwa
keagamaan di negeri ini sebenarnya masih bersifat formalistis, bukan
substansialistis.
Marah
dan rakus
Keagamaan masyarakat kita adalah
keagamaan yang simbolis, bukan esensialistis. Beragama, tetapi puas dengan
simbol, atribut, serta berbagai aksesori yang tak jarang sekadar menyenangkan
pihak lain untuk memberi pujian, serta kepuasan aksesoris semata pada para
penganutnya. Inilah "abu dari agama", bukan "api agama"
yang jadi pegangan kaum beragama.
Kaum agama dalam masyarakat
"post-sekuler", dikatakan Bryan S Turner, merupakan fenomena
keagamaan yang tak jarang "berbalut kemarahan dan kerakusan". Mereka
beragama, tetapi kurang menghayati nilai substansial agama itu sendiri. Kaum
beragama telah terpuaskan dengan apa yang telah dikerjakan sekalipun tak
berdampak sosial apa pun. Kaum beragama puas dengan artikulasi kesalehan
personal yang dikerjakan setiap hari menjadi bagian dari hidup religius
sehari-hari.
Banyaknya pasukan paramiliter agama
di Jakarta serta kota lain di Indonesia yang beragama dengan paham "paling
benar" dan tak ada kompromi, dialog dengan pihak lain yang dipersalahkan
bahkan disesatkan, merupakan bukti nyata keagamaan masyarakat sekarang
sebenarnya berbalut kemarahan. Terlalu banyak kekerasan, kebengisan, bahkan
aksi radikalis serta teroris memberi bukti mereka beragama, tetapi berbungkus
kemarahan, bukan dalam kemurahan dan keramahan. Banyak orang menganut agama
sekaligus gampang pula marah dalam beragama.
Selain itu, kaum beragama juga tak
peduli kesengsaraan orang lain sehingga perilakunya tak sederhana, secukupnya
sesuai dengan kebutuhan hidupnya, tak mengambil hak orang lain, menipu serta
memanipulasi keagamaan dengan bungkus kesalehan simbolis. Semua ini merupakan
keagamaan yang rakus sehingga keagamaan kita dalam era modern adalah cermin
keagamaan yang rakus.
Orang beragama, tetapi tak dapat
merasa cukup dengan yang telah diperoleh. Orang beragama tak pernah puas dengan
ibadah umrah tiga kali sebagaimana contoh Nabi Muhammad dan haji satu kali
saja. Orang Muslim tiap bulan menjalankan umrah sebagai bagian dari artikulasi
kesalehan tanpa batas.
Inilah sebenarnya beragama, tetapi
dalam kerakusan yang nyata. Bukan hanya rakus harta benda, tetapi rakus akan
hak orang lain sehingga orang lain tak dapat menikmati kesejahteraan dan
kenikmatan yang selalu dimiliki oleh kelas menengah Muslim Indonesia.
Apakah tak mungkin kelas menengah
Muslim cukup menjalankan umrah tiga kali seumur hidup dan haji satu kali seumur
hidup sehingga memberi kesempatan pada Muslim lainnya untuk umrah atau haji?
Minus
kritik sosial
Beragama "formalistis"
inilah fenomena mutakhir dari keagamaan kaum modern "post-sekuler".
Orang tak mencari-cari keagamaan yang spiritualitas, tetapi "puas dengan
keagamaan" yang artikulatif sekalipun semu dan nihil akan kritik sosial.
Keagamaan tak mampu menciptakan daya kritik masyarakat karena yang dipentingkan
adalah menjalankan kesalehan personal, bukan kesalehan sosial sebagaimana
diamanatkan kitab suci.
Kaum agama terbelenggu dalam
kesadaran palsu keagamaan yang sebenarnya "membius" bagai candu
karena tak memiliki kesadaran kolektif untuk berbagi, menyantuni, mengayomi,
serta menyelamatkan para pihak yang sengsara dan duafa dalam makna yang
sebenar-benarnya.
Di kalangan umat Muslim, misalnya,
banyaknya aktivitas doa bersama, jemaah duha, jemaah majelis taklim, jemaah
haji dan umrah, serta jemaah sedekah rombongan tak berbanding positif dengan
pengurangan kemiskinan, kebodohan, serta kejahatan yang dibuat kaum beragama.
Ini menandakan kaum beragama yang tampak rajin di satu pihak tak berhubungan
dengan berkurangnya fenomena kemungkaran sosial yang juga dikerjakan kaum
beragama.
Kekerasan orang tua terhadap
anaknya, pemerkosaan seorang guru terhadap siswa, kejahatan para siswa terhadap
sesama siswa, serta kejahatan para guru ngaji "gadungan" atas jemaah
adalah bukti otentik jika kaum beragama dalam masyarakat
"post-sekuler" sejatinya bisa dikatakan "hanya ramai
diartikulasi" kesalehan individual, tetapi "sepi dalam kesalehan
sosial", apalagi membasmi kemungkaran sosial. Terlalu banyak manipulasi
dalam beragama.
Terlalu sering agama itu dijadikan
mesin penarik uang dari para pemimpinnya. Para pemimpin jemaah taklim,
misalnya, menjadikan agama sebagai penarik modal keuntungan finansial dengan
penjualan produk kesalehan simbolis, seperti menjual mukena, hijab, kain
sarung, sorban, serta yang tak kalah heboh adalah "jualan pintu
surga" dengan tawaran haji dan umrah eksekutif.
Masih terlalu banyak umat beragama
(Muslim) sebagai mayoritas yang tak dapat menikmati "kebahagiaan
hidup" bersama keluarganya karena kekurangan makanan sehat dan biaya
menyekolahkan anaknya, serta terlalu banyak keluarga miskin yang hidup serba
kekurangan.
oleh: Zuly Qodir
disadur dari Kompas, Senin, 30 Mei
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar