Editors Picks

Minggu, 05 Juni 2016

Masyarakat ”Post-Sekuler”




"Masyarakat agama dalam kondisi modern senantiasa berhubungan dengan ekonomi, bentuk keagamaan, ritualistik serta komodifikasi agama." (Bryan S Turner, 2014)

Fenomena kehidupan keagamaan di negeri ini tak dimungkiri semakin marak. Semarak orang pergi ke gereja, pura, wihara, kelenteng, serta masjid tidak terbantahkan. Sebagai masyarakat, bangsa ini secara artikulatif tampak kasatmata: semakin religius, bukan makin sekuler. Inilah masyarakat "post-sekuler".

Penduduk Muslim yang mayoritas—data tahun 2015 menyebutkan 88,2 persen—bukti khusus bahwa umat Muslim tak berkurang, tetapi bertambah. Karena itu, fenomena aktivitas kegiatan keislaman semarak di seluruh Nusantara. Upacara keagamaan bersuasana keislaman tak pernah berhenti diselenggarakan.

Masalahnya, kemakinsemarakan aktivitas artikulasi keislaman (keagamaan) yang terjadi di negeri ini adakah berhubungan dengan internalisasi dan obyektivikasi nilai keagamaan yang dianut masyarakat, perlu mendapat perhatian serius kaum agamawan. Ada pesan kuat bahwa keagamaan di negeri ini sebenarnya masih bersifat formalistis, bukan substansialistis.

Marah dan rakus
Keagamaan masyarakat kita adalah keagamaan yang simbolis, bukan esensialistis. Beragama, tetapi puas dengan simbol, atribut, serta berbagai aksesori yang tak jarang sekadar menyenangkan pihak lain untuk memberi pujian, serta kepuasan aksesoris semata pada para penganutnya. Inilah "abu dari agama", bukan "api agama" yang jadi pegangan kaum beragama.

Kaum agama dalam masyarakat "post-sekuler", dikatakan Bryan S Turner, merupakan fenomena keagamaan yang tak jarang "berbalut kemarahan dan kerakusan". Mereka beragama, tetapi kurang menghayati nilai substansial agama itu sendiri. Kaum beragama telah terpuaskan dengan apa yang telah dikerjakan sekalipun tak berdampak sosial apa pun. Kaum beragama puas dengan artikulasi kesalehan personal yang dikerjakan setiap hari menjadi bagian dari hidup religius sehari-hari.

Banyaknya pasukan paramiliter agama di Jakarta serta kota lain di Indonesia yang beragama dengan paham "paling benar" dan tak ada kompromi, dialog dengan pihak lain yang dipersalahkan bahkan disesatkan, merupakan bukti nyata keagamaan masyarakat sekarang sebenarnya berbalut kemarahan. Terlalu banyak kekerasan, kebengisan, bahkan aksi radikalis serta teroris memberi bukti mereka beragama, tetapi berbungkus kemarahan, bukan dalam kemurahan dan keramahan. Banyak orang menganut agama sekaligus gampang pula marah dalam beragama.

Selain itu, kaum beragama juga tak peduli kesengsaraan orang lain sehingga perilakunya tak sederhana, secukupnya sesuai dengan kebutuhan hidupnya, tak mengambil hak orang lain, menipu serta memanipulasi keagamaan dengan bungkus kesalehan simbolis. Semua ini merupakan keagamaan yang rakus sehingga keagamaan kita dalam era modern adalah cermin keagamaan yang rakus.

Orang beragama, tetapi tak dapat merasa cukup dengan yang telah diperoleh. Orang beragama tak pernah puas dengan ibadah umrah tiga kali sebagaimana contoh Nabi Muhammad dan haji satu kali saja. Orang Muslim tiap bulan menjalankan umrah sebagai bagian dari artikulasi kesalehan tanpa batas.

Inilah sebenarnya beragama, tetapi dalam kerakusan yang nyata. Bukan hanya rakus harta benda, tetapi rakus akan hak orang lain sehingga orang lain tak dapat menikmati kesejahteraan dan kenikmatan yang selalu dimiliki oleh kelas menengah Muslim Indonesia.

Apakah tak mungkin kelas menengah Muslim cukup menjalankan umrah tiga kali seumur hidup dan haji satu kali seumur hidup sehingga memberi kesempatan pada Muslim lainnya untuk umrah atau haji?

Minus kritik sosial
Beragama "formalistis" inilah fenomena mutakhir dari keagamaan kaum modern "post-sekuler". Orang tak mencari-cari keagamaan yang spiritualitas, tetapi "puas dengan keagamaan" yang artikulatif sekalipun semu dan nihil akan kritik sosial. Keagamaan tak mampu menciptakan daya kritik masyarakat karena yang dipentingkan adalah menjalankan kesalehan personal, bukan kesalehan sosial sebagaimana diamanatkan kitab suci.

Kaum agama terbelenggu dalam kesadaran palsu keagamaan yang sebenarnya "membius" bagai candu karena tak memiliki kesadaran kolektif untuk berbagi, menyantuni, mengayomi, serta menyelamatkan para pihak yang sengsara dan duafa dalam makna yang sebenar-benarnya.

Di kalangan umat Muslim, misalnya, banyaknya aktivitas doa bersama, jemaah duha, jemaah majelis taklim, jemaah haji dan umrah, serta jemaah sedekah rombongan tak berbanding positif dengan pengurangan kemiskinan, kebodohan, serta kejahatan yang dibuat kaum beragama. Ini menandakan kaum beragama yang tampak rajin di satu pihak tak berhubungan dengan berkurangnya fenomena kemungkaran sosial yang juga dikerjakan kaum beragama.

Kekerasan orang tua terhadap anaknya, pemerkosaan seorang guru terhadap siswa, kejahatan para siswa terhadap sesama siswa, serta kejahatan para guru ngaji "gadungan" atas jemaah adalah bukti otentik jika kaum beragama dalam masyarakat "post-sekuler" sejatinya bisa dikatakan "hanya ramai diartikulasi" kesalehan individual, tetapi "sepi dalam kesalehan sosial", apalagi membasmi kemungkaran sosial. Terlalu banyak manipulasi dalam beragama.

Terlalu sering agama itu dijadikan mesin penarik uang dari para pemimpinnya. Para pemimpin jemaah taklim, misalnya, menjadikan agama sebagai penarik modal keuntungan finansial dengan penjualan produk kesalehan simbolis, seperti menjual mukena, hijab, kain sarung, sorban, serta yang tak kalah heboh adalah "jualan pintu surga" dengan tawaran haji dan umrah eksekutif.

Masih terlalu banyak umat beragama (Muslim) sebagai mayoritas yang tak dapat menikmati "kebahagiaan hidup" bersama keluarganya karena kekurangan makanan sehat dan biaya menyekolahkan anaknya, serta terlalu banyak keluarga miskin yang hidup serba kekurangan.

oleh: Zuly Qodir
disadur dari Kompas, Senin, 30 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar