Grafik
penduduk Indonesia pada rentang tahun 2010-2020 ditandai dengan pertumbuhan
generasi muda yang cukup signifikan. Komparasi penduduk usia muda kini sudah
mencapai 64 juta atau 28 persen dari populasi Indonesia dibandingkan dengan
jumlah penduduk usia lanjut yang menunjukkan gejala penurunan (BKKBN, 2013).
Adanya kenaikan jumlah penduduk usia
muda tersebut merupakan bagian dari fenomena bonus demografi yang diperkirakan
akan mencapai puncaknya pada 2025-2030. Besarnya jumlah penduduk usia muda
tersebut sangat berpotensi menuntun ke melimpahnya jumlah tenaga kerja di
Indonesia. Namun, bagaimana dengan urusan politik?
Besarnya jumlah penduduk usia muda
tersebut juga menandai adanya transformasi berpolitik dari generasi baby boom menuju generasi Y. Generasi baby boom merupakan generasi yang terlahir setelah
perang dunia dan hidup pada era dunia bipolar mulai tahun 1945 hingga 1979.
Karena itu, cara pandang politik
yang ditangkap generasi baby boom ini
adalah melihat politik sebagai media mengamankan materi dan kedudukan. Mereka
terbiasa melihat mana kawan dan lawan secara gamblang. Hal itulah yang
berimplikasi pada konteks politik kekinian bahwa politik didominasi kepentingan
dan melebarnya jurang antara publik maupun elite.
Platform
politik bebas
Menurut Strauss (2000), politik
generasi Y ditandai dengan keterikatan pada digitalisasi media. Mereka terbiasa
menghadapi orang dengan beranekaragam dan bermacam latar belakang.
Namun, dibandingkan dengan generasi baby boom, kesadaran politik yang ditampilkan generasi
Y hanya berlaku di permukaan, tidak sampai mendalam. Hal ini dikarenakan adanya
pengaruh media yang begitu masif telah memengaruhi secara signifikan arah
perilaku politik generasi Y.
Peta politik Indonesia hari ini
diwarnai dengan dua kecenderungan penting, yakni menurunnya kekuasaan oligarkis
di tingkatan elite dan juga semakin meningkatnya kekuatan populis yang digalang
di akar rumput melalui internet sehingga mampu menjadi alat penekan politik
penting. Generasi Y yang semula bersifat apolitis kemudian berkembang menjadi
generasi politis dikarenakan adanya "panggilan" untuk membenahi
kondisi negara.
Daripada membentuk partai politik,
generasi Y lebih menyukai platform politik yang bebas, tanpa sekat, inklusif,
dan juga independen secara afiliasi politik. Karena itu, pendefinisian bahasa
politik yang disampaikan generasi Y lebih egaliter dan dinamis dibandingkan
dengan generasi sebelumnya.
Pada intinya, politik yang
digambarkan generasi Y ini ingin menampilkan tampilan demokrasi substantif,
yakni politik yang melayani, politik yang lebih banyak mendengar, dan juga
politik yang lebih melindungi. Berbagai hal itulah yang bisa terlihat dari
berbagai macam jargon yang ditampilkan berbagai kelompok anak muda terjun dalam
aksi politik jalanan.
Tanda-tanda semakin menguatnya politik
generasi Y bisa dilihat dalam pemerintahan SBY jilid kedua. Indikasi yang
paling utama adalah semakin intensifnya media sosial sebagai media pergerakan.
Hal tersebut juga menandai adanya wajah baru dalam parlemen jalanan di
Indonesia yang tidak mesti harus turun ke jalan dan rapatkan barisan, tetapi
cukup dengan menyebar pesan politik melalui internet, kemudian membentuk adanya
gerakan.
Hal menarik dari membaca politik
generasi Y periode awal (2009-2013) adalah pembentukan "musuh
bersama" (common enemy) sebagai bentuk ikatan
solidaritas kolektif, yakni dengan menempatkan korupsi dan partai politik
sebagai musuh. Keduanya kemudian diolah menjadi berbagai macam pesan politik
yang ditangkap kelas menengah sebagai penyebab negara tidak berjalan pada semestinya.
Kampanye ampuh tersebut memberikan
pengaruh signifikan terhadap stigmatisasi populis versus elitis yang
menyimbolkan rivalitas Prabowo dan Jokowi pada Pemilu 2014 lalu yang kemudian
dimunculkan sebagai musuh bersama.
Berbagai macam wacana dimunculkan,
seperti halnya lahirnya otoritarianisme baru, pemimpin alternatif, maupun juga
harapan baru. Meskipun dalam kancah politik Indonesia, generasi Y ini masih
dikatakan sebagai generasi anak bawang karena mereka hidup dan besar dalam era
transisi menuju demokrasi. Artinya mereka mengalami diskontinuitas sejarah
dalam membaca secara riil sejarah politik Indonesia.
Militan dan
atraktif
Meski demikian, politik yang
ditampilkan generasi Y ini merupakan generasi politik militan dan atraktif.
Politik tidak lagi ditampilkan secara kaku, tetapi dinamis dan atraktif. Hal
itulah yang menjadi alasan volunterisme politik menjadi alat baru dalam
kampanye politik Indonesia kekinian.
Bagi generasi Y, sosok Jokowi
merupakan personifikasi hidup dari nilai, norma, dan juga prinsip demokrasi
substantif yang ingin dijabarkan dan disampaikan. Pasca Jokowi, generasi Y juga
mulai mencari personifikasi hidup lainnya yang menggambarkan gambaran ideal
politik itu harus dijalankan.
Sekarang ini di era kedua generasi Y
(2014-kini) sudah muncul berbagai macam gerakan generasi Y lainnya yang muncul
di berbagai macam kota, seperti halnya "Vote Cerdas BDG", "Orang
Baik, Bersih 2014", dan lain sebagainya.
Berbagai macam gerakan tersebut
disebut sebagai connective action (Sinarmata,
2015). Adapun connective action sendiri
merupakan tindak lanjut dari proses keterikatan panjang antara generasi Y
dengan upaya memperbaiki demokrasi kekinian.
Ke depan, generasi Y ini lambat laun
akan menjadi pemain politik penting di Indonesia, baik sebagai aktor politik
aktif maupun aktor politik pasif.
oleh: Wasisto Raharjo Jati
disadur dari Kompas, Sabtu, 28 Mei
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar