Mungkin tidak ada yang mempersoalkan
bagaimana kaitan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung di satu pihak
dan kesaktian Pancasila di pihak lain. Menjadikan 1 Oktober sebagai hari
perkabungan nasional akibat terbunuhnya sejumlah perwira TNI tentunya didukung
alasan yang kuat. Setiap bangsa perlu memiliki momen-momen yang dapat dimaknai
untuk menumbuhkan kesadaran atas identitas dan solidaritas bangsa.
Namun, menjadikannya sebagai momen
guna mengagungkan Pancasila atas dasar kesaktiannya merupakan pembodohan
rakyat. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa ditandai dengan menumbuhkan
kesadaran rasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bung Karno sebagai pemikir dan
pencetus dasar negara ini mendekati Pancasila secara rasional. Pidato 1 Juni
1945 berisi rasionalisasi yang dilengkapi referensi konseptual atas Pancasila
sebagai dasar negara. Sementara Jenderal Soeharto mengajak rakyat mendekati
Pancasila secara mistis. Terminologi kesaktian hanya dapat dihayati dengan
kesadaran mistis, tidak atas dasar rasionalisme.
Pendekatan konseptual Bung Karno
tecermin dalam tulisan-tulisan otentik pribadi dan pidato tertulis dan lisannya
sebelum dan sewaktu menjadi presiden. Sementara kecenderungan pemikiran
Jenderal Soeharto tidak dapat diketahui dari masa sebelum menjabat presiden.
Pendekatan konseptual terkandung
dalam pidato tertulis (yang disiapkan Sekretariat Negara) dan dibacakan
Jenderal Soeharto dengan cara datar dan dingin. Sedangkan kecenderungan otentik
personal tecermin saat pidato lisan maupun penampilan dalam temu wicara dengan
kelompok-kelompok masyarakat yang disiapkan aparat birokrasi negara. Dalam
setiap kesempatan itu ujaran-ujaran lisan pendekatan mistis dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara disosialisasikan kepada rakyat.
Mistifikasi
kehidupan bernegara
Pancasila sebagai dasar negara perlu
didekati dengan kesadaran rasional, dengan kembali kepada gagasan dasar yang
dikembangkan Bung Karno. Perlu dibongkar ulang rekayasa intelektual dijalankan
oleh Angkatan Darat yang dimotori almarhum Jenderal Nugroho Notosusanto untuk
meniadakan faktor Soekarno melalui penataran Pancasila.
Terdapat dua arus besar sosialisasi
Pancasila selama Orde Baru. Pertama, secara struktural diwujudkan dengan gaya
doktriner melalui perumusan butir-butir yang jumlahnya disesuaikan dengan level
target dari indoktrinasi. Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) yang diselenggarakan secara luas pada berbagai lapis masyarakat
bersifat doktriner, jauh dari nilai dasar berbangsa dan bernegara sebagaimana
diharapkan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945.
Kedua, secara simbolik, melalui
berbagai wacana yang bersifat mistifikasi Pancasila. Di antaranya dengan hari
berkabung atas terbunuhnya perwira TNI, dengan ritual untuk menghayati
kesaktian Pancasila. Kehikmatan beraroma mistis di monumen Lubang Buaya ini
dalam konteks kenegaraan menjauhkan masyarakat dari penghayatan rasional
kehidupan bernegara. Upaya peyakinan terus-menerus sepanjang Orde Baru tentang
hancurnya kekuatan anti Pancasila berkat kesaktian Pancasila.
Kehidupan bernegara dengan basis
keyakinan mistis merupakan bencana bagi suatu bangsa negara modern. Jika aparat
birokrasi negara, militer, polisi, bahkan elite masyarakat juga menghayati
keyakinan mistis semacam ini, kiranya hanya dapat dibayangkan untuk kehidupan
bernegara abad ke-16. Sulit membayangkan masa depan negarapada abad ke-21
dengan basis budaya negara yang dibangun selama 30 tahun oleh Orde Baru.
Karena itu, langkah mendesak adalah
demistifikasi atas Pancasila. Termasuk juga meniadakan konteks mistis dalam
kehidupan kenegaraan. Ritual "ruwatan", misalnya, memiliki
signifikansi bagi kehidupan keluarga, tetapi sama sekali tidak punya makna bagi
negara.
Presiden RI bukan kepala keluarga,
melainkan kepala negara. Negara merupakan sistem yang terdiri dari
komponen-komponen politis, sosiologis, dan ekonomis yang integrasinya atas
dasar kepentingan rasional yang bertolak dari acuan nilai bersama (shared value). Karena kepercayaan bahwa
kehidupan bernegara dapat ditata atas dasar mistis, hanya akan menjerumuskan
kita ke dalam Orde Baru Kedua.
Makna
perkabungan nasional
Ditumpasnya kekuatan anti Pancasila,
atau berbagai pemberontakan, perlu disikapi dengan pemahaman kesejarahan yang
bersifat rasional, bukan dengan irasionalitas keyakinan saktinya Pancasila.
Setiap keberhasilan dan kegagalan pada hakikatnya berasal dari strategi dan
operasi yang dijalankan secara rasional. Dengan rasionalitas ini pula 1 Oktober
dapat disikapi sebagai hari perkabungan nasional, bukan untuk ritual kesaktian
Pancasila.
Meninggalnya sejumlah perwira TNI
pada 1 Oktober 1965 merupakan tragedi yang patut dikenang. Film Gerakan 30
September karya almarhum Arifin C Noer yang diputar berulang selama Orde Baru
menggambarkan adegan penculikan dan pembunuhan yang dilakukan segerombolan
militer yang disebut sebagai pasukan Cakrabirawa. Begitu juga adegan
rapat-rapat yang berlangsung dihadiri oleh orang sipil yang digambarkan sebagai
PKI di satu pihak dan militer di pihak lainnya.
Menelusuri tragedi 1 Oktober tidak
mengurangi makna perkabungan bagi para perwira TNI. Ini merupakan tugas
sejarawan, termasuk TNI sendiri, untuk mengungkap seluruh tabir yang
menyelimuti penculikan dan pembunuhan itu, agar tragedi dan perkabungan dapat
dihayati secara rasional. Sejumlah pertanyaan kunci perlu dijawab, sebab yang
melakukan penculikan dan pembunuhan, baik dalam buku sejarah ala Nugroho
Notosusanto maupun film semidokumenter Arifin C Noer, adalah bagian dari
pasukan Cakrabirawa, pengawal kepresidenan.
Soalnya, sudah menjadi pengetahuan
umum bahwa Cakrabirawa dibentuk atas unsur-unsur angkatan. Personel Cakrabirawa
yang terlibat adalah Letkol Untung dan awak pasukannya yang berasal dari
Angkatan Darat. Tidak pernah dibukakan bagaimana rekrutmen pasukan Cakrabirawa
ini, khususnya yang berasal dari Angkatan Darat.
Apakah bergabungnya Letkol Untung
dan awak pasukannya ke dalam Cakrabirawa, atas permintaan Presiden Soekarno dan
Komandan Cakrabirawa, ataukah atas penugasan Komandan Kostrad sebagai induk
pasukannya?
Begitu pula dalam sejarah resmi
digambarkan adanya perwira-perwira Angkatan Darat yang berhasil dipengaruhi
oleh tokoh-tokoh sipil dari PKI. Untuk itu perlu ditelusuri tipologi
"kedunguan" dari perwira Angkatan Darat yang begitu mudah dipengaruhi
dan digerakkan oleh orang sipil.
Garis komando yang sering dipujikan
dalam lingkungan militer dapat diambil alih oleh orang sipil, yang notabene
dalam buku sejarah dan film Arifin C Noer orang ini tidak jelas posisinya dalam
kepengurusan PKI.
Satu Oktober 1965 dapat dijadikan
titik tolak dalam penelusuran sejarah bangsa. Siapa tahu kita akan sampai pada
kesimpulan bahwa dengan terbunuhnya para pahlawan revolusi, yang kemudian
disusul pembunuhan massal (belasan, puluhan, ratusan ribu korban rakyat
Indonesia, yang mana pun bilangannya, perlu verifikasi) akibat eksploitasi
konflik horizontal yang bersifat laten dalam masyarakat, maka kita memang
sangat layak punya Hari Perkabungan Nasional.
Perkabungan untuk suatu bangsa yang
sanggup membunuhi sesama manusia tanpa rasa bersalah.
oleh: Ashadi Siregar
disadur dari Kompas, Selasa, 31 Mei
2016
1 Juni dan 1 Oktober
untuk Pancasila (ASHADI SIREGAR)
Dua tanggal almanak biasa dikaitkan dengan Pancasila, 1 Juni sebagai
hari lahirnya dan 1 Oktober penanda kesaktiannya. Hari lahir itu selama
Orde Baru secara sistematis dicoba-hilangkan dari memori bangsa. Dan
sepanjang era itu, setiap 1 Oktober dipasang bendera setengah tiang.
Rezim Orde Baru menyebut sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Mungkin tidak ada yang mempersoalkan bagaimana kaitan bendera setengah
tiang sebagai tanda berkabung di satu pihak dan kesaktian Pancasila di
pihak lain. Menjadikan 1 Oktober sebagai hari perkabungan nasional
akibat terbunuhnya sejumlah perwira TNI tentunya didukung alasan yang
kuat. Setiap bangsa perlu memiliki momen-momen yang dapat dimaknai untuk
menumbuhkan kesadaran atas identitas dan solidaritas bangsa.
Namun, menjadikannya sebagai momen guna mengagungkan Pancasila atas
dasar kesaktiannya merupakan pembodohan rakyat. Upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa ditandai dengan menumbuhkan kesadaran rasional dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bung Karno sebagai pemikir dan pencetus dasar negara ini mendekati
Pancasila secara rasional. Pidato 1 Juni 1945 berisi rasionalisasi yang
dilengkapi referensi konseptual atas Pancasila sebagai dasar negara.
Sementara Jenderal Soeharto mengajak rakyat mendekati Pancasila secara
mistis. Terminologi kesaktian hanya dapat dihayati dengan kesadaran
mistis, tidak atas dasar rasionalisme.
Pendekatan konseptual Bung Karno tecermin dalam tulisan- tulisan otentik
pribadi dan pidato tertulis dan lisannya sebelum dan sewaktu menjadi
presiden. Sementara kecenderungan pemikiran Jenderal Soeharto tidak
dapat diketahui dari masa sebelum menjabat presiden.
Pendekatan konseptual terkandung dalam pidato tertulis (yang disiapkan
Sekretariat Negara) dan dibacakan Jenderal Soeharto dengan cara datar
dan dingin. Sedangkan kecenderungan otentik personal tecermin saat
pidato lisan maupun penampilan dalam temu wicara dengan
kelompok-kelompok masyarakat yang disiapkan aparat birokrasi negara.
Dalam setiap kesempatan itu ujaran-ujaran lisan pendekatan mistis dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara disosialisasikan kepada rakyat.
Mistifikasi kehidupan bernegara
Pancasila sebagai dasar negara perlu didekati dengan kesadaran rasional,
dengan kembali kepada gagasan dasar yang dikembangkan Bung Karno. Perlu
dibongkar ulang rekayasa intelektual dijalankan oleh Angkatan Darat
yang dimotori almarhum Jenderal Nugroho Notosusanto untuk meniadakan
faktor Soekarno melalui penataran Pancasila.
Terdapat dua arus besar sosialisasi Pancasila selama Orde Baru. Pertama,
secara struktural diwujudkan dengan gaya doktriner melalui perumusan
butir-butir yang jumlahnya disesuaikan dengan level target dari
indoktrinasi. Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) yang diselenggarakan secara luas pada berbagai lapis
masyarakat bersifat doktriner, jauh dari nilai dasar berbangsa dan
bernegara sebagaimana diharapkan Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945.
Kedua, secara simbolik, melalui berbagai wacana yang bersifat
mistifikasi Pancasila. Di antaranya dengan hari berkabung atas
terbunuhnya perwira TNI, dengan ritual untuk menghayati kesaktian
Pancasila. Kehikmatan beraroma mistis di monumen Lubang Buaya ini dalam
konteks kenegaraan menjauhkan masyarakat dari penghayatan rasional
kehidupan bernegara. Upaya peyakinan terus-menerus sepanjang Orde Baru
tentang hancurnya kekuatan anti Pancasila berkat kesaktian Pancasila.
Kehidupan bernegara dengan basis keyakinan mistis merupakan bencana bagi
suatu bangsa negara modern. Jika aparat birokrasi negara, militer,
polisi, bahkan elite masyarakat juga menghayati keyakinan mistis semacam
ini, kiranya hanya dapat dibayangkan untuk kehidupan bernegara abad
ke-16. Sulit membayangkan masa depan negarapada abad ke-21 dengan basis
budaya negara yang dibangun selama 30 tahun oleh Orde Baru.
Karena itu, langkah mendesak adalah demistifikasi atas Pancasila.
Termasuk juga meniadakan konteks mistis dalam kehidupan kenegaraan.
Ritual "ruwatan", misalnya, memiliki signifikansi bagi kehidupan
keluarga, tetapi sama sekali tidak punya makna bagi negara.
Presiden RI bukan kepala keluarga, melainkan kepala negara. Negara
merupakan sistem yang terdiri dari komponen-komponen politis,
sosiologis, dan ekonomis yang integrasinya atas dasar kepentingan
rasional yang bertolak dari acuan nilai bersama (shared value). Karena
kepercayaan bahwa kehidupan bernegara dapat ditata atas dasar mistis,
hanya akan menjerumuskan kita ke dalam Orde Baru Kedua.
Makna perkabungan nasional
Ditumpasnya kekuatan anti Pancasila, atau berbagai pemberontakan, perlu
disikapi dengan pemahaman kesejarahan yang bersifat rasional, bukan
dengan irasionalitas keyakinan saktinya Pancasila. Setiap keberhasilan
dan kegagalan pada hakikatnya berasal dari strategi dan operasi yang
dijalankan secara rasional. Dengan rasionalitas ini pula 1 Oktober dapat
disikapi sebagai hari perkabungan nasional, bukan untuk ritual
kesaktian Pancasila.
Meninggalnya sejumlah perwira TNI pada 1 Oktober 1965 merupakan tragedi
yang patut dikenang. Film Gerakan 30 September karya almarhum Arifin C
Noer yang diputar berulang selama Orde Baru menggambarkan adegan
penculikan dan pembunuhan yang dilakukan segerombolan militer yang
disebut sebagai pasukan Cakrabirawa. Begitu juga adegan rapat-rapat yang
berlangsung dihadiri oleh orang sipil yang digambarkan sebagai PKI di
satu pihak dan militer di pihak lainnya.
Menelusuri tragedi 1 Oktober tidak mengurangi makna perkabungan bagi
para perwira TNI. Ini merupakan tugas sejarawan, termasuk TNI sendiri,
untuk mengungkap seluruh tabir yang menyelimuti penculikan dan
pembunuhan itu, agar tragedi dan perkabungan dapat dihayati secara
rasional.
Sejumlah pertanyaan kunci perlu dijawab, sebab yang melakukan penculikan
dan pembunuhan, baik dalam buku sejarah ala Nugroho Notosusanto maupun
film semidokumenter Arifin C Noer, adalah bagian dari pasukan
Cakrabirawa, pengawal kepresidenan.
Soalnya, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Cakrabirawa dibentuk atas
unsur-unsur angkatan. Personel Cakrabirawa yang terlibat adalah Letkol
Untung dan awak pasukannya yang berasal dari Angkatan Darat. Tidak
pernah dibukakan bagaimana rekrutmen pasukan Cakrabirawa ini, khususnya
yang berasal dari Angkatan Darat.
Apakah bergabungnya Letkol Untung dan awak pasukannya ke dalam
Cakrabirawa, atas permintaan Presiden Soekarno dan Komandan Cakrabirawa,
ataukah atas penugasan Komandan Kostrad sebagai induk pasukannya?
Begitu pula dalam sejarah resmi digambarkan adanya perwira- perwira
Angkatan Darat yang berhasil dipengaruhi oleh tokoh-tokoh sipil dari
PKI. Untuk itu perlu ditelusuri tipologi "kedunguan" dari perwira
Angkatan Darat yang begitu mudah dipengaruhi dan digerakkan oleh orang
sipil.
Garis komando yang sering dipujikan dalam lingkungan militer dapat
diambil alih oleh orang sipil, yang notabene dalam buku sejarah dan film
Arifin C Noer orang ini tidak jelas posisinya dalam kepengurusan PKI.
Satu Oktober 1965 dapat dijadikan titik tolak dalam penelusuran sejarah
bangsa. Siapa tahu kita akan sampai pada kesimpulan bahwa dengan
terbunuhnya para pahlawan revolusi, yang kemudian disusul pembunuhan
massal (belasan, puluhan, ratusan ribu korban rakyat Indonesia, yang
mana pun bilangannya, perlu verifikasi) akibat eksploitasi konflik
horizontal yang bersifat laten dalam masyarakat, maka kita memang sangat
layak punya Hari Perkabungan Nasional.
Perkabungan untuk suatu bangsa yang sanggup membunuhi sesama manusia
tanpa rasa bersalah.
ASHADI SIREGAR, PENELITI MEDIA DAN PENGAJAR JURNALISME, BERMUKIM DI
YOGYAKARTA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Mei 2016, di
halaman 6 dengan judul "1 Juni dan 1 Oktober untuk Pancasila".
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar