Editors Picks

Jumat, 03 Juni 2016

Fintech & Crowdfunding


Pukul 22.30 WIB, di sebuah rumah sakit terkemuka di ibu kota, seorang ibu terlihat gelisah. Putra sulungnya yang baru selesai dioperasi bisa dibawa pulang, tetapi ternyata pihak rumah sakit mengabarkan klaimnya ditolak perusahaan asuransi.

“Kemarin waktu diajukan mereka bilang bisa di-cover. Sekarang mereka bilang ditolak.”
 Ibu itu bukan tak punya uang. Dia bahkan membayar premi asuransi yang bagus. Ia geram ketika diperlakukan tidak beres.

Berbelit-belit, makan waktu, harus balik kembali ke kamar berkali-kali karena petugas asuransi selalu bertanya dan hanya memberi janji akan mengabarkan.

Kejadian itu membuat anaknya, generasi millenial, jagoan pembuat aplikasi, memperoleh ide untuk mendisrupsi industri keuangan asuransi.

Apa yang dikeluhkan ibu dan anak itu cukup beralasan. Needs nya belum bisa dipenuhi industri asuransi. Sudah bayar tarif premium, benefitnya sulit diterima. Kalau pun nanti didapat, pasti ada saja alasan yang membenarkan tindakannya.

Si ibu bergumam, “Setiap tahun perusahaan asuransi pasang iklan besar tentang keberhasilan para agennya, lalu memberi hadiah mereka jalan–jalan ke Paris, London, Tokyo, dan kota-kota mahal lainnya. “Bukankah itu uang kita?,” tambahnya lagi.

Salah satu teman anak itu ada yang menjadi agen. “Kalau capai target premi sebesar Rp850 juta setahun, gue dapat komisi 30%, dua tahun berturut-turut ditambah bonus 2x12%,” ujar si agen.

Temannya langsung berhitung. “Jadi 84% dari premi konsumen diambil agen,” katanya. Si ibu menambahkan, “Pantas mereka mencari-cari celah untuk tidak membayar klaim.”

Saya tak tahu persis apa yang terjadi dalam industri ini, tetapi begitulah jalan pemikiran nasabah. Dan perusahaan seperti itu kelak menjadi target disruption.

Kolaborasi Konsumen
Pada era ini, incumbents yang ber jaya bertahun-tahun memang harus mereformulasi kembali strategi bisnisnya: Managing like Startup. Dan mereka memangkas banyak biaya, memberikan dagingnya kepada konsumen, bukan kepada para agen.

Zaman berubah dan konsumen berkolaborasi demi mendapatkan needs tadi. Tetapi apa yang saya ceritakan pada Anda di atas hanyalah bagian kecil dari sebuah potret besar financial technology (fintech).

Nah lebih jauh lagi, konsumen pun membiayai sendiri untuk mengatasi masalah yang dihadapinya melalui crowdfunding, bukan corporate funding. Agak sedikit berbeda dengan apa yang dilakukan ibu tadi dalam mendisrupsi industri asuransi.

Semua ini berawal dari krisis sub prime mortgage 2008, ketika konsumen di seluruh dunia kehilangan daya beli dan kepercayaan terhadap masa depan.

Kapok membayar biaya kehidupan yang terlalu mahal. Konsumen yang berkolaborasi itu mengambil alih pasar sehingga lahirlah gerakan sharing economy. Kickstarter yang berdiri tahun 2009 langsung melesat. Inventor bisa dibiayai publik sekaligus menguji antusiasme calon konsumen.

Cravar misalnya, produsen produk kerajinan kulit Indonesia yang amat berminat memasuki pasar Amerika, tempat kedudukan Kickstarter. Tahun 2013 Cravar menguji produknya, tas kulit berkualitas via Kickstarter.

Tak mudah memang karena pasar tahunya barang kulit berkualitas tinggi itu Italia, Inggris, Prancis atau AS. Indonesia? Nanti dulu, belum ada cerita untuk tas kulit istimewa. Tapi sebagai pendatang baru dia berhasil mendapatkan dukungan sebesar US$30.000, plus sejumlah pelanggan baru dan feedback.

Kini nama Cravar sudah mulai dikenal. Bahkan sudah 4 kali dibiayai via crowdfunding Kickstarter bersama ratusan produk inovatif lainnya dari mancanegara.

Selain Cravar, delapan video games buatan anak-anak muda Indonesia berhasil menembus Amerika Serikat dan mengumpulkan ratusan ribu dolar Kini video games itu melesat di dunia aplikasi. Sekali lagi di dunia, bukan sekedar pasar domestik.

Dari data yang saya baca, dua tahun lalu, Kickstarter berhasil mengumpulkan dan menyalurkan modal dari para konsumen yang berkolaborasi sebesar US$444 juta.

Sementara GoFundMe yang banyak membiayai kegiatan-kegiatan sosial menyalurkan US$470 juta, atau setara Rp6,05 triliun.

Di Indonesia, kitabisa.com yang cikal bakalnya dibangun di Rumah Perubahan oleh mahasiswa saya, Alfatih Timur, per Mei 2016 sudah mengumpulkan hampir Rp15 miliar. Padahal pada waktu didirikan 2013, situs jejaring sosial ini hanya mampu mengumpulkan Rp478,31 juta (Juli-Desember).

Ekosistem Fintech
Terkait dengan crowdfunding di dunia keuangan, maka jika dilihat ekosistemnya, fintech itu bisa amat luas sekali, tak terbatas pada crowdfunding saja. Potensinya amat besar. Bahkan laman www.venturescanner.com membaginya dalam 16 kategori.

Totalnya ada 1.379 perusahaan yang lolos dalam scanning Venture Scanner dan berhasil menghimpun dana sekitar US$33 miliar.

Meski di dunia sudah ramai sejak 2013, Otoritas Jasa keuangan mu lai menelisik Fintech dalam dua tahun terakhir ini. Belum terlambat memang, karena sharing – autonomic – economy baru mulai dirasakan dampaknya setelah regulator kesulitan menata bisnis taksi online.

Gerakan kaum muda Indonesia yang begitu cepat amat dirasakan publik setahun belakangan ini. Pro-kontra terjadi. Banyak kaum tua yang tiba-tiba terbelalak melihat usaha-usaha baru itu, yang katanya ‘membakar uang’ lewat subsidi pasar.

Tetapi kaum muda selalu mengatakan, untuk berwirausaha, konsumen memang harus dibayar agar mau menjadi pemain. Dan seperti biasa, selalu akan terjadi hukum besi evolusi. Akan tinggal satu atau dua pemain dominan yang akan bertahan. Ini tentu tak berbeda dengan rata-rata bisnis lainnya.

Seperti di belahan dunia lainnya, tak semua usaha crowdfunding Indonesia berhasil. Patungan.net misalnya sudah jarang terdengar. Ayopeduli.com juga demikian.

Beberapa lainnya jalan di tempat. Wujudkan.com yang dulu sempat ramai dan berhasil membiayai film layar lebar misalnya, masih kurang greget belakangan ini.

Techasia.com belum lama ini (Mei 2015) me-release lima situs crowdfunding Indonesia yang sebenarnya menjanjikan, yaitu kitabisa, wujudkan, ayopeduli, crowdtivate, dan gandengtangan.

Akan tetapi, memasuki 2016 kita juga mendengar kemunculan fintech baru yang bermain dalam consumer atau equity financing. Terralite, uangteman, Tunaiku dan Modalku, adalah empat situs yang mencuri perhatian publik.

Harus diakui bisnis mereka masih amat terbatas, modalnya juga belum besar-besar betul. Skalanya masih lokal. Hukum alam pun masih membentuk mereka, di mana dalam setiap kategori akan muncul pemain yang dominan.

Kalau sudah besar, maka amat mungkin mereka akan menggerus pasar incumbents. Dan kalau tidak segera dibina, amat sangat mungkin ada yang terlibat dalam dua hal ini.

Pertama, sebagai bagian dari pemain utama dunia, atau yang kedua, bisa saja terlibat dalam model-model bisnis yang masuk dalam kategori berbahaya.

Pengalaman di China, sejumlah crowdfunding terlibat dalam skema keuangan Ponzi yang dipicu oleh gaya usaha jalan pintas – cara cepat kaya yang belakangan banyak disuarakan para motivator yang sangat emosional melihat keberhasilan.

Namun patut diingat, ada banyak juga gagasan-gagasan kreatif yang didirikan dengan tujuan membantu bergeraknya ekonomi kerakyatan dan motif-motif sosial seperti yang dilakukan kitabisa.com.

Kepada yang baik, kita berikan jalan, yang masih belajar perlu pembinaan dan kepada yang nakal, tentu harus diambil tindakan. Dunia baru ini kelak akan amat menantang.

oleh Rhenald Kasali
disadur dari Bisnis, Selasa, 31 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar