Pukul 22.30 WIB, di sebuah rumah sakit terkemuka di ibu kota, seorang ibu terlihat gelisah. Putra sulungnya yang baru selesai dioperasi bisa dibawa pulang, tetapi ternyata pihak rumah sakit mengabarkan klaimnya ditolak perusahaan asuransi.
Ibu
itu bukan tak punya uang. Dia bahkan membayar premi asuransi yang bagus. Ia
geram ketika diperlakukan tidak beres.
Berbelit-belit,
makan waktu, harus balik kembali ke kamar berkali-kali karena petugas asuransi
selalu bertanya dan hanya memberi janji akan mengabarkan.
Kejadian
itu membuat anaknya, generasi millenial,
jagoan pembuat aplikasi, memperoleh ide untuk mendisrupsi industri keuangan
asuransi.
Apa
yang dikeluhkan ibu dan anak itu cukup beralasan. Needs nya belum bisa dipenuhi industri asuransi. Sudah bayar tarif
premium, benefitnya sulit diterima. Kalau pun nanti didapat, pasti ada saja
alasan yang membenarkan tindakannya.
Si
ibu bergumam, “Setiap tahun perusahaan asuransi pasang iklan besar tentang
keberhasilan para agennya, lalu memberi hadiah mereka jalan–jalan ke Paris, London,
Tokyo, dan kota-kota mahal lainnya. “Bukankah itu uang kita?,” tambahnya lagi.
Salah satu teman anak itu ada yang menjadi agen. “Kalau capai target premi sebesar Rp850 juta setahun, gue dapat komisi 30%, dua tahun berturut-turut ditambah bonus 2x12%,” ujar si agen.
Temannya
langsung berhitung. “Jadi 84% dari premi konsumen diambil agen,” katanya. Si
ibu menambahkan, “Pantas mereka mencari-cari celah untuk tidak membayar klaim.”
Saya tak tahu persis apa yang terjadi dalam industri ini, tetapi begitulah jalan pemikiran nasabah. Dan perusahaan seperti itu kelak menjadi target disruption.
Kolaborasi Konsumen
Pada
era ini, incumbents
yang ber jaya bertahun-tahun memang harus mereformulasi kembali strategi
bisnisnya: Managing like
Startup. Dan mereka memangkas banyak biaya, memberikan dagingnya
kepada konsumen, bukan kepada para agen.
Zaman
berubah dan konsumen berkolaborasi demi mendapatkan needs tadi. Tetapi apa yang
saya ceritakan pada Anda di atas hanyalah bagian kecil dari sebuah potret besar
financial technology (fintech).
Nah
lebih jauh lagi, konsumen pun membiayai sendiri untuk mengatasi masalah yang
dihadapinya melalui crowdfunding,
bukan corporate funding.
Agak sedikit berbeda dengan apa yang dilakukan ibu tadi dalam mendisrupsi
industri asuransi.
Semua
ini berawal dari krisis sub
prime mortgage 2008, ketika konsumen di seluruh dunia kehilangan
daya beli dan kepercayaan terhadap masa depan.
Kapok
membayar biaya kehidupan yang terlalu mahal. Konsumen yang berkolaborasi itu
mengambil alih pasar sehingga lahirlah gerakan sharing economy. Kickstarter yang berdiri tahun 2009 langsung melesat. Inventor bisa
dibiayai publik sekaligus menguji antusiasme calon konsumen.
Cravar
misalnya, produsen produk kerajinan kulit Indonesia yang amat berminat memasuki
pasar Amerika, tempat kedudukan Kickstarter.
Tahun 2013 Cravar menguji produknya, tas kulit berkualitas via Kickstarter.
Tak
mudah memang karena pasar tahunya barang kulit berkualitas tinggi itu Italia,
Inggris, Prancis atau AS. Indonesia? Nanti dulu, belum ada cerita untuk tas
kulit istimewa. Tapi sebagai pendatang baru dia berhasil mendapatkan dukungan
sebesar US$30.000, plus sejumlah pelanggan baru dan feedback.
Kini
nama Cravar sudah mulai dikenal. Bahkan sudah 4 kali dibiayai via crowdfunding Kickstarter bersama
ratusan produk inovatif lainnya dari mancanegara.
Selain
Cravar, delapan video games
buatan anak-anak muda Indonesia berhasil menembus Amerika Serikat dan
mengumpulkan ratusan ribu dolar Kini video games itu melesat di dunia aplikasi.
Sekali lagi di dunia, bukan sekedar pasar domestik.
Dari
data yang saya baca, dua tahun lalu, Kickstarter
berhasil mengumpulkan dan menyalurkan modal dari para konsumen yang
berkolaborasi sebesar US$444 juta.
Sementara
GoFundMe yang
banyak membiayai kegiatan-kegiatan sosial menyalurkan US$470 juta, atau setara
Rp6,05 triliun.
Di
Indonesia, kitabisa.com yang cikal bakalnya dibangun di Rumah Perubahan oleh
mahasiswa saya, Alfatih Timur, per Mei 2016 sudah mengumpulkan hampir Rp15
miliar. Padahal pada waktu didirikan 2013, situs jejaring sosial ini hanya
mampu mengumpulkan Rp478,31 juta (Juli-Desember).
Ekosistem Fintech
Terkait
dengan crowdfunding di dunia
keuangan, maka jika dilihat ekosistemnya, fintech itu bisa amat luas sekali,
tak terbatas pada crowdfunding
saja. Potensinya amat besar. Bahkan laman www.venturescanner.com
membaginya dalam 16 kategori.
Totalnya
ada 1.379 perusahaan yang lolos dalam scanning Venture Scanner dan berhasil
menghimpun dana sekitar US$33 miliar.
Meski
di dunia sudah ramai sejak 2013, Otoritas Jasa keuangan mu lai menelisik
Fintech dalam dua tahun terakhir ini. Belum terlambat memang, karena sharing – autonomic – economy
baru mulai dirasakan dampaknya setelah regulator kesulitan menata bisnis taksi
online.
Gerakan
kaum muda Indonesia yang begitu cepat amat dirasakan publik setahun belakangan
ini. Pro-kontra terjadi. Banyak kaum tua yang tiba-tiba terbelalak melihat
usaha-usaha baru itu, yang katanya ‘membakar uang’ lewat subsidi pasar.
Tetapi
kaum muda selalu mengatakan, untuk berwirausaha, konsumen memang harus dibayar
agar mau menjadi pemain. Dan seperti biasa, selalu akan terjadi hukum besi
evolusi. Akan tinggal satu atau dua pemain dominan yang akan bertahan. Ini
tentu tak berbeda dengan rata-rata bisnis lainnya.
Seperti
di belahan dunia lainnya, tak semua usaha crowdfunding
Indonesia berhasil. Patungan.net misalnya sudah jarang terdengar. Ayopeduli.com
juga demikian.
Beberapa
lainnya jalan di tempat. Wujudkan.com yang dulu sempat ramai dan berhasil
membiayai film layar lebar misalnya, masih kurang greget belakangan ini.
Techasia.com
belum lama ini (Mei 2015) me-release
lima situs crowdfunding
Indonesia yang sebenarnya menjanjikan, yaitu kitabisa, wujudkan, ayopeduli,
crowdtivate, dan gandengtangan.
Akan
tetapi, memasuki 2016 kita juga mendengar kemunculan fintech baru yang bermain
dalam consumer atau equity
financing. Terralite, uangteman, Tunaiku dan Modalku, adalah empat
situs yang mencuri perhatian publik.
Harus
diakui bisnis mereka masih amat terbatas, modalnya juga belum besar-besar
betul. Skalanya masih lokal. Hukum alam pun masih membentuk mereka, di mana
dalam setiap kategori akan muncul pemain yang dominan.
Kalau
sudah besar, maka amat mungkin mereka akan menggerus pasar incumbents. Dan kalau
tidak segera dibina, amat sangat mungkin ada yang terlibat dalam dua hal ini.
Pertama,
sebagai bagian dari pemain utama dunia, atau yang kedua, bisa saja terlibat
dalam model-model bisnis yang masuk dalam kategori berbahaya.
Pengalaman
di China, sejumlah crowdfunding
terlibat dalam skema keuangan Ponzi yang dipicu oleh gaya usaha jalan pintas –
cara cepat kaya yang belakangan banyak disuarakan para motivator yang sangat
emosional melihat keberhasilan.
Namun
patut diingat, ada banyak juga gagasan-gagasan kreatif yang didirikan dengan
tujuan membantu bergeraknya ekonomi kerakyatan dan motif-motif sosial seperti
yang dilakukan kitabisa.com.
Kepada
yang baik, kita berikan jalan, yang masih belajar perlu pembinaan dan kepada
yang nakal, tentu harus diambil tindakan. Dunia baru ini kelak akan amat
menantang.
oleh
Rhenald Kasali
disadur
dari Bisnis, Selasa, 31 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar