Editors Picks

Selasa, 31 Mei 2016

Crowdfunding & Masa Depan Industri Keuangan




Kekacauan adalah peluang! Ini adalah salah satu model strategi di dunia bisnis. Kekacauan dalam konteks ini adalah terjadinya suatu gelombang perubahan yang besar (wave disruption) yang disebabkan berbagai hal, seperti sosial, politik atau teknologi, yang bisa membuka peluang masuknya pesaing baru, atau bahkan mengubur bisnis yang tadinya eksis.

Hal paling mutakhir, kita baru saja dikejutkan oleh masuknya bisnis baru taksi online, yang mengancam eksistensi taksi konvensional. Apa yang terjadi di bisnis taksi itu kini juga sedang melanda bisnis keuangan.

Kemajuan teknologi Internet, telah melahirkan kekacauan di bidang teknologi informasi dan komunikasi, sehingga membuka peluang menjalankan model strategi kekacauan adalah peluang, berupa lahirnya model permodalan baru yang sekarang populer dengan sebutan crowdfunding.

Menurut studi yang dilakukan Massolution, sebuah platform yang bergerak d bidang talent scout yang menyediakan tenaga crowdsourcing secara online, pada tahun 2015 nilai investasi crowdfunding mencapai US$34 miliar.

Padahal 2010, nilai investasi tersebut baru mencapai US$880 juta. Bahkan, dengan nilai investasi sebesar itu, crowdfunding telah menundukkan kehebatan venture capital (VC) yang selama ini merajai pendanaan startup di Silicon Valley dengan menggelontorkan investasi rata-rata US$30 miliar per tahun.

Jika tren pertumbuhan nilai investasi crowdfunding dapat bertahan dua kali lipat per tahun seperti selama ini, maka dapat dipastikan sejak tahun ini kita bisa mengucapkan selamat tinggal kepada VC—dan juga angel investor yang nilai investasinya hanya rata-rata US$20 miliar per tahun.

Pada tahun 2025, Bank Dunia dan Massolution memprediksi angka yang sama, yaitu nilai investasi crowdfunding akan mencapai US$93 miliar.

Kalau tren nilai investasi crowdfunding meningkat dua kali lipat setiap tahun, bagaimana dengan lembaga dan penyebarannya?

Di kawasan Eropa, crowdfunding tumbuh subur dalam beberapa tahun terakhir. Sementara, di AS pertumbuhan crowdfunding agak terhambat. Ini disebabkan adanya ketentuan hanya investor yang bersertifikat saja yang boleh melakukan investasi pada crowdfunding.

Namun, sebenarnya hal itu bukanlah hambatan yang serius. Masih menurut studi Massolution, saat ini diperkirakan ada 250 juta orang kelas investor baru yang siap berpartisipasi dalam industri crowdfunding.

Sementara itu, Bank Dunia membuat model empiris untuk memprediksi di negara mana saja kemungkinan terbesar crowdfunding tumbuh subur. Studi memasukkan variabel ekonomi, regulasi, kebudayaan dan beberapa variabel normatif.

Hasilnya menunjukkan, di negara-negara dunia kedua (negara-negara sosialis) dan dunia ketiga, crowdfunding berhubungan dengan aliran investasi asing lang sung dan aliran investasi diaspora. Jadi crowdfunding di negara-negara dunia kedua dan ketiga akan banyak didominasi investor asing, imigran dari negara-negara tersebut, dan organisasi-organisasi yang dibentuk para imigran yang memikirkan negaranya.

Bagaimana dengan Indonesia? Karena Indonesia termasuk negara dunia ketiga, maka crowdfunding yang masuk Indonesia tentunya yang investornya berasal dari warga asing, diaspora Indonesia dan organisasi-organisasi yang dibentuk warga Indonesia—baik dari luar maupun dalam negeri—yang memiliki kepedulian terhadap Indonesia.
Memang, tren terbaru menunjukkan mulai banyak pengusaha maupun grup perusahaan yang membentuk VC atau angel investor. Agak terlambat memang.

Untuk crowdfunding, pastinya belum banyak. Mengulang kehadiran VC dan angel investor, kemungkinan crowdfunding juga akan terlambat masuk gelanggang bisnis investasi di Indonesia. Salah satu—kalau bukan satu-satunya— crowdfunding yang sudah sukses adalah Dompet Dhuafa. Dari sisi platform, pertumbuhannya juga luar biasa.

Dalam lima tahun terakhir, platform crowdfunding yang tadinya masih bisa dihitung dengan jari, kini sudah berkembang biak menjadi mendekati 1.000 situs, dan beroperasi disetiap benua. Para entrepreneur kini bisa memanfaatkan crowdfunding di lebih dari 27 negara.

Industri Keuangan
Kalau VC dan angel investor, yang relatif lebih baru dan relevan dengan lingkungan teknologi mutakhir saja bisa dikalahkan oleh crowdfunding, bagaimana dengan bisnis keuangan “konvensional” seperti bank, pasar modal, pembiayaan dan yang lainnya?
Pertanyaan ini cukup menantang untuk dijawab. Sepertinya hal ini sudah disadari, dan beberapa studi dan simulasi sudah dilakukan.

Hasil sementara menunjukkan, model strategi kekacauan adalah peluang akan berjalan: tidak saja melahirkan bisnis baru crowdfunding, tapi ada kemungkinan mengubur bisnis-bisnis yang sudah eksis seperti VC. Jadi bisnis keuangan konvensional bisa menunggu giliran, jika tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan lingkungan mutakhir.

World Economic Forum (WEF) melaporkan hasil kajiannya, bahwa bisnis keuangan konvensional akan bertahan jika melakukan dua hal.

Pertama, dari sisi produk lembaga keuangan konvensional harus menciptakan produk-produk yang mampu bersaing dengan crowdfunding. Inovasi perbankan yang menghadirkan branchless dan laku pandai yang mampu menjangkau pengusaha UKM, sepertinya memberi harapan.

Kedua, dari sisi institusi. Ada dua hal yang direkomendasikan, pertama berkolaborasi dengan pemain non tradisional (termasuk crowdfunding) dan kedua, mempertajam spesialisasi bisnis.

Hasil kajian kedua WEF itu sejalan dengan studi yang dilakukan Vlerick Business School. Sekolah bisnis asal Belgia ini menemukan bahwa kehadiran crowdfunding belum jelas benar apakah akan mematikan bisnis keuangan konvensional.

Melihat “perilaku” crowdfunding yang lebih fokus pada memodali startup business dan berskala kecil, sepertinya masih akan lama untuk bisa mengalahkan perbankan dan pasar modal. Meski demikian, memang tidak bisa diabaikan.

Yang bisa dilihat dalam jangka pendek ke depan, “pembagian bisnis” seperti itu— crowdfunding fokus pada startup kecil—bisa terus dipertahankan.
Namun jika tren crowdfunding seperti diramalkan Bank Dunia dan Massolution tak bisa dihentikan, maka ada dua pilihan yang bisa dilakukan lembaga keuangan konvensional: berkolaborasi atau berbagi kue.
Apapun yang terjadi, yang perlu disiapkan adalah regulasi, sebelum crowdfunding mencapai booming. Saat ini yang paling getol melangkah ke arah itu adalah Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya. Sementara AS, masih mengambil langkah slow motion.

Andai Indonesia ingin segera mengatur industri ini, maka hal prinsip yang harus dipegang adalah: regulasi dibuat dengan tujuan melindungi investor dan entrepreneur dari risiko, bukan malah menghambat perkembangannya.

oleh: Sarwidji Widoatmodjo
disadur dari Bisnis, Selasa, 31 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar