Editors Picks

Jumat, 27 Mei 2016

Proporsional 'Buka-Tutup'


Bongkar pasang sistem sepertinya menjadi satu hal yang lazim dalam praktik politik kita. Fenomena ini juga terlihat dari keinginan sejumlah partai politik untuk mem-'buka-tutup' sistem Pemilu Legislatif. Sistem proporsional terbuka yang telah diterapkan sejak Pemilu 2009 diusulkan untuk ditutup.

Sebagaimana diketahui, setelah Orde Baru kita pernah menggunakan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 1999, proporsional 'semi' terbuka pada Pemilu 2004, serta proporsional terbuka pada Pemilu 2009 dan 2014. Perkembangan terkini, kehendak partai-partai tersebut untuk mengakhiri sistem proporsional tertutup tampaknya mendapat angin segar. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri belum lama ini telah memberi isyarat jelas untuk mengikuti kemauan partai-partai itu.

Kehendak untuk 'buka-tutup' sistem ini sebetulnya bukanlah isu baru. Hal ini pernah menjadi perdebatan panas saat revisi UU Pemilu lalu. Namun akhirnya, varian sistem proporsional yang diputuskan untuk Pemilu 2014 tetap sistem proporsional terbuka.  

Melalui sistem ini, kursi yang dimenangkan oleh partai politik diisi oleh kandidat yang memperoleh suara terbanyak dari daftar calon yang disusun oleh partai. Usulan perubahan ke sistem proporsional tertutup dimana kursi yang diperoleh partai politik diperundukkan bagi kandidat-kandidat sesuai dengan nomor urut mereka dalam daftar calon yang ditentukan oleh partai, pada waktu itu tidak disetujui.

Dari berbagai alasan yang muncul, keinginan mengubah sistem sebetulnya lebih merupakan cermin dari kegamangan partai mengikuti varian terbuka. Di antara keberatan yang disampaikan partai adalah sistem proporsional terbuka telah menafikan proses kaderisasi. Penilaian ini jelas kurang akurat, sebab di tangan partailah terletak kewenangan untuk menentukan siapa figur yang akan masuk dalam daftar calon legislatif (caleg). Artinya, untuk mengikuti Pemilu Legislatif kandidat harus melalui seleksi partai politik.

Jika dalam Pemilu Legislatif selama ini partai-partai kemasukan kader yang tidak jelas juntrungannya tentu bisa disalahkan sistem Pemilunya. Tanpa mesti rumit berpikir, kita akan dapat mengetahui bahwa persoalannya lebih berkaitan dengan kaderisasi partai politik itu sendiri. Bisa dipastikan ada sesuatu yang keliru dalam proses rekrutmen politiknya yang memberi ruang bagi kader-kader instan untuk masuk dalam daftar caleg dan kemudian terpilih sebagai wakil rakyat dari partai tersebut.

Selain itu, sistem proporsional terbuka dinilai menciptakan kompetisi tak sehat antarcaleg dalam satu partai serta memunculkan biaya politik yang tinggi. Jika dicermati, justru dalam sistem proporsional tertutup kompetisi menjadi lebih tidak sehat, karena posisi antarcaleg tidaklah setara. Sebagian besar calon betul-betul hanya menjadi pelengkap penderita. Mereka yang berada pada nomor urut bawah tentu tak terlalu bergairah untuk berkompetisi. Bahkan sangat mungkin hilang gairah. Terkait biaya politik, sistem tertutup tidak juga steril dari politik biaya tinggi. Praktik pembelian nomor urut untuk memastikan agar masuk sebagai caleg jadi bukan hal yang belum pernah kita dengar dari Pemilu-pemilu sebelumnya.

Mestinya pemerintah tidak perlu terburu-buru untuk mengamini kehendak sejumlah partai mengganti sistem Pemilu, sebab keinginan tersebut tak lebih bersifat 'buka-tutup'. Sebuah sistem Pemilu seharusnya didesain untuk menjangkau ke depan dan tak gampang diotak-atik sesuai keinginan yang berdimensi jangka pendek. Tak perlu menyalahkan sistem bila kelemahan sebenarnya ada dalam diri partai-partai itu sendiri. Bila buruk kader janganlah sistem dibelah. Yang perlu dilakukan adalah perbaikan kualitas kaderisasi. Dengan peningkatan kualitas kaderisasi, mereka yang menjadi caleg partai nantinya memang orang yang benar-benar sudah disiapkan oleh partai, sehingga siapa pun yang duduk di kursi legislatif adalah tetap kader-kader andalan partai.

oleh: Ahmad Sabiq
disadur dari Kedaulatan Rakyat, Kamis, 26 Mel 2016 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar