Editors Picks

Jumat, 27 Mei 2016

Korupsi dan Sistem Pemilu



Hampir tidak ada ulasan tentang korupsi yang merajalela di Brasil yang tidak dikaitkan dengan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka yang diterapkan di Brasil. Pelaku korupsi di Brasil adalah mulai dari anggota dan pimpinan DPR, anggota dan pimpinan Senat, gubernur, anggota dan pimpinan DPRD, wali kota dan dewan kota, sampai pada menteri dan presiden dari semua partai politik yang memiliki kursi di lembaga legislatif atau eksekutif.

Pelaku korupsi ini merupakan pemegang jabatan politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Pada masa pemerintahan Presiden Lula (Partai Pekerja) terungkap praktik suap (bribery) dari sejumlah menteri dan penjabat pemerintah untuk membeli suara 39 anggota DPR untuk menyetujui suatu rancangan undang-undang. Sejumlah menteri dan penjabat pembantu Lula kemudian masuk penjara berdasarkan putusan pengadilan.

Wakil Presiden Michel Temer (Partai Sosialis Demokrat Brasil/PSDB) kemudian diperiksa kepolisian karena diduga terlibat dalam pembelian etanol secara tidak sah. Setelah itu mantan Presiden Lula dituduh melakukan pencucian uang dari Petrobras (Pertamina-nya Brasil) pada masa pemerintahannya. Lula tidak langsung ditangkap dan diadili karena diselamatkan oleh Presiden Dilma Rousseff dengan mengangkat Lula sebagai kepala staf kepresidenan.

Setelah itu, menyusul Presiden Rousseff yang dituduh korupsi dana Petrobras. Bahkan, karena itu, Presiden Dilma Rousseff diturunkan sementara dari kursi kepresidenan oleh DPR dan Senat sambil menunggu proses peradilan terhadap tuduhan korupsi tersebut. Sebelum Senat mengambil keputusan tentang pemecatan Presiden Rousseff, ketua DPR (PSDB) kemudian harus mengundurkan diri dari jabatannya karena dituduh korupsi. Hal ini ditampilkan sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa korupsi di Brasil sudah sampai pada tingkat puncak.

Insentif korupsi
Kalau demikian, apa kaitan sistem pemilu dengan korupsi? Apakah setiap sistem pemilu menjadi sumber penyebab korupsi? Sistem Pemilu Proporsional dengan daftar calon terbuka (proportional representation with open list), sebagaimana diterapkan di Brasil sejak tahun 1946 (dikurangi Brasil tanpa pemilu selama masa pemerintahan militer), adalah sistem pemilihan umum yang memberi "insentif" kepada calon dan pemilih untuk melakukan transaksi jual-beli suara, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Brasil mengadopsi sistem perwakilan politik bikameral: DPR (Camaro dos deputados) beranggotakan 513 orang dipilih di 27 negara bagian, dan Senat (Senado Federal) beranggotakan 81 orang, tiga orang setiap negara bagian.

Berikut secara ringkas sistem pemilihan umum proporsional dengan daftar calon terbuka yang diterapkan Brasil. Daerah pemilihan anggota DPR adalah negara bagian (26 negara bagian ditambah Teritori Federal Brasilia) dengan alokasi kursi sekurang-kurangnya delapan kursi dan sebanyak-banyaknya 70 kursi sesuai dengan jumlah penduduk. Dengan Besaran daerah pemilihan (dapil) seperti ini sangat mudah bagi partai kecil sekalipun untuk mendapatkan kursi, apalagi ambang-batas perwakilan (electoral threshold) hanya 1 persen.

Daftar calon ditentukan parpol, sedangkan proses penentuan calon sepenuhnya bergantung pada partai masing-masing. Daftar urutan calon ditampilkan berdasarkan undian. Pemilih memberikan suara kepada satu nama calon atau satu nama partai dengan cara menyentuh layar komputer (e-voting dengan layar sentuh).

Formula yang digunakan untuk membagi kursi setiap dapil kepada parpol adalah proporsional dengan metode divisor D'Hondt. Apabila metode kuota Hare (alias Bilangan Pembagi Pemilih di Indonesia) cenderung menguntungkan partai kecil, metode divisor D'Hondt cenderung menguntungkan parpol besar sebagaimana terjadi di Timor-Leste (55 dari 65 kursi DPR dipegang dua partai). Pada satu pihak mudah bagi partai kecil mendapatkan kursi, sedangkan pada pihak lain metode divisor D'Hondt cenderung menguntungkan partai besar.

Oleh karena itu, di DPR Brasil terdapat 13 parpol, tetapi kursi DPR di Brasil didominasi oleh tiga atau empat partai. Penetapan calon terpilih anggota DPR dilakukan berdasarkan urutan jumlah suara yang diperoleh para calon. Karena penentuan calon terpilih dilakukan berdasarkan urutan jumlah suara yang diperoleh, tidak hanya setiap calon berupaya dengan segala cara mendapatkan suara, tetapi juga meminta pemilih memberikan suara kepada dirinya. Tidak heran apabila hampir seluruh pemilih memberikan suara kepada calon.

Sistem pemilu dengan daftar calon terbuka memang menstimulasi kampanye berpusat pada calon. Reputasi personal calon lebih penting daripada reputasi partai. Tidak heran apabila sistem pemilu seperti ini acap kali disebut sebagai Sistem Pemilu Proporsional yang Berpusat pada Kandidat (PR with Candidate-Centred). Hal ini tidak lain karena setiap calon melakukan kampanye relatif bebas dari intervensi partai politik yang mencalonkan. Calon tidak hanya menentukan strategi dan taktik kampanye, tetapi juga menentukan tema kampanye. Calon tidak hanya mencari dana kampanye sendiri, tetapi juga menentukan penggunaannya sekehendak dia. Dalam praktik, kampanye dalam sistem pemilihan seperti ini tak ubahnya seperti kampanye seorang calon senator atau calon anggota DPR di AS yang tak menerapkan Sistem Pemilu Proporsional, tetapi Sistem Pemilu Mayoritarian.

Karena sistem pemilu ini berpusat pada kandidat, yang terjadi bukan kompetisi antarparpol, melainkan kompetisi antar-calon dari partai yang sama di dapil yang sama (intra-party competition). Karena kompetisi sangat ketat, terjadilah ketidakpastian akan prospek keterpilihan. Makin tidak pasti akan keterpilihan, makin besar kecenderungan melakukan korupsi (mendapatkan uang dari negara secara tidak sah) untuk melakukan kampanye dengan segala cara, termasuk "membeli" suara pemilih. Korupsi politik yang terjadi dalam sistem pemilu seperti ini adalah perburuan politik rente, pencucian uang, dana aspirasi, dan menjual suara dalam pengambilan keputusan di lembaga legislatif oleh penjabat publik hasil pemilu, dan klientelisme dan jual-beli suara (vote buying) antara calon/petahana dan pemilih.

Sistem Pemilu Proporsional Terbuka sebagaimana diterapkan di Brasil juga menghasilkan politisi nasional (anggota DPR dan Senat) cenderung berorientasi lokal (baca: kelompok pemilih pendukung). Politisi yang terpilih di negara bagian tersebut memandang tugasnya "menggelontor sebanyak mungkin uang atau materi lainnya kepada pemilih mereka". Di sinilah klientelisme masuk.

Klientelisme adalah pertukaran sosial antara "pelindung" (calon, petahana) dan warga yang "dilindungi" (pemilih): calon/ petahana memberikan uang atau materi lainnya sesuai dengan permintaan pemilih, sedangkan pemilih memberikan suara kepada calon/petahana. Uang atau materi dipertukarkan dengan suara. Praktik pertukaran seperti ini dilakukan setahun sebelum pemilu. Bahkan, merupakan praktik biasa di Brasil ketika seorang wali kota melakukan transaksi pertukaran dengan anggota DPR atau senator: anggota DPR atau senator berjanji menggelontor anggaran dan materi lainnya kepada kota yang bersangkutan, sedangkan wali kota berjanji mengerahkan pemilih untuk memberikan suara kepada calon anggota DPR/petahana.

Praktik jual-beli suara antara calon/petahana dan pemilih dilakukan pada hari pemungutan suara. Selain uang, calon/operator juga menggunakan barang, seperti sepatu untuk membeli suara pemilih. Apabila sepatu yang digunakan sebagai tukar suara, sepasang sepatu tidak diberikan di depan, tetapi sepatu sebelah kiri diberikan sebelum pemungutan suara dan sepatu sebelah kanan diberikan setelah hasil pemungutan suara diumumkan. Pertukaran uang atau materi dengan suara merupakan praktik umum menjelang dan pada hari pemungutan suara. Karena praktik seperti ini semakin terbiasa dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, tidak heran seorang ilmuwan politik (Frederic Charles Schaffer) menulis buku berjudul: Election for Sale untuk menggambarkan apa yang terjadi di Brasil tersebut.

Singkat kata, Sistem Pemilu Proporsional Berpusat pada Kandidat tidak hanya menimbulkan korupsi pada kalangan penjabat hasil pemilu dan "keuangan yang mahakuasa" mengalahkan "rakyat berdaulat", tetapi juga memperlemah partai politik. Sistem ini tidak hanya mereduksi partai politik sebagai sekadar payung pencalonan, tetapi juga mereduksi ideologi menjadi pragmatisme. Selain itu Sistem Pemilu Proporsional Terbuka ini juga menghasilkan politisi nasional yang lebih berorientasi "kepentingan lokal" (kelompok pemilih pendukung) daripada kepentingan nasional.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Partai Pekerja yang selama ini dikenal sebagai partai politik dengan tingkat pelembagaan yang tinggi juga terkena virus Sistem Pemilu Proporsional Terbuka tersebut. Partai Pekerja didirikan pada 1980 oleh tiga kelompok masyarakat (organisasi buruh yang tidak setuju dengan korporatisme negara, kelompok intelektual kiri, dan kelompok Katolik Teologi Pembebasan) dengan ideologi sosialis demokrat yang dioperasionalkan sebagai penuntun kebijakan publik. Partai yang telah memenangi jabatan presiden Brasil empat kali berturut-turut sejak 2002 ini dikenal sebagai memiliki disiplin partai yang tinggi (semua kader yang duduk di DPR, Senat, dan pemerintahan) patuh kepada kebijakan partai. Partai Pekerja juga merupakan partai yang memilikiparty identification (jumlah pemilih yang mengidentifikasi diri secara psikologik dan ideologik kepada Partai Pekerja) paling tinggi (mencapai 38 persen) di antara partai politik di Brasil. Pada pemilu anggota DPR dan Senat, reputasi partai masih lebih terkenal daripada reputasi calon (lebih banyak memilih partai daripada calon).

Akan tetapi, setelah memerintah, Partai Pekerja ternyata tidak kebal terhadap virus Sistem Pemilu Proporsional Terbuka. Karena Sistem Pemilu Proporsional Terbuka yang diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2009 hampir sama dengan yang diterapkan di Brasil dan dampaknya juga sudah kelihatan seperti di Brasil walaupun belum mencapai skala yang terjadi di Brasil, bukankah sudah saatnya mengevaluasi ulang Sistem Pemilu Proporsional Terbuka di Indonesia?

oleh: Ramlan Surbakti
disadur dari Kompas, Jum’at, 27 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar