Hampir tidak ada ulasan tentang
korupsi yang merajalela di Brasil yang tidak dikaitkan dengan Sistem Pemilu
Proporsional Terbuka yang diterapkan di Brasil. Pelaku korupsi di Brasil adalah
mulai dari anggota dan pimpinan DPR, anggota dan pimpinan Senat, gubernur,
anggota dan pimpinan DPRD, wali kota dan dewan kota, sampai pada menteri dan
presiden dari semua partai politik yang memiliki kursi di lembaga legislatif
atau eksekutif.
Pelaku korupsi ini merupakan
pemegang jabatan politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
pemilu. Pada masa pemerintahan Presiden Lula (Partai Pekerja) terungkap praktik
suap (bribery) dari sejumlah menteri
dan penjabat pemerintah untuk membeli suara 39 anggota DPR untuk menyetujui
suatu rancangan undang-undang. Sejumlah menteri dan penjabat pembantu Lula
kemudian masuk penjara berdasarkan putusan pengadilan.
Wakil Presiden Michel Temer (Partai
Sosialis Demokrat Brasil/PSDB) kemudian diperiksa kepolisian karena diduga
terlibat dalam pembelian etanol secara tidak sah. Setelah itu mantan Presiden
Lula dituduh melakukan pencucian uang dari Petrobras (Pertamina-nya Brasil)
pada masa pemerintahannya. Lula tidak langsung ditangkap dan diadili karena
diselamatkan oleh Presiden Dilma Rousseff dengan mengangkat Lula sebagai kepala
staf kepresidenan.
Setelah itu, menyusul Presiden
Rousseff yang dituduh korupsi dana Petrobras. Bahkan, karena itu, Presiden
Dilma Rousseff diturunkan sementara dari kursi kepresidenan oleh DPR dan Senat
sambil menunggu proses peradilan terhadap tuduhan korupsi tersebut. Sebelum
Senat mengambil keputusan tentang pemecatan Presiden Rousseff, ketua DPR (PSDB)
kemudian harus mengundurkan diri dari jabatannya karena dituduh korupsi. Hal
ini ditampilkan sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa korupsi di Brasil sudah
sampai pada tingkat puncak.
Insentif
korupsi
Kalau demikian, apa kaitan sistem
pemilu dengan korupsi? Apakah setiap sistem pemilu menjadi sumber penyebab
korupsi? Sistem Pemilu Proporsional dengan daftar calon terbuka (proportional representation with open list),
sebagaimana diterapkan di Brasil sejak tahun 1946 (dikurangi Brasil tanpa
pemilu selama masa pemerintahan militer), adalah sistem pemilihan umum yang
memberi "insentif" kepada calon dan pemilih untuk melakukan transaksi
jual-beli suara, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Brasil mengadopsi sistem perwakilan
politik bikameral: DPR (Camaro dos
deputados) beranggotakan 513 orang dipilih di 27 negara bagian, dan Senat (Senado Federal) beranggotakan 81 orang,
tiga orang setiap negara bagian.
Berikut secara ringkas sistem
pemilihan umum proporsional dengan daftar calon terbuka yang diterapkan Brasil.
Daerah pemilihan anggota DPR adalah negara bagian (26 negara bagian ditambah
Teritori Federal Brasilia) dengan alokasi kursi sekurang-kurangnya delapan
kursi dan sebanyak-banyaknya 70 kursi sesuai dengan jumlah penduduk. Dengan
Besaran daerah pemilihan (dapil) seperti ini sangat mudah bagi partai kecil
sekalipun untuk mendapatkan kursi, apalagi ambang-batas perwakilan (electoral
threshold) hanya 1 persen.
Daftar calon ditentukan parpol,
sedangkan proses penentuan calon sepenuhnya bergantung pada partai
masing-masing. Daftar urutan calon ditampilkan berdasarkan undian. Pemilih
memberikan suara kepada satu nama calon atau satu nama partai dengan cara
menyentuh layar komputer (e-voting dengan
layar sentuh).
Formula yang digunakan untuk membagi
kursi setiap dapil kepada parpol adalah proporsional dengan metode divisor D'Hondt. Apabila metode kuota Hare (alias Bilangan Pembagi Pemilih di
Indonesia) cenderung menguntungkan partai kecil, metode divisor D'Hondt cenderung menguntungkan parpol besar sebagaimana
terjadi di Timor-Leste (55 dari 65 kursi DPR dipegang dua partai). Pada satu
pihak mudah bagi partai kecil mendapatkan kursi, sedangkan pada pihak lain
metode divisor D'Hondt cenderung
menguntungkan partai besar.
Oleh karena itu, di DPR Brasil
terdapat 13 parpol, tetapi kursi DPR di Brasil didominasi oleh tiga atau empat
partai. Penetapan calon terpilih anggota DPR dilakukan berdasarkan urutan
jumlah suara yang diperoleh para calon. Karena penentuan calon terpilih
dilakukan berdasarkan urutan jumlah suara yang diperoleh, tidak hanya setiap
calon berupaya dengan segala cara mendapatkan suara, tetapi juga meminta
pemilih memberikan suara kepada dirinya. Tidak heran apabila hampir seluruh
pemilih memberikan suara kepada calon.
Sistem pemilu dengan daftar calon
terbuka memang menstimulasi kampanye berpusat pada calon. Reputasi personal
calon lebih penting daripada reputasi partai. Tidak heran apabila sistem pemilu
seperti ini acap kali disebut sebagai Sistem Pemilu Proporsional yang Berpusat
pada Kandidat (PR with Candidate-Centred).
Hal ini tidak lain karena setiap calon melakukan kampanye relatif bebas dari
intervensi partai politik yang mencalonkan. Calon tidak hanya menentukan
strategi dan taktik kampanye, tetapi juga menentukan tema kampanye. Calon tidak
hanya mencari dana kampanye sendiri, tetapi juga menentukan penggunaannya
sekehendak dia. Dalam praktik, kampanye dalam sistem pemilihan seperti ini tak
ubahnya seperti kampanye seorang calon senator atau calon anggota DPR di AS
yang tak menerapkan Sistem Pemilu Proporsional, tetapi Sistem Pemilu
Mayoritarian.
Karena sistem pemilu ini berpusat
pada kandidat, yang terjadi bukan kompetisi antarparpol, melainkan kompetisi
antar-calon dari partai yang sama di dapil yang sama (intra-party competition). Karena kompetisi sangat ketat, terjadilah
ketidakpastian akan prospek keterpilihan. Makin tidak pasti akan keterpilihan,
makin besar kecenderungan melakukan korupsi (mendapatkan uang dari negara
secara tidak sah) untuk melakukan kampanye dengan segala cara, termasuk
"membeli" suara pemilih. Korupsi politik yang terjadi dalam sistem
pemilu seperti ini adalah perburuan politik rente, pencucian uang, dana
aspirasi, dan menjual suara dalam pengambilan keputusan di lembaga legislatif
oleh penjabat publik hasil pemilu, dan klientelisme dan jual-beli suara (vote buying) antara calon/petahana dan
pemilih.
Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
sebagaimana diterapkan di Brasil juga menghasilkan politisi nasional (anggota
DPR dan Senat) cenderung berorientasi lokal (baca: kelompok pemilih pendukung).
Politisi yang terpilih di negara bagian tersebut memandang tugasnya
"menggelontor sebanyak mungkin uang atau materi lainnya kepada pemilih
mereka". Di sinilah klientelisme
masuk.
Klientelisme adalah pertukaran sosial antara "pelindung"
(calon, petahana) dan warga yang "dilindungi" (pemilih): calon/
petahana memberikan uang atau materi lainnya sesuai dengan permintaan pemilih,
sedangkan pemilih memberikan suara kepada calon/petahana. Uang atau materi
dipertukarkan dengan suara. Praktik pertukaran seperti ini dilakukan setahun
sebelum pemilu. Bahkan, merupakan praktik biasa di Brasil ketika seorang wali
kota melakukan transaksi pertukaran dengan anggota DPR atau senator: anggota
DPR atau senator berjanji menggelontor anggaran dan materi lainnya kepada kota
yang bersangkutan, sedangkan wali kota berjanji mengerahkan pemilih untuk
memberikan suara kepada calon anggota DPR/petahana.
Praktik jual-beli suara antara
calon/petahana dan pemilih dilakukan pada hari pemungutan suara. Selain uang,
calon/operator juga menggunakan barang, seperti sepatu untuk membeli suara
pemilih. Apabila sepatu yang digunakan sebagai tukar suara, sepasang sepatu
tidak diberikan di depan, tetapi sepatu sebelah kiri diberikan sebelum
pemungutan suara dan sepatu sebelah kanan diberikan setelah hasil pemungutan
suara diumumkan. Pertukaran uang atau materi dengan suara merupakan praktik
umum menjelang dan pada hari pemungutan suara. Karena praktik seperti ini
semakin terbiasa dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, tidak heran seorang
ilmuwan politik (Frederic Charles Schaffer) menulis buku berjudul: Election for Sale untuk menggambarkan
apa yang terjadi di Brasil tersebut.
Singkat kata, Sistem Pemilu
Proporsional Berpusat pada Kandidat tidak hanya menimbulkan korupsi pada
kalangan penjabat hasil pemilu dan "keuangan yang mahakuasa"
mengalahkan "rakyat berdaulat", tetapi juga memperlemah partai
politik. Sistem ini tidak hanya mereduksi partai politik sebagai sekadar payung
pencalonan, tetapi juga mereduksi ideologi menjadi pragmatisme. Selain itu
Sistem Pemilu Proporsional Terbuka ini juga menghasilkan politisi nasional yang
lebih berorientasi "kepentingan lokal" (kelompok pemilih pendukung)
daripada kepentingan nasional.
Yang menjadi pertanyaan adalah
mengapa Partai Pekerja yang selama ini dikenal sebagai partai politik dengan
tingkat pelembagaan yang tinggi juga terkena virus Sistem Pemilu Proporsional Terbuka
tersebut. Partai Pekerja didirikan pada 1980 oleh tiga kelompok masyarakat
(organisasi buruh yang tidak setuju dengan korporatisme negara, kelompok
intelektual kiri, dan kelompok Katolik Teologi Pembebasan) dengan ideologi
sosialis demokrat yang dioperasionalkan sebagai penuntun kebijakan publik.
Partai yang telah memenangi jabatan presiden Brasil empat kali berturut-turut
sejak 2002 ini dikenal sebagai memiliki disiplin partai yang tinggi (semua
kader yang duduk di DPR, Senat, dan pemerintahan) patuh kepada kebijakan
partai. Partai Pekerja juga merupakan partai yang memilikiparty identification
(jumlah pemilih yang mengidentifikasi diri secara psikologik dan ideologik
kepada Partai Pekerja) paling tinggi (mencapai 38 persen) di antara partai
politik di Brasil. Pada pemilu anggota DPR dan Senat, reputasi partai masih
lebih terkenal daripada reputasi calon (lebih banyak memilih partai daripada
calon).
Akan tetapi, setelah memerintah,
Partai Pekerja ternyata tidak kebal terhadap virus Sistem Pemilu Proporsional
Terbuka. Karena Sistem Pemilu Proporsional Terbuka yang diterapkan di Indonesia
sejak Pemilu 2009 hampir sama dengan yang diterapkan di Brasil dan dampaknya
juga sudah kelihatan seperti di Brasil walaupun belum mencapai skala yang
terjadi di Brasil, bukankah sudah saatnya mengevaluasi ulang Sistem Pemilu
Proporsional Terbuka di Indonesia?
oleh: Ramlan Surbakti
disadur dari Kompas, Jum’at, 27 Mei
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar