Proses demokratisasi setelah
kejatuhan rezim otoriter umumnya ditandai apa yang dinamakan sebagai periode
transisi. Hilangnya sifat-sifat transisional secara berangsur merupakan
pertanda bahwa proses demokratisasi yang berlangsung telah memasuki tahap
konsolidasi.
Demokrasi yang terkonsolidasi, oleh
karena itu, mengandaikan adanya sebuah sistem politik stabil, koheren, dan
dapat dijadikan acuan tepercaya bagi semua pihak bagi proses pengambilan
keputusan strategis. Pertanyaannya, setelah melewati 18 tahun kejatuhan Orde
Baru, apakah proses demokratisasi di Indonesia dewasa ini telah dapat
dinyatakan terkonsolidasi?
Involusi
politik
Sampai batas tertentu, transisi
memang mengandaikan adanya semacam eksperimentasi politik untuk menemukan satu
sistem politik yang lebih stabil dan diakui sebagai "kerangka
bermain" yang disepakati bersama. Di negara-negara yang mengalami proses
transisi demokrasi seusai rezim otoriter, seperti di Amerika Latin, konsolidasi
demokrasi umumnya dicapai setelah sedikitnya dua kali pemilu (Guillermo
O'Donnell, dkk, 1986).
Dibandingkan era Orde Baru, sistem
politik Orde Reformasi jauh lebih memadai. Selain terdapat pemilu legislatif
dan pemilu presiden reguler, termasuk pilkada, hak-hak sipil dan politik warga
negara relatif lebih memperoleh jaminan.
Dengan demikian, Orde Reformasi
telah mencatat banyak kemajuan berarti di bidang politik. Meski demikian,
seiring beberapa kemajuan tersebut, sistem demokrasi yang kita bangun masih
kerap terinterupsi oleh berbagai problem politik yang tergolong mendasar
sifatnya.
Jika persoalan rekonsiliasi nasional
dalam rangka menyelesaikan konflik-konflik masa lalu dipandang sebagai modal
dasar bagi pemantapan sistem demokrasi pasca Orde Baru, kita belum banyak
mencatat perubahan berarti dalam soal ini.
Masih cukup segar dalam ingatan kita
ketika DPR hasil Pemilu 2014 menganulir pilkada langsung. Sekalipun akhirnya
pilkada langsung kembali diberlakukan, peristiwa ini menunjukkan bahwa proses
demokratisasi di Tanah Air masih sulit ditebak arahnya. Artinya, berbagai
kemungkinan semacam itu bisa saja kembali terjadi tanpa sebuah kepastian.
Demikian pula menyangkut perdebatan
atas penetapan parliamentary threshold
yang selalu muncul menjelang pemilu legislatif. Apakah terdapat jaminan bahwa
soal ini tidak akan kembali muncul menjelang pemilu legislatif di tahun 2019?
Ilustrasi di atas sekadar contoh
kasus yang menggambarkan bahwa masyarakat politik gagal menciptakan kerangka
dasar rule of the game yang dapat
diterima semua pihak. Masih terdapat perbedaancara pandang dalam memaknai
tentang apa seharusnya dijadikan sebagai dasar sistem politik nasional.
Apakah ini dapat dinamakan sebagai
dinamika politik? Jawabnya boleh jadi, "ya". Namun,
"dinamika" yang terjadi saat ini lebih pada persoalan untuk menemukan
rule of the game, bukan dinamika
berdasarkan rule of the game yang
stabil dan dapat dijadikan acuan oleh semua pihak.
Masa transisi yang justru memberikan
ruang bagi masyarakat politik untuk menghasilkan sistem politik stabil dan
kredibel tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat politik secara maksimal. Di
sinilah letak persoalannya.
Transisi
tak berujung
Sejak memasuki era reformasi pada
1998, sistem politik yang terbangun belum dapat sepenuhnya menghilangkan
ciri-ciri transisional. Oleh karena itu, demokrasi di era reformasi ini
sesungguhnya belum memasuki fase konsolidasi.
Dampak buruk dari transisi yang
berkepanjangan adalah bahwa masyarakat akan semakin kehilangan kepercayaan pada
sistem politik yang seharusnya berfungsi sebagai "mesin" yang dapat
mengolah harapan mereka jadi kenyataan. Kondisi semacam ini jelas akan selalu
menimbulkan ketidakpastian politik.
Ironisnya, kita pun lalu menjadi
terbiasa dengan sistem transisional semacam ini. Kita sepertinya telanjur
menyatu dengan abnormalitas. Hampir tanpa disadari, abnormalitas telah menjadi
semacamhabitus dalam kehidupan politik di negeri ini. Ketidakpastian telanjur
dianggap sebagai "yang normal".
Delapan belas tahun kita hidup dalam
suasana transisional. sistem demokrasi di era reformasi ini boleh jadi
bukankebablasan, sebagaimana yang sering dipahami secara umum, melainkan gagal
menghilangkan sifat-sifat transisionalnya.
Dari kewenangan yang dimilikinya,
masyarakat politik sesungguhnya masih mempunyai peluang untuk memantapkan
desain politik nasional. Oleh karena itu, soal ini menjadi agenda politik yang
harus diselesaikan, setidak-tidaknya sebelum Pemilu Legislatif dan Pemilu
Presiden 2019. Kalaupun akhirnya negeri ini harus menempuh masa transisi
demokrasi dalam waktu dua dasawarsa, hal tersebut tentu masih jauh lebih baik
daripada tidak sama sekali.
oleh: Rahadi T Wiratama
disadur dari Kompas, Kamis, 26 Mei
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar