Editors Picks

Sabtu, 28 Mei 2016

Liberalisasi Digital, Berkah atau Bencana?



Pekan lalu, dalam sebuah obrolan ringan dengan seorang rekan, kami berbincang tentang perilaku bermedia sosial di Indonesia saat ini.

Ada satu topik yang kami diskusikan untuk menggambarkan berbagai manipulasi informasi, gambar, fakta dengan berbagai tujuan dan segala akibat yang muncul terhadap pembentukan masyarakat disinformatif yang gejalanya makin akut berlakangan ini.

Kawan saya tersebut bilang, istilah yang tepat untuk menggambarkan hal ini adalah anarki sosial media.

Ini mirip dengan gejala euforia kebebasan pers di era akhir 1990-an dan awal 2000-an - yang sayangnya masih tampak gejalanya hingga hari-hari ini - yang menurut sebagian kalangan masih dianggap sebagai 'kebablasan'.

Ini mirip pula dengan perilaku berdemokrasi di sebagian politisi di negeri ini yang seolah memperlihatkan gejala 'kegilaan' yang akut, sehingga muncul istilah democrazy.
Maka, perilaku bermedia sosial seperti sekarang ini, dikombinasikan dengan kebebasan pers yang masih cenderung tidak banyak kemajuan, dan perkembangan demokrasi yang tetap belum juga beranjak lebih matang, hasilnya adalah kombinasi yang sempurna dari sebuah 'kekacauan' sosial.

Gejala 'kekacauan sosial' ini menurut sebagian kalangan hanya berlaku di kalangan elite, terutama pengguna telpon pintar alias smartphone, yang setiap saat mempergunakan peranti elektronik dan berteknologi canggih tersebut untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara sosial.

Namun, saya percaya gejala tersebut telah menular ke wilayah grassroot, yang dianggap sebagai silent majority. Mereka dianggap tidak gegap terhadap wacana sosial-politik yang terjadi di negeri ini.

Jangan salah kira. Sebab, penyebaran informasi digital dewasa ini terjadi begitu mudah dan massive. Perkembangan teknologi terutama Internet telah menjadi enabler bagi perubahan perilaku tersebut.

Merujuk riset terbaru yang dilakukan GfK bersama Baidu di Indonesia tahun lalu, populasi pengguna Internet di Indonesia telah mencapai 60% lebih dari total populasi. Lebih dari 90% pengguna Internet itu adalah para pemakai smartphone. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 254 juta saat ini, berarti sedikitnya terdapat 130 juta pengguna telepon pintar di Indonesia.

Coba deh Anda tanya kepada pembantu rumah tangga di rumah, Si Mbak, sebutlah namanya begitu, apakah ia adalah pengguna Internet? Pasti si Mbak akan menjawab tidak.

Tetapi coba tanyakan lebih lanjut, apakah si Mbak punya akun Facebook? Pasti ia akan bilang "iya". Dan, tatkala ditanya bagaimana caranya menggunakan Facebook? Ia akan bilang, pakai handphone.

Nah, bukankah Facebook hanya bisa diakses melalui handphone yang memiliki koneksi Internet?

Ilustrasi sederhana tersebut memberikan gambaran, kehidupan sosial media memang telah merasuk hingga hampir seluruh lapisan masyarakat. Dan mesin penggerak utamanya adalah ledakan perangkat dan teknologi mobile yang kini dipakai kebanyakan manusia di muka bumi.

Perkembangan ekosistem DNA (device, network & apps) telah mengubah perilaku berkomunikasi dan bertransaksi secara dramatis.

Teknologi device yang didukung ketersediaan network dari operator telekomunikasi, serta pengembangan apps yang pesat belakangan ini telah membentuk ekosistem yang memungkinkan perubahan perilaku konsumen dan para penggunanya.

Pengguna perangkat mobile tersebut didominasi dua sistem operasi. Kalau bukan iOS yang berarti produk Apple, pastilah sistem operasi berbasis Android, yang merupakan produk Google. Dan kini, hampir semua orang di seluruh dunia menggunakannya.

Saya lebih suka menyebut dinamika ini sebagai dampak liberalisasi digital. Ini adalah tahapan lanjut setelah liberalisasi perdagangan yang menyangkut pergerakan bebas barang dan jasa, yang kemudian diikuti liberalisasi finansial, yang menyebabkan arus modal leluasa berpindah dari satu negara ke negara yang lain. Dan kini di era liberalisasi digital, manusia seolah tidak lagi memiliki kewarganegaraan.

Di era liberalisasi perdagangan, orang kampung di Banyuwangi bisa pakai jeans buatan Vietnam atau China meski memakai label merek Eropa.

Di era liberalisasi finansial, arus kapital bebas berkeliaran hingga di Ujung Genteng, sebuah pantai di selatan Sukabumi, karena bule yang sedang traveling dapat menukar uang dolarnya begitu mudah karena rezim devisa bebas yang dianut oleh kebanyakan dan sebagian besar negara di dunia.

Di era liberalisasi finansial dikenal istilah hot money. Istilah ini hanyalah untuk menjuluki uang yang gampang keluar masuk dari satu negara ke negara lain atau dari satu perekonomian ke perekonomian lain.

Namun dampak pergerakan hot money itu kerap memengaruhi stabilitas mata uang sebuah negara. Gejolak rupiah yang kita alami dekade terakhir sejak 1997/1998, adalah salah satu contohnya.

Maka, hari ini di era liberalisasi digital, dengan tulang punggung utama pergerakan perangkat mobile yang lebih individual, yang terjadi bukan lagi arus modal yang bebas. Implikasinya bahkan jauh lebih luas, baik secara ekonomi, bisnis maupun sosial-politik.

Lantas bagaimana Anda membayangkan dampak dari liberalisasi digital ini dalam lima tahun yang akan datang?

Untuk mendapatkan gambaran awal, coba deh tengok data berikut, yang dikutip dari laporan riset Cisco baru-baru ini. Lima tahun yang akan datang, diperkirakan akan lebih banyak lagi pengguna perangkat mobile yang mencapai 5,4 miliar atau hampir sebanyak penduduk dunia saat ini. Angka itu bahkan melampaui pengguna listrik (5,3 miliar), dan mobil yang berjumlah 2,8 miliar.

Akibat kenaikan jumlah pengguna perangkat mobile tersebut, yang disertai kemudahan akses dan ketersediaan beragam apps terutama untuk komunikasi dan interaksi sosial, telah mengakibatkan ketergantungan individual yang tinggi. 

Data dari Business Insider menyebutkan, 9 dari 10 pengguna smartphone  tidak pernah lepas dari telpon pintar mereka dalam 24 jam. Itu artinya, saat waktu tidur pun telepon pintar itu ada di samping mereka!

Kata kunci dari liberalisasi digital adalah relevansi dan value. Di era crowd-society atau masyarakat kerumunan yang menuntut serba instan seperti saat ini, siapa yang dapat menyediakan layanan dengan tingkat relevansi dan value yang tinggi terhadap kepentingan individual pasti akan dipakai bahkan dibeli.

Itu yang menjelaskan, mengapa layanan Go-Jek begitu cepat populer, karena sangat relevan dengan kebutuhan transportasi cepat dan murah di kota yang sarat kemacetan seperti Jakarta.

Memang, liberalisasi digital telah memberikan berkah bagi konsumen karena lebih mudah mendapatkan layanan yang lebih nyaman, harga lebih murah dan bahkan gratis.

Para pengasup informasi adalah mereka yang kini menikmati berkah tersebut, karena dengan mudah memperoleh berita atau informasi yang diperlukan cukup dengan bertanya kepada mesin pencari Google.

Namun, liberalisasi digital bukan berarti tidak menimbulkan soal yang serius.
Di Indonesia dan banyak negara, media konvensional telah menjadi korban awal, dan kini berguguran satu demi satu karena kehilangan pembaca dan pendapatan iklan.
Bisnis yang lain juga serupa, mulai dari penjualan tiket tradisional, industri transportasi, perhotelan, ritel bahkan kini sektor keuangan.

Sementara, penyesuaian dan adaptasi juga bukan perkara mudah bagi bisnis konvensional untuk mengadopsi bisnis digital.

Tantangan utama terletak pada pilihan model bisnis yang tepat. Faktanya tidak begitu mudah bagi bisnis konvensional untuk adaptif, terutama karena kendala teknologi dan modal. Dan terutama karena  kebanyakan sudah terlambat.

Banyak diyakini, liberalisasi digital lebih memberikan keuntungan bagi para investor yang masuk lebih awal (early adopter).

Dan tak dapat dipungkiri, akibat liberalisasi digital, dunia bisnis digital global kini didominasi oleh segelintir pelaku saja, termasuk Google dan Facebook. Mereka itulah early adopter yang sejak awal memang menjadi inventor di bisnis ini.

Bahkan kini mulai muncul proyeksi bahwa Bangalore, Silicon Valley-nya India, akan mati dalam lima tahun yang akan datang karena kalah bersaing.

Dan Indonesia adalah kisah lain lagi. Tahun lalu, merujuk informasi dari Menkominfo Rudiantara, belanja iklan digital mencapai sedikitnya US$830 juta atau sekitar Rp10 triliun. Dari jumlah itu, lebih dari duapertiga atau tepatnya 70% diambil oleh dua OTT global. Menteri Rudi tak menyebutkan siapa dua OTT itu. Tapi saya menebak mereka adalah Google dan Facebook.

Buat saya, inilah tanda-tanda bencana itu. Kalau di era liberalisasi finansial, kita kerap mendengar istilah pelarian modal dari hot money yang ditanamkan ke Indonesia, maka di era liberalisasi digital, pelarian modal terjadi lebih riil. Pasalnya, uang yang dibawa pergi adalah murni berasal dari Indonesia yang pergi ke luar negeri, terutama diambil para penguasa teknologi dari Amerika.

Itu saja dulu deh. Contoh lain akan banyak sekali. Belum lagi kalau kita bicara dampaknya terhadap penerimaan pajak, dampak sosial politik akibat perilaku disinformasi publik, serta kekacauan sosial yang lebih kerap kita alami akhir-akhir ini.

Jika pemerintah tidak peduli dengan membuat regulasi yang lebih antisipatif, bukan tidak mungkin bencana itu akan benar-benar terjadi. Mudah-mudahan dugaan saya itu keliru. Bagaimana menurut Anda?

oleh: Arif Budisusilo
disadur dari Bisnis, Jum’at, 13 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar