Pekan lalu, dalam sebuah obrolan ringan dengan seorang rekan, kami
berbincang tentang perilaku bermedia sosial di Indonesia saat ini.
Ada satu topik yang kami diskusikan
untuk menggambarkan berbagai manipulasi informasi, gambar, fakta dengan
berbagai tujuan dan segala akibat yang muncul terhadap pembentukan masyarakat
disinformatif yang gejalanya makin akut berlakangan ini.
Kawan saya tersebut bilang, istilah
yang tepat untuk menggambarkan hal ini adalah anarki sosial media.
Ini mirip dengan gejala euforia kebebasan
pers di era akhir 1990-an dan awal 2000-an - yang sayangnya masih tampak
gejalanya hingga hari-hari ini - yang menurut sebagian kalangan masih dianggap
sebagai 'kebablasan'.
Ini mirip pula dengan perilaku
berdemokrasi di sebagian politisi di negeri ini yang seolah memperlihatkan
gejala 'kegilaan' yang akut, sehingga muncul istilah democrazy.
Maka, perilaku bermedia sosial
seperti sekarang ini, dikombinasikan dengan kebebasan pers yang masih cenderung
tidak banyak kemajuan, dan perkembangan demokrasi yang tetap belum juga
beranjak lebih matang, hasilnya adalah kombinasi yang sempurna dari sebuah
'kekacauan' sosial.
Gejala 'kekacauan sosial' ini
menurut sebagian kalangan hanya berlaku di kalangan elite, terutama pengguna
telpon pintar alias smartphone, yang setiap saat mempergunakan peranti
elektronik dan berteknologi canggih tersebut untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara sosial.
Namun, saya percaya gejala tersebut
telah menular ke wilayah grassroot, yang dianggap sebagai silent
majority. Mereka dianggap tidak gegap terhadap wacana sosial-politik
yang terjadi di negeri ini.
Jangan salah kira. Sebab, penyebaran
informasi digital dewasa ini terjadi begitu mudah dan massive.
Perkembangan teknologi terutama Internet telah menjadi enabler bagi
perubahan perilaku tersebut.
Merujuk riset terbaru yang dilakukan
GfK bersama Baidu di Indonesia tahun lalu, populasi pengguna Internet di
Indonesia telah mencapai 60% lebih dari total populasi. Lebih dari 90% pengguna
Internet itu adalah para pemakai smartphone. Dengan jumlah penduduk yang
mencapai 254 juta saat ini, berarti sedikitnya terdapat 130 juta pengguna
telepon pintar di Indonesia.
Coba deh Anda tanya kepada pembantu
rumah tangga di rumah, Si Mbak, sebutlah namanya begitu, apakah ia adalah
pengguna Internet? Pasti si Mbak akan menjawab tidak.
Tetapi coba tanyakan lebih lanjut,
apakah si Mbak punya akun Facebook? Pasti ia akan bilang "iya". Dan,
tatkala ditanya bagaimana caranya menggunakan Facebook? Ia akan bilang, pakai
handphone.
Nah, bukankah Facebook hanya bisa
diakses melalui handphone yang memiliki koneksi Internet?
Ilustrasi sederhana tersebut
memberikan gambaran, kehidupan sosial media memang telah merasuk hingga hampir
seluruh lapisan masyarakat. Dan mesin penggerak utamanya adalah ledakan perangkat
dan teknologi mobile yang kini dipakai kebanyakan manusia di muka bumi.
Perkembangan ekosistem DNA (device, network & apps) telah
mengubah perilaku berkomunikasi dan bertransaksi secara dramatis.
Teknologi device yang didukung ketersediaan network dari operator telekomunikasi, serta pengembangan apps yang pesat belakangan ini telah
membentuk ekosistem yang memungkinkan perubahan perilaku konsumen dan para
penggunanya.
Pengguna perangkat mobile tersebut
didominasi dua sistem operasi. Kalau bukan iOS yang berarti produk Apple,
pastilah sistem operasi berbasis Android, yang merupakan produk Google.
Dan kini, hampir semua orang di seluruh dunia menggunakannya.
Saya lebih suka menyebut dinamika
ini sebagai dampak liberalisasi digital. Ini adalah tahapan lanjut setelah
liberalisasi perdagangan yang menyangkut pergerakan bebas barang dan jasa, yang
kemudian diikuti liberalisasi finansial, yang menyebabkan arus modal leluasa
berpindah dari satu negara ke negara yang lain. Dan kini di era liberalisasi
digital, manusia seolah tidak lagi memiliki kewarganegaraan.
Di era liberalisasi perdagangan,
orang kampung di Banyuwangi bisa pakai jeans buatan Vietnam atau China meski
memakai label merek Eropa.
Di era liberalisasi finansial, arus
kapital bebas berkeliaran hingga di Ujung Genteng, sebuah pantai di selatan
Sukabumi, karena bule yang sedang traveling dapat menukar uang dolarnya
begitu mudah karena rezim devisa bebas yang dianut oleh kebanyakan dan sebagian
besar negara di dunia.
Di era liberalisasi finansial dikenal
istilah hot money. Istilah ini hanyalah untuk menjuluki uang yang
gampang keluar masuk dari satu negara ke negara lain atau dari satu
perekonomian ke perekonomian lain.
Namun dampak pergerakan hot money
itu kerap memengaruhi stabilitas mata uang sebuah negara. Gejolak rupiah yang
kita alami dekade terakhir sejak 1997/1998, adalah salah satu contohnya.
Maka, hari ini di era liberalisasi
digital, dengan tulang punggung utama pergerakan perangkat mobile yang
lebih individual, yang terjadi bukan lagi arus modal yang bebas. Implikasinya
bahkan jauh lebih luas, baik secara ekonomi, bisnis maupun sosial-politik.
Lantas bagaimana Anda membayangkan
dampak dari liberalisasi digital ini dalam lima tahun yang akan datang?
Untuk mendapatkan gambaran awal,
coba deh tengok data berikut, yang dikutip dari laporan riset Cisco
baru-baru ini. Lima tahun yang akan datang, diperkirakan akan lebih banyak lagi
pengguna perangkat mobile yang mencapai 5,4 miliar atau hampir
sebanyak penduduk dunia saat ini. Angka itu bahkan melampaui pengguna listrik
(5,3 miliar), dan mobil yang berjumlah 2,8 miliar.
Akibat kenaikan jumlah pengguna
perangkat mobile tersebut, yang disertai kemudahan akses dan
ketersediaan beragam apps terutama untuk komunikasi dan interaksi sosial, telah
mengakibatkan ketergantungan individual yang tinggi.
Data dari Business Insider
menyebutkan, 9 dari 10 pengguna smartphone tidak pernah lepas dari
telpon pintar mereka dalam 24 jam. Itu artinya, saat waktu tidur pun telepon
pintar itu ada di samping mereka!
Kata kunci dari liberalisasi digital
adalah relevansi dan value. Di era crowd-society
atau masyarakat kerumunan yang menuntut serba instan seperti saat ini, siapa
yang dapat menyediakan layanan dengan tingkat relevansi dan value yang
tinggi terhadap kepentingan individual pasti akan dipakai bahkan dibeli.
Itu yang menjelaskan, mengapa
layanan Go-Jek begitu cepat populer, karena sangat relevan dengan
kebutuhan transportasi cepat dan murah di kota yang sarat kemacetan seperti
Jakarta.
Memang, liberalisasi digital telah
memberikan berkah bagi konsumen karena lebih mudah mendapatkan layanan yang
lebih nyaman, harga lebih murah dan bahkan gratis.
Para pengasup informasi adalah
mereka yang kini menikmati berkah tersebut, karena dengan mudah memperoleh
berita atau informasi yang diperlukan cukup dengan bertanya kepada mesin
pencari Google.
Namun, liberalisasi digital bukan
berarti tidak menimbulkan soal yang serius.
Di Indonesia dan banyak negara,
media konvensional telah menjadi korban awal, dan kini berguguran satu demi
satu karena kehilangan pembaca dan pendapatan iklan.
Bisnis yang lain juga serupa, mulai
dari penjualan tiket tradisional, industri transportasi, perhotelan, ritel
bahkan kini sektor keuangan.
Sementara, penyesuaian dan adaptasi
juga bukan perkara mudah bagi bisnis konvensional untuk mengadopsi bisnis
digital.
Tantangan utama terletak pada
pilihan model bisnis yang tepat. Faktanya tidak begitu mudah bagi bisnis
konvensional untuk adaptif, terutama karena kendala teknologi dan modal. Dan
terutama karena kebanyakan sudah terlambat.
Banyak diyakini, liberalisasi
digital lebih memberikan keuntungan bagi para investor yang masuk lebih awal (early
adopter).
Dan tak dapat dipungkiri, akibat
liberalisasi digital, dunia bisnis digital global kini didominasi oleh
segelintir pelaku saja, termasuk Google dan Facebook. Mereka itulah early
adopter yang sejak awal memang menjadi inventor di bisnis ini.
Bahkan kini mulai muncul proyeksi
bahwa Bangalore, Silicon Valley-nya India, akan mati dalam lima tahun yang akan
datang karena kalah bersaing.
Dan Indonesia adalah kisah lain
lagi. Tahun lalu, merujuk informasi dari Menkominfo Rudiantara, belanja iklan
digital mencapai sedikitnya US$830 juta atau sekitar Rp10 triliun. Dari jumlah
itu, lebih dari duapertiga atau tepatnya 70% diambil oleh dua OTT global.
Menteri Rudi tak menyebutkan siapa dua OTT itu. Tapi saya menebak mereka adalah
Google dan Facebook.
Buat saya, inilah tanda-tanda
bencana itu. Kalau di era liberalisasi finansial, kita kerap mendengar istilah
pelarian modal dari hot money yang ditanamkan ke Indonesia, maka di era
liberalisasi digital, pelarian modal terjadi lebih riil. Pasalnya, uang yang
dibawa pergi adalah murni berasal dari Indonesia yang pergi ke luar negeri,
terutama diambil para penguasa teknologi dari Amerika.
Itu saja dulu deh. Contoh lain akan
banyak sekali. Belum lagi kalau kita bicara dampaknya terhadap penerimaan
pajak, dampak sosial politik akibat perilaku disinformasi publik, serta
kekacauan sosial yang lebih kerap kita alami akhir-akhir ini.
Jika pemerintah tidak peduli dengan
membuat regulasi yang lebih antisipatif, bukan tidak mungkin bencana itu akan
benar-benar terjadi. Mudah-mudahan dugaan saya itu keliru. Bagaimana menurut
Anda?
oleh:
Arif Budisusilo
disadur
dari Bisnis, Jum’at, 13 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar