Akhir-akhir ini, berita yang menghiasi layar kaca, baik televisi maupun online, banyak yang
mengomentari tentang aksi kekerasan yang dilakukan oleh remaja.
Bila
sebelumnya ada aksi mengenai seorang anak SMA yang berbicara dengan nada
mengancam kepada seorang polisi wanita, akhir-akhir ini ada kabar mengenai
pemerkosaan dan pembunuhan gadis oleh sekelompok pemuda.
Ketika
mendengar ataupun membaca berita itu, saya langsung teringat dengan frase
bonus demografi, yang mulai mengemuka pada awal 2014.Ketika itu, mulai dari
presiden, menteri, gubernur, hingga wali kota kerap kali menyampaikan Indonesia
akan mengalami bonus demografi pada periode 2020–2030.
Menurut
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), bonus demografi mengandung
arti bonus yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi
penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang
dialaminya.Pada periode itu, jumlah usia angkatan kerja, yakni yang berusia 15
tahun-64 tahun, diperkirakan mencapai sekitar 70%.
Adapun
jumlah penduduk lainnya me masuki usia tidak produktif, yakni usia di
bawah 14 tahun dan usia di atas 65 tahun. Dengan demikian, pada tahun 2020-2030,
Indonesia akan memiliki sekitar 180 juta orang berusia produktif,sedang usia
tidak produktif sekitar 60 juta jiwa, atau 10 orang usia produktif hanya
menanggung 3-4 orang usia tidak produktif. Hal ini tentunya akan meningkatkan
jumlah penghasilan yang masih bisa disisihkan sebagai salah satu sumber devisa
negara.
Jumlah
penduduk produktif yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk yang
nonproduktif, secara teoretis tentunya akan mengompensasi ketidakproduktifan
yang ada. Namun, perhitungan kompensasi ini tentunya juga harus dibarengi
dengan persiapan mental dan diri dari generasi muda yang ada.
Ketika
bonus demografi dimanfaatkan dengan baik, pertumbuhan ekonomi pun akan turut
terkerek karena dominasi penduduk yang produktif akan mengerek pendapatan
domestik bruto. Tanggung jawab ini berada di tangan pemerintah dan masyarakat, yang
harus menyiapkan generasi muda yang berkualitas tinggi,melalui pendidikan,
kesehatan penyediaan lapangan kerja dan investasi. Namun, melihat tingkah polah
para pemuda ini justru membuat saya jadi berpikir apakah bonus demografi itu berkah
bagi Indonesia? Bagaimana kalau justru bonus demografi ini menjadi beban yang
harus ditanggung negara yang sedang gencar-gencarnya melakukan perbaikan
infrastruktur fisik di mana-mana?
Kasus
yang terjadi di atas memang tidak lantas bisa dicap sebagai cerminan dari
generasi muda yang ada saat ini. Namun,kasus–kasus itu juga tidak bisa dianggap
sepele karena benar-benar terjadi di depan mata dan hidung kita.Permasalahan
utama yang bisa ditimbulkan dari bonus demografi yang tidak dipersiapkan dengan
baik adalah pengangguran.
Keterampilan Khusus
Jumlah
angkatan kerja yang cukup besar tanpa dibarengi dengan keterampilan khusus atau
ketersediaan lapangan kerja yang memadai, tentunya akan menambah jumlah
pengangguran. Apakah bisa pemerintah menyediakan lapangan kerja untuk seluruh
penduduk berusia produktif pada saat bonus demografi terjadi? Seandainya pun tidak
bisa dan harus bekerja di Negara lain,apakah mampu penduduk berusia produktif itu
bersaing di dunia kerja dan pasar internasional?
Menteri
Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri pernah menyebutkan ada permasalahan yang harus
diselesaikan dalam menghadapi bonus demografi. Permasalahan yang dimaksud
adalah mengenai tingkat pendidikan penduduk yang saat ini sebagian besar hanya mengenyam
pendidikan SD dan SMP. Kebanyakan dari kelompok tersebut merupakan pengangguran
yang tidak memiliki keterampilan. Berdasarkan laporan dari United Nations Development
Programme, indeks pembangunan manusia atau human
development index (HDI) Indonesia berada pada peringkat 110. Angka
ini lebih rendah
dibandingkan
dengan Thailand, Malaysia, apalagi Singapura. Memang peringkatnya
lebih
baik dibandingkan dengan Filipina, Viet Nam, dan Kamboja, tetapi menurut saya
itu memang sudah seharusnya terjadi dan bukan merupakan sebuah prestasi. Karena
itu, pemerintah dan juga masyarakat perlu mawas diri apakah anak-anak kita
nanti bisa menjadi generasi penerus yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Atau
justru anak-anak kita justru menjadi beban bagi Negara kita di masa mendatang?
Kita lihat saja.
oleh: Rachmad Subiyanto
disadur dari Bisnis, Jum’at, 27 Mei
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar