INDONESIA
kembali berduka atas bencana banjir dan longsor yang melanda 16 kabupaten/kota
di Jawa Tengah. Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho, banjir dan longsor ini dipicu
hujan lebat yang turun sejak Sabtu (18/6) siang hingga malam hari. Bencana ini
menyebabkan 24 orang meninggal dunia, 26 orang hilang dan masih dalam
pencarian, puluhan rumah rusak tertimbun longsor, dan ribuan rumah terendam
banjir. Menurut Sutopo, korban jiwa terbanyak terjadi di Kabupaten Purworejo,
korban jiwa sebanyak 11 orang dan 26 orang hilang. Banjir dan longsor di
Kabupaten Purworejo terjadi di 30 desa dari 16 kecamatan. Tentu jumlah korban
baik yang meninggal maupun terluka masih bisa bertambah.
Bencana
alam tersebut kian menguatkan bukti bahwa status lingkungan hidup kita berada
pada posisi sangat gawat. Apalagi, kalau kita bicara perubahan iklim, dampaknya
benar-benar menyengsarakan banyak orang, seperti tampak pada dampak dari rob
atau naiknya permukaan air laut di berbagai kawasan di Tanah Air. Nelayan tak
bisa melaut, tambak bandeng rusak, hingga padi gagal panen.
Terkait
dengan kondisi kritis lingkungan kita, Ayu Utami, dalam novelnya Bilangan Fu
(KPG, Jakarta, 2008, 500 halaman) pernah mengkritisi pandangan agama atau
teologi monoteisme yang justru menjerumuskan dunia dalam bencana karena
lingkungan hidup dijadikan objek untuk dieksploitasi. Monoteisme ditengarai
hanya mengajarkan manusia memperbaiki akhirat, tetapi dengan merusak bumi atau
lingkungan hidup.
Novel
itu lebih mengapresiasi ajaran agama-agama tradisional yang animistis yang
terbukti mampu menjaga dan melestarikan alam atau bumi ini. Ini terlihat pada
ajaran 'sakralisasi alam' bahwa setiap unsur di dalam alam atau lingkungan
hidup, seperti gunung, hutan, pohon, atau danau memiliki penghuni yang harus
dihormati. Tanpa disadari, ajaran itu justru melestarikan gunung, sungai, dan
hutan yang masih tersisa.
Ajaran
sakralisasi itu bertolak belakangan dengan ajaran teologi tradisional atau
agama bahwa manusia ialah pusat. Manusia seolah mendapatkan mandat penuh dari
Sang Pencipta guna menjaga ciptaan lain atau menjaga dan memelihara keutuhan
ciptaan (integrity of creation). Apalagi, juga ada ajaran yang lebih
menitikberatkan atau memberi aksentuasi pada eskatologi (hal-hal yang akan
datang, seperti kehidupan sesudah mati dan hari kiamat) sehingga membuat
lingkungan hidup kita di dunia saat ini dipandang sebelah mata.
Teologi
seperti itu makin disalahpahami dalam masyarakat kita yang patriarkis. Rosemary
Radford Ruether mengecam budaya patriarki karena budaya ini memberikan
kontribusi negatif tidak hanya terhadap kemanusiaan perempuan, tetapi juga
terhadap perusakan ibu pertiwi atau lingkungan hidup sepanjang sejarah umat
manusia. Ibu pertiwi atau lingkungan hidup mengalami penderitaan seperti
perempuan dalam sejarah Rosemary Radford Ruether, New Woman/New Earth (1975).
Ekoteologi
Syukurlah
agama atau teologi monoteisme mau mengevaluasi diri dengan merespons aneka
kritik seperti dilontarkan Ayu Utami atau Rosemary Radford Ruether lewat apa
yang disebut dengan ekoteologi. Ekoteologi mencoba menata ulang posisi manusia
sehingga ekoteologi memberi harapan baru bagi penyelamatan lingkungan. Manusia,
dalam ekoteologi tidak dianggap sebagai pusat lagi di alam semesta. Citra palsu
manusia sebagai tuan atas ciptaan-ciptaan lain harus dilepas atau ditanggalkan.
Manusia ialah mitra Tuhan atau sahabat Sang Pencipta guna menyelamatkan alam
atau lingkungan hidup dari kerusakan ekologi yang lebih parah. Dosa-dosa
ekologis manusia modern yang mengeksploitasi bumi dan merasa memiliki
keunggulan jika dibandingkan dengan ciptaan lain, telah dikoreksi.
Ekoteologi
menawarkan ajaran atau ekologi baru bahwa segenap penganut agama monoteis kini
hanya menjadi pendatang belakangan. Jika pernah ada ajaran yang merusak bumi
atau lingkungan, sebagaimana dilontarkan dalam kritik Ayu, itu terjadi karena
komunitas umat beragama memang sedang menjalani masa transisi dari teologi
terdahulu (tradisional) yang merusak menuju ekoteologi yang menyelamatkan dan
merawat lingkungan (David G Hallman, Beyond 'North/South Dialogue' dalam
David G Hallman, Ed, Ecotheology: Voices from South and North
(Maryknoll, New York: Orbis Books, 1994, p 6).
Salah
satu pemikiran ekoteologis paling baru dan layak kita pikirkan tertuang dalam
ensiklik Laudato Si', yang
dikeluarkan Paus Fransiskus. Ensiklik berarti surat edaran. Tradisi menulis
ensiklik sudah dimulai Paus Benediktus XIV 1740.
Dalam Laudato Si' (LS) yang dirilis 18 Juni
2015, Paus Fransiskus menyerukan kepada siapa saja warga bumi ini untuk
mengambil sikap dan aksi nyata demi menyelamatkan ekologi, rumah bersama umat
manusia, dan segenap ciptaan. Subjudul ensklik LS ialah Merawat Rumah Bersama.
Seperti
hendak merespons kritik Ayu Utami tersebut, Laudato
Si' juga mengkritik antroposentrisme, pandangan bahwa manusia sebagai pusat
dari segalanya. Seluruh alam dilihat sebagai objek untuk pemenuhan kebutuhan
manusia. Ini pandangan yang salah dan merusak.
Di
dalam tulisannya, Paus Fransiskus menekankan arti penting dari hewan dan
tumbuhan sebagai bagian dari semesta. Laudato
Si' memang bersandar pada spiritualitas Santo Fransiskus Asisi (1182-1226).
Judul ensiklik (Laudato Si') berasal
dari syair-doa Fransiskus Asisi, orang kudus yang memilih hidup sederhana dan
sangat peduli dengan lingkungnn hidup. Ia ialah teladan nyata bagi pelestarian
lingkungan. Di dalam pandangannya, seluruh alam ini ialah saudara. Binatang
ialah saudara. Tumbuhan ialah saudara. Tidak ada perbedaan dan pertentangan
antara manusia dan alam semesta.
Hanya
dengan cara seperti ditunjukkan oleh Fransiskus Asisi, kita bisa hidup dalam
ekosistem bersama yang lestari. Di dalam ekosistem semacam ini, kelestarian
lingkungan hidup bisa terjaga, dan lingkungan coba diselamatkan. Laudato Si'
menegaskan bahwa kepedulian dan tanggung jawab memelihara 'Ibu Bumi' ialah
panggilan kemanusiaan sepanjang masa. Pengelolaan lingkungan mesti
memperhitungkan keadilan antargenerasi. Generasi yang akan datang berhak hidup
dari sumber alam yang sama, anugerah Sang Pencipta.
Maka
seiring bencana alam di Jateng, para pemangku kepentingan di sektor lingkungan
hidup di negeri kita perlu mengakui bahwa selama ini persoalan lingkungan hidup
kerap disepelekan. Di tengah hingar bingar perpolitikan nasional sering kali
komitmen kita pada lingkungan masih tambal sulam. Ekoteologi mengajak kita
untuk lebih serius sekaligus melakukan aksi nyata menyelamatkan lingkungan
hidup kita.
oleh
Tom Saptaatmaja
disadur dari Media Indonesia, Kamis, 23 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar