Editors Picks

Senin, 25 Juli 2016

Bencana Alam dan Ekoteologi



INDONESIA kembali berduka atas bencana banjir dan longsor yang melanda 16 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho, banjir dan longsor ini dipicu hujan lebat yang turun sejak Sabtu (18/6) siang hingga malam hari. Bencana ini menyebabkan 24 orang meninggal dunia, 26 orang hilang dan masih dalam pencarian, puluhan rumah rusak tertimbun longsor, dan ribuan rumah terendam banjir. Menurut Sutopo, korban jiwa terbanyak terjadi di Kabupaten Purworejo, korban jiwa sebanyak 11 orang dan 26 orang hilang. Banjir dan longsor di Kabupaten Purworejo terjadi di 30 desa dari 16 kecamatan. Tentu jumlah korban baik yang meninggal maupun terluka masih bisa bertambah.

Bencana alam tersebut kian menguatkan bukti bahwa status lingkungan hidup kita berada pada posisi sangat gawat. Apalagi, kalau kita bicara perubahan iklim, dampaknya benar-benar menyengsarakan banyak orang, seperti tampak pada dampak dari rob atau naiknya permukaan air laut di berbagai kawasan di Tanah Air. Nelayan tak bisa melaut, tambak bandeng rusak, hingga padi gagal panen.

Terkait dengan kondisi kritis lingkungan kita, Ayu Utami, dalam novelnya Bilangan Fu (KPG, Jakarta, 2008, 500 halaman) pernah mengkritisi pandangan agama atau teologi monoteisme yang justru menjerumuskan dunia dalam bencana karena lingkungan hidup dijadikan objek untuk dieksploitasi. Monoteisme ditengarai hanya mengajarkan manusia memperbaiki akhirat, tetapi dengan merusak bumi atau lingkungan hidup.

Novel itu lebih mengapresiasi ajaran agama-agama tradisional yang animistis yang terbukti mampu menjaga dan melestarikan alam atau bumi ini. Ini terlihat pada ajaran 'sakralisasi alam' bahwa setiap unsur di dalam alam atau lingkungan hidup, seperti gunung, hutan, pohon, atau danau memiliki penghuni yang harus dihormati. Tanpa disadari, ajaran itu justru melestarikan gunung, sungai, dan hutan yang masih tersisa.

Ajaran sakralisasi itu bertolak belakangan dengan ajaran teologi tradisional atau agama bahwa manusia ialah pusat. Manusia seolah mendapatkan mandat penuh dari Sang Pencipta guna menjaga ciptaan lain atau menjaga dan memelihara keutuhan ciptaan (integrity of creation). Apalagi, juga ada ajaran yang lebih menitikberatkan atau memberi aksentuasi pada eskatologi (hal-hal yang akan datang, seperti kehidupan sesudah mati dan hari kiamat) sehingga membuat lingkungan hidup kita di dunia saat ini dipandang sebelah mata.

Teologi seperti itu makin disalahpahami dalam masyarakat kita yang patriarkis. Rosemary Radford Ruether mengecam budaya patriarki karena budaya ini memberikan kontribusi negatif tidak hanya terhadap kemanusiaan perempuan, tetapi juga terhadap perusakan ibu pertiwi atau lingkungan hidup sepanjang sejarah umat manusia. Ibu pertiwi atau lingkungan hidup mengalami penderitaan seperti perempuan dalam sejarah Rosemary Radford Ruether, New Woman/New Earth (1975).

Ekoteologi
Syukurlah agama atau teologi monoteisme mau mengevaluasi diri dengan merespons aneka kritik seperti dilontarkan Ayu Utami atau Rosemary Radford Ruether lewat apa yang disebut dengan ekoteologi. Ekoteologi mencoba menata ulang posisi manusia sehingga ekoteologi memberi harapan baru bagi penyelamatan lingkungan. Manusia, dalam ekoteologi tidak dianggap sebagai pusat lagi di alam semesta. Citra palsu manusia sebagai tuan atas ciptaan-ciptaan lain harus dilepas atau ditanggalkan. Manusia ialah mitra Tuhan atau sahabat Sang Pencipta guna menyelamatkan alam atau lingkungan hidup dari kerusakan ekologi yang lebih parah. Dosa-dosa ekologis manusia modern yang mengeksploitasi bumi dan merasa memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan ciptaan lain, telah dikoreksi.

Ekoteologi menawarkan ajaran atau ekologi baru bahwa segenap penganut agama monoteis kini hanya menjadi pendatang belakangan. Jika pernah ada ajaran yang merusak bumi atau lingkungan, sebagaimana dilontarkan dalam kritik Ayu, itu terjadi karena komunitas umat beragama memang sedang menjalani masa transisi dari teologi terdahulu (tradisional) yang merusak menuju ekoteologi yang menyelamatkan dan merawat lingkungan (David G Hallman, Beyond 'North/South Dialogue' dalam David G Hallman, Ed, Ecotheology: Voices from South and North (Maryknoll, New York: Orbis Books, 1994, p 6).

Salah satu pemikiran ekoteologis paling baru dan layak kita pikirkan tertuang dalam ensiklik Laudato Si', yang dikeluarkan Paus Fransiskus. Ensiklik berarti surat edaran. Tradisi menulis ensiklik sudah dimulai Paus Benediktus XIV 1740.

Dalam Laudato Si' (LS) yang dirilis 18 Juni 2015, Paus Fransiskus menyerukan kepada siapa saja warga bumi ini untuk mengambil sikap dan aksi nyata demi menyelamatkan ekologi, rumah bersama umat manusia, dan segenap ciptaan. Subjudul ensklik LS ialah Merawat Rumah Bersama.

Seperti hendak merespons kritik Ayu Utami tersebut, Laudato Si' juga mengkritik antroposentrisme, pandangan bahwa manusia sebagai pusat dari segalanya. Seluruh alam dilihat sebagai objek untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Ini pandangan yang salah dan merusak.

Di dalam tulisannya, Paus Fransiskus menekankan arti penting dari hewan dan tumbuhan sebagai bagian dari semesta. Laudato Si' memang bersandar pada spiritualitas Santo Fransiskus Asisi (1182-1226). Judul ensiklik (Laudato Si') berasal dari syair-doa Fransiskus Asisi, orang kudus yang memilih hidup sederhana dan sangat peduli dengan lingkungnn hidup. Ia ialah teladan nyata bagi pelestarian lingkungan. Di dalam pandangannya, seluruh alam ini ialah saudara. Binatang ialah saudara. Tumbuhan ialah saudara. Tidak ada perbedaan dan pertentangan antara manusia dan alam semesta.

Hanya dengan cara seperti ditunjukkan oleh Fransiskus Asisi, kita bisa hidup dalam ekosistem bersama yang lestari. Di dalam ekosistem semacam ini, kelestarian lingkungan hidup bisa terjaga, dan lingkungan coba diselamatkan. Laudato Si' menegaskan bahwa kepedulian dan tanggung jawab memelihara 'Ibu Bumi' ialah panggilan kemanusiaan sepanjang masa. Pengelolaan lingkungan mesti memperhitungkan keadilan antargenerasi. Generasi yang akan datang berhak hidup dari sumber alam yang sama, anugerah Sang Pencipta.

Maka seiring bencana alam di Jateng, para pemangku kepentingan di sektor lingkungan hidup di negeri kita perlu mengakui bahwa selama ini persoalan lingkungan hidup kerap disepelekan. Di tengah hingar bingar perpolitikan nasional sering kali komitmen kita pada lingkungan masih tambal sulam. Ekoteologi mengajak kita untuk lebih serius sekaligus melakukan aksi nyata menyelamatkan lingkungan hidup kita.

oleh Tom Saptaatmaja
disadur dari Media Indonesia, Kamis, 23 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar