Politik
anggaran sepenuhnya bergantung pada rezim pemerintahan-politik dan rezim
birokrasi. Meski demikian, tetap ada hukum besi fiscal di Indonesia yang tidak
bisa ditawar oleh siapa pun atas alasan apa pun. Hukum besi itu adlah deficit kumulatif
anggaran pemerintah pusat dan daerah maksimal 3 persen dari produk domestik
bruto.
Hukum besi
soal defisit anggaran ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara. Jika defisit anggaran melewati batas 3 persen, itu
berarti melanggar undang-undang. Konsekuensinya jelas, presiden bisa
dilengserkan.
Hukum besi
ini perlu diingatkan kepada semua pihak. Ini karena APBN 2016 menghadapi risiko
pelebaran defisit anggaran mendekati batas 3 persen terhadap produk domestik
bruto (PDB). Ini berawal dari asumsi dasar yang meleset dan target pendapatan
yang terlampau ambisius.
Defisit
APBN 2016 ditargetkan Rp 273 triliun atau 2,15 persen PDB. Risiko pelebaran
defisit anggaran dipastikan di atas 2,5 persen PDB. Guna menghindarinya,
pemerintah mengajukan Rancangan APBN Perubahan 2016 ke DPR dengan target
defisit Rp 313 triliun atau hanya2,48 persen PDB.
Untuk itu,
anggaran belanja kementerian dan lembaga negara harus dipotong sebesar Rp 50
triliun. Kebijakan ini dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2016. Sebanyak
87 instansi mendapat jatah pemotongan anggaran mulai Rp 2 miliar sampai Rp 8,5
triliun. Soal program yang dipapras, dibatalkan kebijakannya diserahkan ke
setiap instansi.
Saat ini,
pembahasan RAPBN-P 2016 tengah berlangsung di DPR. Namun, pagi-pagi sejumlah
instansi penegak hukum melalui mitranya di DPR, yakni Komisi III, sudah
menyuarakan keberatan atas rencana pemotongan tersebut. Alasannya, langhak ini
akan mengganggu usaha penegakan hukum.
Bagi Komisi
III DPR dan instansi penegak hukum, penegakan hukum bisa jadi urusan paling
utama di negeri ini. Namun, instansi lain yang berurusan dengan kesehatan,
misalnya, sah-sah juga menyatakan bahwa kesehatan juga paling penting di negeri
ini. Demikian pula dengan pendidikan, kemiskinan, tenaga kerja, keamanan, dan
lain sebagainya. Di sinilah letak persoalannya.
Menyatakan
keberatan adalah sah-sah saja. Alasannya pun bisa jadi memang rasional dan bisa
diterima. Namun, tak menutup kemungkinan juga, alasan dibuat untuk mengamankan
alokasi anggaran untuk kepentingan terselubung rezim birokrasi dan rezim
pemerintahan-politik.
Kenyataannya,
pemborosan anggaran sudah menjadi klasik dalam rezim birokrasi dan rezim
pemerintahan-politik negeri ini. Temuan berulang Badan Pemeriksa Keuangan
secara terang-terangan menunjukkan rutinnya inefisiensi belanja negara. Kasus yang
diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi juga lebih dari cukup mengkonfirmasi
banyaknya modus koruptif atas pengelolaan keuangan negara.
Kenyataan
lain adalah realisasi pendapatan negara sejauh ini lebih kecil ketimbang tahun
lalu. Setiap instansi mau tidak mau harus mengencangkan ikat pinggang. Jika pemotongan
anggaran belanja kementerian dan lembaga tak mencapai target Rp 50 triliun,
pilihannya tinggal mengompensasinya dengan memangkas jenis anggaran belanja
lain atau melebarkan defisit dengan menambah utang.
Dengan defisit
2,48 persen dalam RAPBN-P 2016 saja, total utang yang harus ditarik pemerintah
tahun ini Rp 602 triliun atau lebih dari sepertiga target pendapatan pada
RAPBN-P 2016. Ingat utang dibayar dari uang pajak rakyat.
Akhirnya,
pemotongan anggaran adalah kenincayaan. Eksekusinya mesti tegas dan bijaksana. Demi
hukum besi anggaran, demi amanat penderitaan rakyat
disadur
dari Kompas, Selasa, 14 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar