Kenaikan
harga pangan menjelang Ramadan sudah menjadi ritual tahunan. Seharusnya
pemerintah sudah memiliki solusi atas masalah ini jauh sebelum harga berbagai
kebutuhan pokok, khususnya daging, itu naik. Kenaikan harga menjelang tahun ini
disebut terburuk dari tahun-tahun sebelumnya.
Sayangnya,
makin mahalnya harga bahan bahan pangan tidak secara otomatis mendongkrak
kesejahteraan petani. Sebaliknya kemiskinan kian melilit hidup dan kehidupan
petani pangan.
Dampaknya,
pembangunan pertanian di negeri agraris ini dari tahun ke tahun semakin membuat
hati miris. Sektor pertanian semakin kehilangan sumber daya manusia yang andal.
Jumlah pemuda lulusan perguruan tinggi kian menjauhi sektor pertanian tanaman
pangan karena dianggap sumber kemiskinan baru.
Padahal
pemuda ialah agen pembaruan dalam pembangunan pertanian. Presiden Soekarno
pernah mengatakan secara tegas, “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan
dunia.” Kalimat dahsyat Bung Karno ini merupakan gambaran betapa superiornya
pemuda sebagai pembawa perubahan di segala bidang pembangunan bangsa termasuk
di sektor pertanian.
Pembangunan
pertanian memunculkan beragam paradoks. Transformasi struktural pertanian tidak
berjalan baik. Pada saat yang sama, harga komoditas pertanian yang tinggi di
tingkat konsumen tidak menjadikan petani terpacu.
Populasi
petani juga terus menyusut. Masyarakat luas yang berhadap pada pemerintahan
Jokowi-JK agar mampu membawa Indonesia berswasembada pangan, produksi cenderung
menurun karena petani berimigrasi ke kota.
Dari
laporan Sensus Pertanian (2013), jumlah pemuda yang bekerja di sektor pertanian
semakin menurun 10 tahun belakangan. Selama satu dekade (2003–2013) jumlah
keluarga petani menurun 5,10 juta, dari 31,24 juta menjadi 26,14 juta.
Peran
pemuda –disebut generasi milenial– yang andal di bidang teknologi digital belum
banyak berkiprah di sektor pertanian untuk meningkatkan produktivitas lahan dan
penguatan kedaulatan pangan.
Pemuda,
lahir antara 1980-1999, memiliki ciri berpikir strategis, inspiratif, inovatif,
energik, antusias, dan fasih mengadopsi teknologi digital dalam beragam aspek
bisnis sehingga diprediksi menjadi agen pembangunan pertanian.
Namun,
minat generasi milenial ini membangun sektor pertanian dari tahun ke tahun
semakin menurun. Mereka lebih cenderung bekerja di sektor jasa dan industri di
perkotaan.
Kini
yang mengawal kedaulatan pangan dan mengurusi pertanian di desa hanya kaum
perempuan dan para lanjut usia. Generasi digital
natives yakni anak-anak muda yang lahir di era komputer yang melek
teknologi internet, aplikasi pada smartphone,
dan berbagai produk digital lainnya masih belum tertarik tinggal di desa untuk
bertani.
Menggerakkan generasi milenial
Penguatan
kedaulatan pangan di masa datang tampak mengkhawatirkan dengan kran impor
daging sapi yang sudah dibuka. Untuk meningkatkan ketersediaan daging sapi
menjelang bulan Ramadan 2016 pemerintah telah memutuskan mengimpor daging sapi
10.000 ton.
Ini
menunjukkan target Kementerian Pertanian yang menetapkan pencapaian swasembada
daging 2019 semakin diragukan keberhasilannya.
Di
sisi lain, sektor pertanian yang diharapkan dapat mengulang prestasi besar
tahun 1984, yaitu swasemba beras sekaligus menggerakkan ekonomi domestik,
diprediksi akan kandas jika tidak ada upaya serius melibatkan generasi melenial
di sektor pertanian.
Kondisi
pembangunan pertanian masih belum menggembirakan. Sebagian besar petani belum
menguasai teknologi di bidang pertanian secara baik. Kedaulatan pangan yang
digadang-gadang di dalam politik Nawacita itu pun terasa bak sebuah mimpi.
Penggunaan
teknologi tradisional semakin membuat sektor pertanian makin kehilangan daya
tarik. Sektor pertanian kian jauh tertinggal dibanding di negara tetangga
Malaysia dan Thailand.
Seiring
perkembangan teknologi yang kian pesat, sektor pertanian dengan teknologi tradisionalnya
tidak lagi memikat hati generasi milenial yang menguasai teknologi internet dan
aplikasi pada smartphone.
Perhatian
mereka lebih tertarik di sektor jasa di perkotaan. Bidang pertanian pangan
dianggap kurang bergengsi dan jadi sumber kemiskinan. Sektor petanian yang
umumnya di desa, dikenal sebagai pekerjaan melelahkan, panas, dan bergumul
dengan lumpur kotor. Hasilnya tidak sebanding dengan tenaga yang tercurah.
Pemerintah
harus segera mencari solusinya dengan baik. Strategi utama yang patut dilakukan
ialah dengan menyeimbangkan tenaga kerja di sektor pertanian dengan luas lahan.
Pembangunan
pertanian dianggap anomali apabila tidak mampu mengentaskan masyarakat dari
kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja baru.
Reorientasi
kebijakan pembangunan pertanian perlu fokus tidak hanya upaya khusus pada
swasembada padi, jagung, dan kedelai, tetapi perlu bervisi pengembangan
kelembagaan masyarakat dan pemberdayaan petani.
Untuk
itu, pemerintah harus segera membuat desain pembangunan pertanian jangka panjang,
yang tidak hanya mengkopi-paste
program yang bersifat ad hoc padi, jagung, dan kedelai.
Desain
pembangunan pertanian yang mengombinasikan teknologi digital dengan mekanisasi
dalam pengolahan lahan, penanaman, perawatan, pasca panen dan akses informasi
pasar misalnya merupakan alternatif terbaik saat ini.
Generasi
milenial yang melek teknologi digital akan semakin banyak yang tertarik untuk
memperbaiki kemajuan pembangunan pertanian.
Populasi
penduduk Indonesia yang tergolong generasi milenial sangat besar, diperkirakan
40% atau mencapai 100 juta orang. Angka ini setara dengan 5 kali penduduk
Malaysia.
Jika
populasi digital natives yang besar
ini bisa mengambil peran secara maksimal di sektor pertanian, bukan mustahil
pembangunan kedaulatan pangan ke depan akan berjalan lebih baik.
Paling
tidak mereka dapat membantu memperbaiki data produksi pangan seperti
perhitungan kebutuhan daging sapi dengan ketersedian nasional untuk menghindari
darurat daging sapi setiap menjelang bulan Ramadan.
oleh Posman
Sibuea
disadur
dari Kontan, Minggu, 12 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar