Editors Picks

Selasa, 14 Juni 2016

Pangan dan pembangunan pertanian



Kenaikan harga pangan menjelang Ramadan sudah menjadi ritual tahunan. Seharusnya pemerintah sudah memiliki solusi atas masalah ini jauh sebelum harga berbagai kebutuhan pokok, khususnya daging, itu naik. Kenaikan harga menjelang tahun ini disebut terburuk dari tahun-tahun sebelumnya.

Sayangnya, makin mahalnya harga bahan bahan pangan tidak secara otomatis mendongkrak kesejahteraan petani. Sebaliknya kemiskinan kian melilit hidup dan kehidupan petani pangan.

Dampaknya, pembangunan pertanian di negeri agraris ini dari tahun ke tahun semakin membuat hati miris. Sektor pertanian semakin kehilangan sumber daya manusia yang andal. Jumlah pemuda lulusan perguruan tinggi kian menjauhi sektor pertanian tanaman pangan karena dianggap sumber kemiskinan baru.

Padahal pemuda ialah agen pembaruan dalam pembangunan pertanian. Presiden Soekarno pernah mengatakan secara tegas, “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Kalimat dahsyat Bung Karno ini merupakan gambaran betapa superiornya pemuda sebagai pembawa perubahan di segala bidang pembangunan bangsa termasuk di sektor pertanian.

Pembangunan pertanian memunculkan beragam paradoks. Transformasi struktural pertanian tidak berjalan baik. Pada saat yang sama, harga komoditas pertanian yang tinggi di tingkat konsumen tidak menjadikan petani terpacu.

Populasi petani juga terus menyusut. Masyarakat luas yang berhadap pada pemerintahan Jokowi-JK agar mampu membawa Indonesia berswasembada pangan, produksi cenderung menurun karena petani berimigrasi ke kota.

Dari laporan Sensus Pertanian (2013), jumlah pemuda yang bekerja di sektor pertanian semakin menurun 10 tahun belakangan. Selama satu dekade (2003–2013) jumlah keluarga petani menurun 5,10 juta, dari 31,24 juta menjadi 26,14 juta.

Peran pemuda –disebut generasi milenial– yang andal di bidang teknologi digital belum banyak berkiprah di sektor pertanian untuk meningkatkan produktivitas lahan dan penguatan kedaulatan pangan.

Pemuda, lahir antara 1980-1999, memiliki ciri berpikir strategis, inspiratif, inovatif, energik, antusias, dan fasih mengadopsi teknologi digital dalam beragam aspek bisnis sehingga diprediksi menjadi agen pembangunan pertanian.

Namun, minat generasi milenial ini membangun sektor pertanian dari tahun ke tahun semakin menurun. Mereka lebih cenderung bekerja di sektor jasa dan industri di perkotaan.

Kini yang mengawal kedaulatan pangan dan mengurusi pertanian di desa hanya kaum perempuan dan para lanjut usia. Generasi digital natives yakni anak-anak muda yang lahir di era komputer yang melek teknologi internet, aplikasi pada smartphone, dan berbagai produk digital lainnya masih belum tertarik tinggal di desa untuk bertani.

Menggerakkan generasi milenial
Penguatan kedaulatan pangan di masa datang tampak mengkhawatirkan dengan kran impor daging sapi yang sudah dibuka. Untuk meningkatkan ketersediaan daging sapi menjelang bulan Ramadan 2016 pemerintah telah memutuskan mengimpor daging sapi 10.000 ton.

Ini menunjukkan target Kementerian Pertanian yang menetapkan pencapaian swasembada daging 2019 semakin diragukan keberhasilannya.
Di sisi lain, sektor pertanian yang diharapkan dapat mengulang prestasi besar tahun 1984, yaitu swasemba beras sekaligus menggerakkan ekonomi domestik, diprediksi akan kandas jika tidak ada upaya serius melibatkan generasi melenial di sektor pertanian.

Kondisi pembangunan pertanian masih belum menggembirakan. Sebagian besar petani belum menguasai teknologi di bidang pertanian secara baik. Kedaulatan pangan yang digadang-gadang di dalam politik Nawacita itu pun terasa bak sebuah mimpi.

Penggunaan teknologi tradisional semakin membuat sektor pertanian makin kehilangan daya tarik. Sektor pertanian kian jauh tertinggal dibanding di negara tetangga Malaysia dan Thailand.

Seiring perkembangan teknologi yang kian pesat, sektor pertanian dengan teknologi tradisionalnya tidak lagi memikat hati generasi milenial yang menguasai teknologi internet dan aplikasi pada smartphone.

Perhatian mereka lebih tertarik di sektor jasa di perkotaan. Bidang pertanian pangan dianggap kurang bergengsi dan jadi sumber kemiskinan. Sektor petanian yang umumnya di desa, dikenal sebagai pekerjaan melelahkan, panas, dan bergumul dengan lumpur kotor. Hasilnya tidak sebanding dengan tenaga yang tercurah.

Pemerintah harus segera mencari solusinya dengan baik. Strategi utama yang patut dilakukan ialah dengan menyeimbangkan tenaga kerja di sektor pertanian dengan luas lahan.

Pembangunan pertanian dianggap anomali apabila tidak mampu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja baru.

Reorientasi kebijakan pembangunan pertanian perlu fokus tidak hanya upaya khusus pada swasembada padi, jagung, dan kedelai, tetapi perlu bervisi pengembangan kelembagaan masyarakat dan pemberdayaan petani.

Untuk itu, pemerintah harus segera membuat desain pembangunan pertanian jangka panjang, yang tidak hanya mengkopi-paste program yang bersifat ad hoc padi, jagung, dan kedelai.

Desain pembangunan pertanian yang mengombinasikan teknologi digital dengan mekanisasi dalam pengolahan lahan, penanaman, perawatan, pasca panen dan akses informasi pasar misalnya merupakan alternatif terbaik saat ini.

Generasi milenial yang melek teknologi digital akan semakin banyak yang tertarik untuk memperbaiki kemajuan pembangunan pertanian.

Populasi penduduk Indonesia yang tergolong generasi milenial sangat besar, diperkirakan 40% atau mencapai 100 juta orang. Angka ini setara dengan 5 kali penduduk Malaysia.

Jika populasi digital natives yang besar ini bisa mengambil peran secara maksimal di sektor pertanian, bukan mustahil pembangunan kedaulatan pangan ke depan akan berjalan lebih baik.

Paling tidak mereka dapat membantu memperbaiki data produksi pangan seperti perhitungan kebutuhan daging sapi dengan ketersedian nasional untuk menghindari darurat daging sapi setiap menjelang bulan Ramadan.

oleh Posman Sibuea
disadur dari Kontan, Minggu, 12 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar