Editors Picks
Rabu, 18 Mei 2016
Sharing Economy?
Beberapa pihak belakangan ini tampak bekerja cukup keras memasarkan sebuah sektor ekonomi baru yang mereka sebut sebagai sharing economy. Sepintas lalu,penggunaan kata sharing (berbagi) dalam ungkapan sharing economy itu tentu mengingatkan kita pada azas kekeluargaan atau azas gotong royong dalam diskursus ekonomi kerakyatan. Pertanyaannya, bagaimanakah duduk perkara yang sebenarnya?
Hal pertama yang perlu dipahami dalam menjawab pertanyaan itu adalah memastikan keberadaan sharing economy sebagai suatu kesatuan konsep yang utuh. Artinya, sharing economy tidak sama dengan sharing dan tidak sama pula dengan economy. Penegasan ini perlu dikemukakan sebagai sebagai konsep yang berdiri sendiri, sharing sama tuanya dengan umat manusia. Adam dan Hawa telah berbagi kehidupan mereka di surga dan berbagi pula akibat dari perbuatan di surga itu dalam menjalani kehidupan di dunia. Pendek kata, sejauh mengenai konsep sharing, tidak ada hal yang baru dari sharing economy.
Sebaliknya, economy adalah sebuah konsep yang relatif baru. Sebagai cabang ilmu sosial, ilmu ekonomi dalam pengertian economics belum dikenal dalam era Adam Smith dan Karl Marx. Smith (1776) dan Marx (1868) masih menyebut cabang ilmu yang mereka geluti sebagai political economy. Economics baru dikenal setelah Alfred Marshall (1890) menanggalkan kata political dan memperkenalkan matematika dalam analisis ekonomi.
Dengan dasar pemahaman seperti itu, maka diskusi mengenai sharing economy akan lebih bermakna bila diarahkan pada aspek ekonominya. Berbicara mengenai Smith dan Marx, berarti berbicara mengenai ideologi ekonomi. Dengan kata lain, berbicara mengenai kapitalisme, sosialisme atau mixed economy Pertanyaannya, secara ideologis, sharing economy kira-kira termasuk kategori yang mana?
Agar pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan jelas, tidak ada pilihan lain kecuali memahami cara kerja sharing economy secara praktis. Sebagaimana diketahui, kekuatan utama sharing economy terletak pada penggunaan teknologi informasi (aplikasi) dan kehadiran korporasi yang menjalankan usaha berdasarkan pendayagunaan teknologi informasi tersebut. Fungsi teknologi informasi dalam sharing economy adalah sebagai sarana penghubung antara para penjual (kapasitas menganggur) dengan para pembelinya. Penerapannya sebagai sarana penghubung penjual-pembeli tidak terbatas hanya dalam bidang transportasi dan penginapan, tapi dapat diperluas ke banyak bidang usaha lain.
Namun demikian, walaupun misalnya ia diterapkan dalam bidang transportasi, secara kategori ia tidak dapat disebut sebagai usaha transportasi. Penyediaan jasa transportasi dari penjual kapasitas transportasi (menganggur) sudah ada sebelumnya ditemukannya teknologi informasi itu. Demikian halnya bila diterapkan dalam bidang jasa penginapan. Usaha kos-kosan sudah ada jauh sebelum ada ojek.
Sesuai dengan kekuatan utama dan cara kerjanya, kategori yang tepat untuk sharing economy sesungguhnya adalah sektor jasa (penyediaan informasi). Sebab itu kesimpulannya menjadi sangat sederhana: ungkapan sharing economy tidak hanya berlebihan tetapi cenderung menyesatkan. Label yang tepat untuk usaha jasa berbasis teknologi informasi ini adalah brokerage economy. Pemberian lisensi sebagai broker terhadap Uber di Toronto, Kanada, setidaknya mengkonfirmasi hal itu.
Usaha sejenis sebenarnya telah lama berkembang dalam lingkungan pasar uang dan pasar modal. Artinya jenis usaha yang dicoba dilabeli sebagai sharing economy itu sebenarnya hanyalah inovasi dari usaha serupa yang telah ada sebelumnya. Dengan dasar pemahaman seperti itu, maka alih-alih menyebutnya sebagai sharing economy, secara ideologis saya lebih suka menyebutnya sebagai brokerage capitalism.
oleh Revrisond Baswir
disadur dari Kedaulatan Rakyat, Selasa, 17 Mei 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar