Sudah
agak lama saya tidak bertemu Budi Hikmat, sahabat lama sekaligus narasumber
untuk pemberitaan ekonomi makro dan investasi, setelah akhirnya kemarin
berkunjung dan berdiskusi dengan jajaran redaksi koran yang tengah Anda baca
ini.
Topik
yang relevan.
Kata yang tertulis tebal itu saya kemukakan, untuk menanggapi paparan ekonom
dari Universitas Indonesia, yang kini menjadi Direktur di Bahana TCW Indonesia
itu. Pasalnya, banyak orang kini membicarakan tentang ekonomi digital, ekonomi
Internet, ataupun istilah lain yang belakangan mencuat, termasuk sharing economy. Lantas,
Budi Hikmat datang dengan pandangan yang bukan cuma komprehensif, tetapi
sekaligus menatap jauh ke depan.
Ia
bicara tentang mother
atau induk dari perkembangan gila-gilaan inovasi disruptif berbasis Internet
belakangan ini, sekaligus melihat berbagai aspek dan dampak ekonominya ke depan
terhadap Indonesia apabila tidak berhasil mendorong reformasi struktural untuk
menggenjot produktivitas domestik.
Sumber
persoalan yang ia kemukakan adalah fenomena kelebihan uang, atau ekses
likuiditas, di negara pencetak uang yang eksesif, yakni Amerika Serikat.
Ia
menyebutkan, “monetary games
bank sentral G3 (Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang) tidak hanya memicu currency misalignment yang
kompleks.”
Ketidakseimbangan
hubungan antarmata uang dunia telah menciptakan istilah currency war, atau perang
mata uang antara yuan China dengan dolar Amerika.
Menurut
Budi, pemicu perang mata uang itu bukanlah keganjilan di China, tetapi akibat
permainan kebijakan ketiga perekonomian adidaya tersebut, terutama
Amerika.Tingkat bunga rendah yang berlangsung lama akibat terlalu banyak
mencetak uang dan terlalu sedikit menyalurkan kredit telah menciptakan ekses
likuiditas yang tambun. Malahan, ekses reserve
di Amerika saja mencapai US$2,5 triliun.
Kelebihan
likuiditas itu menciptakan dampak ke mana-mana. Bahkan, disertai dengan
eksploitasi teknologi informasi, kelebihan likuiditas memicu misalokasi
sumberdayadan memperburuk ketimpangan kemakmuran global. Begitu kata Budi.
Aha. Mengikuti gambaran makro tersebut
sejatinya membuat saya tambah “ngeri-ngeri
sedap”, meminjam istilah pengacara kondang yang kini dikenal
sebagai politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul.
Dari
perspektif yang agak sedikit berbeda, persoalan inovasi disruptif telah
berulangkali dibahas di kolom ini, dengan berbagai istilah pula. Revolusi
digital, liberalisasi digital, transformasi digital, atau istilah apalah yang
mau dipergunakan, bagi saya patut disikapi dengan sangat hati-hati.
Saya
ingin mengulang kembali tesis Budi Hikmat, bahwa kelebihan likuiditas global di
tengah eksploitasi teknologi informasi saat ini telah memicu misalokasi
sumberdaya dan memperburuk ketimpangan kemakmuran global.
Asumsi
tersebut tampaknya tak terelakkan merujuk kondisi saat ini. Dalam beberapa
tulisan terdahuludi kolom ini (Lihat: Paradoks
Sharing Economy, Liberalisasi Digital: Berkah atau Bencana),
sepintas telah disebutkan bahwa perubahan perilaku konsumen (dalam bertransaksi
dan mengelola informasi) telah mengakibatkan apa yang disebut pelarian modal (capital flight) dalam arti
sebenarnya.
Banyak
anak muda yang kini tergoda untuk membuat perusahaan start-up, bahkan cenderung
latah dengan harapan untuk mendapatkan benefit finansial dalam waktu singkat.
Mereka berharap mendapatkan angle investor, atau pemodal malaikat, yang katanya
bersedia merugi kendati 9 dari 10 investasi yang dibiayai tidak menghasilkan
keuntungan.
Lalu
banyak pula e-commerce
yang dikembangkan di Indonesia, dengan investasi yang cenderung jor-joran.
Bahkan beberapa perusahaan mengalokasikan belanja yang tidak kecil, umumnya di
atas US$100 juta untuk proyek e-commerce
mereka. Saya mencoba bertanya-tanya, berapa lama uang para pengusaha itu
kembali, tak banyak yang bisa menjawab dengan yakin, sebaliknya penuh keraguan.
Dan sebagian besar uang yang diinvestasikan, pada umumnya ‘hilang’ atau ‘pergi’
untuk belanja iklan maupun promosi melalui outlet over-the top atau OTT global semacam Google
dan Facebook, yang kini menguasai pasar.
Lantas
para inovator ini sibuk menciptakan company
value, untuk mendapatkan jalan keluar (exit strategy) dalam pengembalian investasi
dengan mengundang investor yang baru atau masuk pasar modal. Itu kalaupun
benar-benar survive
dan secara operasional mampu menghasilkan cashflow
positif.
Kenyataannya,
tak banyak, untuk tidak mengatakan sedikit, dari pelaku e-commerce atau perusahaan
berbasis apps di
Indonesia yang saat ini mampu menghasilkan cashflow
positif dari operasional perusahaan. Kebanyakan berdarah-darah, dan berharap
nilai perusahaan meningkat dari kenaikan volume dan nilai transaksi oleh user, member, atau penggunanya,
untuk dan supaya mendapatkan peluang untuk menarik investor baru.
Dan
sayangnya, bisnis berbasis Internet ini sudah merangsek ke hampir semua lini
atau sektor usaha. Belakangan, yang ramai karena terjadi konflik dengan bisnis
konvensional, adalah di sektor transportasi. Operasi taksi konvensional dan
ojek tradisional terpaksa harus berhadapan dengan inovasi disruptif dari
layanan taksi atau ojek berbasis apps yang menggunakan pola crowd-sourcing.
Lalu,
kini di sektor keuangan pun sudah mulai banyak bermunculan perusahaan yang
seolah menjalankan peran intermediarymirip
lembaga keuangan atau shadow
banking, yang menggunakan pola crowd-funding
maupun crowd financing
sekaligus.
Bisnis
konvensional lalu mengalami apa yang disebut painfull
period. Harus menyesuaikan diri atau mati. Maka produktivitas pun
terganggu. Yang pasti, setidaknya, aktivitas bisnis konvensional saat ini sudah
terjadi banyak koreksi, yang tercermin dalam angka-angka pertumbuhan ekonomi.
Saya
mencoba mengaitkan perkembangan tersebut dengan pandangan Budi Hikmat mengenai
ketimpangan kemakmuran global yang kian memburuk.
Di
tengah peta ekonomi global yang ditandai ekses likuiditas dan inovasi disruptif
tadi, Budi Hikmat melihat pelambatan ekonomi semakin meningkatkan risiko bagi
Indonesia untuk terjebak dalam middle-income-trap.Terlebih
kalau tidak melakukan reformasi struktural yang radikal.
Ini
adalah istilah umum yang dipakai untuk menggambarkan “jebakan kelas menengah”,
yakni kondisi dimana pertumbuhan kelas menengah yang melaju pesat di Indonesia
sejak beberapa tahun terakhir, akan sulit untuk naik kelas menjadi negara kaya
atau makmur. Ukuran yang dipakai Bank Dunia adalah pendapatan perkapita
US$12.000 per tahun.
Masalahnya,
selama 10 tahun terakhir, Budi melihat perekonomian Indonesia kurang produktif,
kurang kompetitif, kurang efisien dan kurang berkeadilan. Jika saat ini tidak
melakukan sesuatu, akan menciptakan risiko jebakan kelas menengah pada 2030
mendatang.
Bagaimana
hitungan-hitungannya? Merujuk laporan Bank Dunia, Budi mengemukakan bahwa untuk
lolos dari jebakan kelas menengah pada 2030, Indonesia membutuhkan pertumbuhan
ekonomi rata-rata 10% per tahun selama periode 2013-2030. Jika itu dapat
dilakukan, pendapatan perkapita Indonesia akan mencapai US$16.618.
Namun
apabila pertumbuhan ekonomi pada periode 2013-2030 cuma 6% per tahun, pendapatan
perkapita Indonesia hanya akan mencapai US$8.531 pada 2030 mendatang. Artinya,
jauh dari Singapura yang telah mencapai US$24.000 pada 1991 atau Jepang yang
sudah setara dengan US$20.000 pada 1970-an.
Maka,
mau nggak mau
Indonesia harus ngebut.
Solusinya, menurut Budi, adalah revolusi di sisi pasokan dengan menggenjot
produktivitas baik pertanian, manufakturing maupun industri yang memproduksi
kebutuhan barang dan jasa yang lain. Bukan memenuhinya dari impor, karena
apabila dipenuhi dengan impor akan melambungkan defisit transaksi berjalan. Di
sisi lain, hemat mengkonsumsi, dengan mendorong transformasi menuju masyarakat
berinvestasi.
Namun,
apakah solusi itu akan efektif bagi Indonesia di tengah dunia yang sedang
diterpa kondisi pabaliut
ini?
Mestinya
bisa, dengan reformasi struktural yang radikal. Akan tetapi, dengan tambahan
risiko dari dampak inovasi disruptif, di mana para pelaku bisnis di Indonesia
terlanjur lemah baik dalam modal dan teknologi, dan ketinggalan dalam model
bisnis yang terus berubah, rasanya pekerjaan rumah pemerintahan Jokowi sekarang
ini menjadi semakin berat.
Kecuali
benar-benar mampu menempuh jalur reformasi ekonomi yang radikal. Dan, jika
melihat profil berbagai kebijakan yang tampak mediocre, termasuk yang terkait dengan dampak
bisnis digital, rasanya masih butuh banyak pembuktian untuk dapat melakukan
transformasi secara radikal. Jadi, bagaimana menurut Anda?
oleh:
Arif Budisusilo
disadur
dari Bisnis, Jum’at, 27 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar