Editors Picks

Sabtu, 28 Mei 2016

Inovasi Disruptif & ‘Middle Income Trap’

Sudah agak lama saya tidak bertemu Budi Hikmat, sahabat lama sekaligus narasumber untuk pemberitaan ekonomi makro dan investasi, setelah akhirnya kemarin berkunjung dan berdiskusi dengan jajaran redaksi koran yang tengah Anda baca ini.

Topik yang relevan. Kata yang tertulis tebal itu saya kemukakan, untuk menanggapi paparan ekonom dari Universitas Indonesia, yang kini menjadi Direktur di Bahana TCW Indonesia itu. Pasalnya, banyak orang kini membicarakan tentang ekonomi digital, ekonomi Internet, ataupun istilah lain yang belakangan mencuat, termasuk sharing economy. Lantas, Budi Hikmat datang dengan pandangan yang bukan cuma komprehensif, tetapi sekaligus menatap jauh ke depan.

Ia bicara tentang mother atau induk dari perkembangan gila-gilaan inovasi disruptif berbasis Internet belakangan ini, sekaligus melihat berbagai aspek dan dampak ekonominya ke depan terhadap Indonesia apabila tidak berhasil mendorong reformasi struktural untuk menggenjot produktivitas domestik.

Sumber persoalan yang ia kemukakan adalah fenomena kelebihan uang, atau ekses likuiditas, di negara pencetak uang yang eksesif, yakni Amerika Serikat.

Ia menyebutkan, “monetary games bank sentral G3 (Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang) tidak hanya memicu currency misalignment yang kompleks.”

Ketidakseimbangan hubungan antarmata uang dunia telah menciptakan istilah currency war, atau perang mata uang antara yuan China dengan dolar Amerika.

Menurut Budi, pemicu perang mata uang itu bukanlah keganjilan di China, tetapi akibat permainan kebijakan ketiga perekonomian adidaya tersebut, terutama Amerika.Tingkat bunga rendah yang berlangsung lama akibat terlalu banyak mencetak uang dan terlalu sedikit menyalurkan kredit telah menciptakan ekses likuiditas yang tambun. Malahan, ekses reserve di Amerika saja mencapai US$2,5 triliun.

Kelebihan likuiditas itu menciptakan dampak ke mana-mana. Bahkan, disertai dengan eksploitasi teknologi informasi, kelebihan likuiditas memicu misalokasi sumberdayadan memperburuk ketimpangan kemakmuran global. Begitu kata Budi.
Aha. Mengikuti gambaran makro tersebut sejatinya membuat saya tambah “ngeri-ngeri sedap”, meminjam istilah pengacara kondang yang kini dikenal sebagai politisi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul.

Dari perspektif yang agak sedikit berbeda, persoalan inovasi disruptif telah berulangkali dibahas di kolom ini, dengan berbagai istilah pula. Revolusi digital, liberalisasi digital, transformasi digital, atau istilah apalah yang mau dipergunakan, bagi saya patut disikapi dengan sangat hati-hati.

Saya ingin mengulang kembali tesis Budi Hikmat, bahwa kelebihan likuiditas global di tengah eksploitasi teknologi informasi saat ini telah memicu misalokasi sumberdaya dan memperburuk ketimpangan kemakmuran global.

Asumsi tersebut tampaknya tak terelakkan merujuk kondisi saat ini. Dalam beberapa tulisan terdahuludi kolom ini (Lihat: Paradoks Sharing Economy, Liberalisasi Digital: Berkah atau Bencana), sepintas telah disebutkan bahwa perubahan perilaku konsumen (dalam bertransaksi dan mengelola informasi) telah mengakibatkan apa yang disebut pelarian modal (capital flight) dalam arti sebenarnya.

Banyak anak muda yang kini tergoda untuk membuat perusahaan start-up, bahkan cenderung latah dengan harapan untuk mendapatkan benefit finansial dalam waktu singkat. Mereka berharap mendapatkan angle investor, atau pemodal malaikat, yang katanya bersedia merugi kendati 9 dari 10 investasi yang dibiayai tidak menghasilkan keuntungan.

Lalu banyak pula e-commerce yang dikembangkan di Indonesia, dengan investasi yang cenderung jor-joran. Bahkan beberapa perusahaan mengalokasikan belanja yang tidak kecil, umumnya di atas US$100 juta untuk proyek e-commerce mereka. Saya mencoba bertanya-tanya, berapa lama uang para pengusaha itu kembali, tak banyak yang bisa menjawab dengan yakin, sebaliknya penuh keraguan. Dan sebagian besar uang yang diinvestasikan, pada umumnya ‘hilang’ atau ‘pergi’ untuk belanja iklan maupun promosi melalui outlet over-the top atau OTT global semacam Google dan Facebook, yang kini menguasai pasar.

Lantas para inovator ini sibuk menciptakan company value, untuk mendapatkan jalan keluar (exit strategy) dalam pengembalian investasi dengan mengundang investor yang baru atau masuk pasar modal. Itu kalaupun benar-benar survive dan secara operasional mampu menghasilkan cashflow positif. 

Kenyataannya, tak banyak, untuk tidak mengatakan sedikit, dari pelaku e-commerce atau perusahaan berbasis apps di Indonesia yang saat ini mampu menghasilkan cashflow positif dari operasional perusahaan. Kebanyakan berdarah-darah, dan berharap nilai perusahaan meningkat dari kenaikan volume dan nilai transaksi oleh user, member, atau penggunanya, untuk dan supaya mendapatkan peluang untuk menarik investor baru.

Dan sayangnya, bisnis berbasis Internet ini sudah merangsek ke hampir semua lini atau sektor usaha. Belakangan, yang ramai karena terjadi konflik dengan bisnis konvensional, adalah di sektor transportasi. Operasi taksi konvensional dan ojek tradisional terpaksa harus berhadapan dengan inovasi disruptif dari layanan taksi atau ojek berbasis apps yang menggunakan pola crowd-sourcing.

Lalu, kini di sektor keuangan pun sudah mulai banyak bermunculan perusahaan yang seolah menjalankan peran intermediarymirip lembaga keuangan atau shadow banking, yang menggunakan pola crowd-funding maupun crowd financing sekaligus.

Bisnis konvensional lalu mengalami apa yang disebut painfull period. Harus menyesuaikan diri atau mati. Maka produktivitas pun terganggu. Yang pasti, setidaknya, aktivitas bisnis konvensional saat ini sudah terjadi banyak koreksi, yang tercermin dalam angka-angka pertumbuhan ekonomi.

Saya mencoba mengaitkan perkembangan tersebut dengan pandangan Budi Hikmat mengenai ketimpangan kemakmuran global yang kian memburuk.

Di tengah peta ekonomi global yang ditandai ekses likuiditas dan inovasi disruptif tadi, Budi Hikmat melihat pelambatan ekonomi semakin meningkatkan risiko bagi Indonesia untuk terjebak dalam middle-income-trap.Terlebih kalau tidak melakukan reformasi struktural yang radikal.

Ini adalah istilah umum yang dipakai untuk menggambarkan “jebakan kelas menengah”, yakni kondisi dimana pertumbuhan kelas menengah yang melaju pesat di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir, akan sulit untuk naik kelas menjadi negara kaya atau makmur. Ukuran yang dipakai Bank Dunia adalah pendapatan perkapita US$12.000 per tahun.

Masalahnya, selama 10 tahun terakhir, Budi melihat perekonomian Indonesia kurang produktif, kurang kompetitif, kurang efisien dan kurang berkeadilan. Jika saat ini tidak melakukan sesuatu, akan menciptakan risiko jebakan kelas menengah pada 2030 mendatang.

Bagaimana hitungan-hitungannya? Merujuk laporan Bank Dunia, Budi mengemukakan bahwa untuk lolos dari jebakan kelas menengah pada 2030, Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 10% per tahun selama periode 2013-2030. Jika itu dapat dilakukan, pendapatan perkapita Indonesia akan mencapai US$16.618.
Namun apabila pertumbuhan ekonomi pada periode 2013-2030 cuma 6% per tahun, pendapatan perkapita Indonesia hanya akan mencapai US$8.531 pada 2030 mendatang. Artinya, jauh dari Singapura yang telah mencapai US$24.000 pada 1991 atau Jepang yang sudah setara dengan US$20.000 pada 1970-an.

Maka, mau nggak mau Indonesia harus ngebut. Solusinya, menurut Budi, adalah revolusi di sisi pasokan dengan menggenjot produktivitas baik pertanian, manufakturing maupun industri yang memproduksi kebutuhan barang dan jasa yang lain. Bukan memenuhinya dari impor, karena apabila dipenuhi dengan impor akan melambungkan defisit transaksi berjalan. Di sisi lain, hemat mengkonsumsi, dengan mendorong transformasi menuju masyarakat berinvestasi.

Namun, apakah solusi itu akan efektif bagi Indonesia di tengah dunia yang sedang diterpa kondisi pabaliut ini?

Mestinya bisa, dengan reformasi struktural yang radikal. Akan tetapi, dengan tambahan risiko dari dampak inovasi disruptif, di mana para pelaku bisnis di Indonesia terlanjur lemah baik dalam modal dan teknologi, dan ketinggalan dalam model bisnis yang terus berubah, rasanya pekerjaan rumah pemerintahan Jokowi sekarang ini menjadi semakin berat.

Kecuali benar-benar mampu menempuh jalur reformasi ekonomi yang radikal. Dan, jika melihat profil berbagai kebijakan yang tampak mediocre, termasuk yang terkait dengan dampak bisnis digital, rasanya masih butuh banyak pembuktian untuk dapat melakukan transformasi secara radikal. Jadi, bagaimana menurut Anda? 

oleh: Arif Budisusilo
disadur dari Bisnis, Jum’at, 27 Mei 2016




Tidak ada komentar:

Posting Komentar