Editors Picks

Sabtu, 28 Mei 2016

Paradoks Sharing Economy




Bolehlah media sosial kini sibuk membahas dokumen Panama Papers, yang mengungkit sejumlah nama pengusaha, politisi dan pemain global pemilik rekening bebas pajak di sejumlah tax haven countries.

Namun, kali ini saya justru tergelitik dengan “globalisasi digital” yang menyeruak di tengah-tengah kita, menyusul perang tanding antara bisnis berbasis aplikasi digital (apps), yang juga disebut sebagai bagian aktivitas sharing economy, melawan bisnis konvensional.

‘Bentrok’ sopir ojek berbasis aplikasi dengan tukang ojek yang mangkal di pinggir jalan beberapa waktu silam, membuka ‘perang tanding’ antara bisnis yang berbasis aplikasi dengan bisnis konvensional itu.

Konflik tersebut berlanjut ketika beberapa hari lalu terjadi demo besar sopir taksi konvensional, yang berujung dengan insiden bentrok melawan layanan taksi berbasis apps, yang melanjutkan rivalitas dalam memperebutkan rejeki di jalanan tersebut.
Banyak analisis, tentu saja, dari berbagai sudut pandang. Dua kubu ini kemudian dipertentangkan.

Yang baru datang dianggap inovatif dan efisien, sehingga dinilai mampu menjual layanan kepada konsumen lebih murah, lebih mudah dan dipersepsikan lebih nyaman. Sebaliknya yang konvensional dianggap tidak inovatif dan tidak efisien sehingga layanannya dijual mahal, meski terkadang tidak menghasilkan kenyamanan bagi konsumennya. Mereka ini dianggap terjebak dalam kemapanan, kopeg alias tidak mau berubah.

McKinsey Global Institute baru-baru ini, melalui laporan riset berjudul Digital globalization: The new era of global flows yang dirilis February 2016, membuat laporan mengejutkan.

Meskipun perdagangan barang global tak bergerak naik dan arus modal lintas-batas anjlok sejak 2008, globalisasi justru sedang memasuki fase baru melalui lonjakan arus data dan informasi secara global.

Bahkan 15 tahun silam aliran digital praktis tidak diperhitungkan. Tetapi kini arus data dan informasi digital telah menyumbang dampak lebih besar pada pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan perdagangan barang. Padahal praktik perdagangan barang telah berusia berabad-abad lamanya.

Ini juga tercermin dari penggunaan bandwidth lintas batas yang meningkat 45 kali lebih besar sejak tahun 2005. Bahkan akan meningkat sembilan kali lebih besar lagi dalam lima tahun ke depan, mengingat arus informasi, pencarian, komunikasi, video, transaksi antarperusahaan terus melonjak. Hampir setiap jenis transaksi lintas batas saat ini memiliki komponen digital.

Jika di masa lalu perdagangan didominasi negara maju dan perusahaan multinasional, hari ini globalisasi digital telah membuka pintu bagi negara-negara berkembang, perusahaan kecil dan start-up, serta miliaran individu. Banyak perusahaan kecil dan menengah telah berubah menjadi eksportir global di pasar e-commerce seperti Alibaba, Amazon, eBay, Flipkart, dan Rakuten.

Hari ini pula, sekitar 1 dari 9 aktivitas perdagangan barang global dilakukan melalui e-commerce internasional. Bahkan perusahaan terkecil pun dapat bersaing dengan perusahaan multinasional terbesar, setidaknya secara layanan dan dalam berebut pasar.

Kebetulan, dalam waktu berdekatan saya memperoleh sebuah riset terkini tentang pasar digital di Indonesia, yang dilakukan GfK Indonesia dan Baidu.

Laporan riset ini seolah mengkonfirmasi temuan McKinsey, bahwa gelombang arus data dan informasi global telah menghasilkan lebih banyak nilai ekonomis yang tak terkirakan sebelumnya.

Coba deh pelototi, selama 4 tahun terakhir, pertumbuhan industri e-commerce melonjak 500% alias lima kali lipat. Lalu Blibli.com tumbuh hingga 700% atau tujuh kali lipat, diikuti Lazada.com yang naik 600% (enam kali lipat). Penjualan Samsung.com pun dicatat tumbuh lima kali lipat (500%) dalam 5 tahun terakhir. Artinya, pertumbuhan mereka rata-rata berlipat dua setiap tahun berganti.

Saat ini, penjualan online diperhitungkan mencapai US$10 miliar atau sekitar Rp130 triliun setahun. Pada tahun 2020, atau 4 tahun lagi, penjualan digital diperkirakan melompat lagi menjadi US$130 miliar. Coba deh hitung, angka itu setara dengan Rp1.690 triliun!

Kalau ditelisik lebih dalam, dari riset itu menunjukkan valuasi Gojek, setelah 4 tahun diperkirakan mencapai Rp5,6 triliun. Lalu Uber Taxi yang baru berusia 5 tahun, mampu merangsek ke 50 negara dengan valuasi US$51 miliar, atau setara dengan Rp661 triliun lebih.

Singkat kata, bisnis berbasis inovasi telah mengobrak-abrik tatanan bisnis konvensional. Operasinya pun lintas batas, dalam waktu pintas.

Bisnis transportasi, yang terkena dampak inovasi disruptif, merujuk demo sopir taksi yang menyeret nama besar Blue Bird, adalah korban berikutnya setelah bisnis media.

Di media, sebagai contoh, sebelum berkembang Internet seperti sekarang, membaca berita harus membeli atau berlangganan koran ataupun majalah. Tetapi kini, penerbit koran –dan bukan penerbit koran—beramai-ramai pula membuat website yang dapat dibaca secara gratis. Yang penting punya sambungan Internet. Maka, sirkulasi media cetak mulai bertumbangan, terutama yang dijual secara eceran di pinggir jalan.
Di bisnis yang lain pun serupa. Bisnis agen penjualan tiket pesawat atau kereta, misalnya, kini juga tergerus setelah muncul Traveloka, Ticket.com dan sejumlah penyedia layanan penjualan tiket secara online.

Masih banyak contoh yang lain, untuk tidak disebut semuanya satu demi satu. Bisnis supermarket dan hypermarket pun kini terpaksa harus merogoh kocek dalam-dalam untuk investasi di e-commerce agar tak ketinggalan.

Bahkan, seorang eksekutif berseloroh, mungkin lima atau 10 tahun yang akan datang, mal-mal yang berjualan fashion akan sepi pengunjung, kecuali pengunjung yang hendak nonton bioskop atau hang-out cari makan.

Namun, untuk dua hal itu pun, kini mulai muncul layanan berbasis apps untuk pemesanan makanan, serta layanan digital yang lebih dari sekadar nonton di bioskop. Sebut saja dengan kehadiran Netflix yang bisa diakses dengan gadget dari manapun dengan kualitas digital dan teknologi gambar terkini.

Lalu ramailah semua bicara, bahwa pebisnis butuh terus menerus berinovasi, beradaptasi dan menyesuaikan diri.
 
Tapi buat saya, adaptasi dan berubah saja tidaklah cukup. Cobalah tengok lebih dalam, siapa saja pemain bisnis apps yang benar-benar mampu mencetak uang atau profit saat ini? Kalaupun ada, adalah pemain global dengan penguasaan teknologi, dominasi pasar, dan modal yang superbesar.

Maka tren merger-akuisisi global menjadi begitu umum, yang menyebabkan pemusatan kapital pada pemain global. Tengoklah transaksi merger dan akuisisi global para raksasa media sosial beberapa tahun terakhir. Salah satu yang spektakuler adalah pembelian Whatsapps oleh Facebook, dengan transaksi melampaui Rp200 triliun kala itu.

Terakhir adalah transaksi akuisisi Lazada oleh Alibaba, raksasa e-commerce dari China, senilai US$1 miliar atau sekitar Rp13 triliun. Padahal, secara operasional, Lazada belumlah menjadi perusahaan menguntungkan. 

Nama besar seperti Google, Facebook, Amazon, Lazada dan belakangan Uber, menjadi pemain yang dominan.

Saya khawatir, kecenderungan dominasi bisnis berbasis teknologi yang mengubah perilaku bertransaksi, berbelanja, dan perilaku konsumen dalam banyak aspek kehidupan ini justru menjadi paradoks dari apa yang disebut sharing-economy.
Jika para pembuat kebijakan abai dan tidak aware terhadap seberapa cepat dan seberapa dalam potensi disruptif yang muncul, pada akhirnya para pemain lokal hanya akan menjadi penerima manfaat sharing yang terbatas bahkan minimal.

Bisnis media online adalah salah satu sektor industri yang telah mengalami hal ini, karena potensi iklan tersedot dan dolar pergi ke para pemain global. Di industri periklanan digital, barangkali hari-hari ini adalah contoh nyata terjadinya capital flight yang sesungguhnya. 

Seorang pengusaha besar bercerita kepada saya, untuk sekadar contoh, membelanjakan uang untuk beriklan di Google hingga US$25 juta atau setara dengan Rp300 miliar untuk mempromosikan e-commerce yang dibangunnya, hanya dalam beberapa bulan.

Beriklan ke adnetwork global sudah menjadi candu, karena iming-iming dapat di-share ke semua media jejaring dan dapat dihitung efektifitasnya dengan lebih akuntabel. Padahal, kalau ditanya lebih lanjut return on investment dari bisnis digital-nya kapan? Pasti Anda nggak akan mendapatkan jawaban memuaskan.

Rata-rata, jawabannya mungkin bisa 10 tahun, atau mungkin mencari investor strategis setelah company value-nya melonjak dengan kenaikan gross revenue transaction. Atau, pilihan lain masuk ke pasar modal dengan jualan prospek, meski belum tentu laku.

Karena itu, saya membayangkan, di industri yang lain, jika tidak segera dipayungi dengan regulasi yang memberikan batas-batas permainan yang berimbang, suatu saat nanti juga akan terjadi capital flight yang jauh lebih besar, manakala pasar domestik benar-benar sudah addicted dan amat bergantung dengan layanan para penyedia apps global.

Nah, bagaimana menurut Anda?

oleh: Arif Budisusilo
disadur dari Bisnis, Jum’at, 8 April 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar