Bolehlah
media sosial kini sibuk membahas dokumen Panama Papers, yang mengungkit
sejumlah nama pengusaha, politisi dan pemain global pemilik rekening bebas
pajak di sejumlah tax haven
countries.
Namun,
kali ini saya justru tergelitik dengan “globalisasi digital” yang menyeruak di
tengah-tengah kita, menyusul perang tanding antara bisnis berbasis aplikasi
digital (apps), yang juga disebut
sebagai bagian aktivitas sharing
economy, melawan bisnis konvensional.
‘Bentrok’
sopir ojek berbasis aplikasi dengan tukang ojek yang mangkal di pinggir jalan
beberapa waktu silam, membuka ‘perang tanding’ antara bisnis yang berbasis
aplikasi dengan bisnis konvensional itu.
Konflik
tersebut berlanjut ketika beberapa hari lalu terjadi demo besar sopir taksi
konvensional, yang berujung dengan insiden bentrok melawan layanan taksi
berbasis apps, yang melanjutkan
rivalitas dalam memperebutkan rejeki di jalanan tersebut.
Banyak
analisis, tentu saja, dari berbagai sudut pandang. Dua kubu ini kemudian
dipertentangkan.
Yang
baru datang dianggap inovatif dan efisien, sehingga dinilai mampu menjual
layanan kepada konsumen lebih murah, lebih mudah dan dipersepsikan lebih
nyaman. Sebaliknya yang konvensional dianggap tidak inovatif dan tidak efisien
sehingga layanannya dijual mahal, meski terkadang tidak menghasilkan kenyamanan
bagi konsumennya. Mereka ini dianggap terjebak dalam kemapanan, kopeg alias
tidak mau berubah.
McKinsey
Global Institute baru-baru ini, melalui laporan riset berjudul Digital globalization: The new era of
global flows yang dirilis February 2016, membuat laporan
mengejutkan.
Meskipun
perdagangan barang global tak bergerak naik dan arus modal lintas-batas anjlok
sejak 2008, globalisasi justru sedang memasuki fase baru melalui lonjakan arus
data dan informasi secara global.
Bahkan
15 tahun silam aliran digital praktis tidak diperhitungkan. Tetapi kini arus
data dan informasi digital telah menyumbang dampak lebih besar pada pertumbuhan
ekonomi dibandingkan dengan perdagangan barang. Padahal praktik perdagangan
barang telah berusia berabad-abad lamanya.
Ini
juga tercermin dari penggunaan bandwidth
lintas batas yang meningkat 45 kali lebih besar sejak tahun 2005. Bahkan akan
meningkat sembilan kali lebih besar lagi dalam lima tahun ke depan, mengingat
arus informasi, pencarian, komunikasi, video, transaksi antarperusahaan terus
melonjak. Hampir setiap jenis transaksi lintas batas saat ini memiliki komponen
digital.
Jika
di masa lalu perdagangan didominasi negara maju dan perusahaan multinasional,
hari ini globalisasi digital telah membuka pintu bagi negara-negara berkembang,
perusahaan kecil dan start-up, serta
miliaran individu. Banyak perusahaan kecil dan menengah telah berubah menjadi
eksportir global di pasar e-commerce
seperti Alibaba, Amazon, eBay, Flipkart, dan Rakuten.
Hari
ini pula, sekitar 1 dari 9 aktivitas perdagangan barang global dilakukan
melalui e-commerce internasional.
Bahkan perusahaan terkecil pun dapat bersaing dengan perusahaan multinasional
terbesar, setidaknya secara layanan dan dalam berebut pasar.
Kebetulan,
dalam waktu berdekatan saya memperoleh sebuah riset terkini tentang pasar
digital di Indonesia, yang dilakukan GfK Indonesia dan Baidu.
Laporan
riset ini seolah mengkonfirmasi temuan McKinsey, bahwa gelombang arus data dan
informasi global telah menghasilkan lebih banyak nilai ekonomis yang tak
terkirakan sebelumnya.
Coba
deh pelototi,
selama 4 tahun terakhir, pertumbuhan industri e-commerce melonjak 500% alias lima kali lipat. Lalu Blibli.com
tumbuh hingga 700% atau tujuh kali lipat, diikuti Lazada.com yang naik 600%
(enam kali lipat). Penjualan Samsung.com pun dicatat tumbuh lima kali lipat
(500%) dalam 5 tahun terakhir. Artinya, pertumbuhan mereka rata-rata berlipat
dua setiap tahun berganti.
Saat
ini, penjualan online diperhitungkan mencapai US$10 miliar atau sekitar Rp130
triliun setahun. Pada tahun 2020, atau 4 tahun lagi, penjualan digital
diperkirakan melompat lagi menjadi US$130 miliar. Coba deh hitung, angka itu
setara dengan Rp1.690 triliun!
Kalau
ditelisik lebih dalam, dari riset itu menunjukkan valuasi Gojek, setelah 4
tahun diperkirakan mencapai Rp5,6 triliun. Lalu Uber Taxi yang baru berusia 5
tahun, mampu merangsek ke 50 negara dengan valuasi US$51 miliar, atau setara
dengan Rp661 triliun lebih.
Singkat
kata, bisnis berbasis inovasi telah mengobrak-abrik tatanan bisnis
konvensional. Operasinya pun lintas batas, dalam waktu pintas.
Bisnis
transportasi, yang terkena dampak inovasi disruptif, merujuk demo sopir taksi
yang menyeret nama besar Blue Bird, adalah korban berikutnya setelah bisnis
media.
Di
media, sebagai contoh, sebelum berkembang Internet seperti sekarang, membaca
berita harus membeli atau berlangganan koran ataupun majalah. Tetapi kini,
penerbit koran –dan bukan penerbit koran—beramai-ramai pula membuat website
yang dapat dibaca secara gratis. Yang penting punya sambungan Internet. Maka,
sirkulasi media cetak mulai bertumbangan, terutama yang dijual secara eceran di
pinggir jalan.
Di
bisnis yang lain pun serupa. Bisnis agen penjualan tiket pesawat atau kereta,
misalnya, kini juga tergerus setelah muncul Traveloka, Ticket.com dan sejumlah
penyedia layanan penjualan tiket secara online.
Masih
banyak contoh yang lain, untuk tidak disebut semuanya satu demi satu. Bisnis
supermarket dan hypermarket pun kini terpaksa harus merogoh kocek dalam-dalam
untuk investasi di e-commerce
agar tak ketinggalan.
Bahkan,
seorang eksekutif berseloroh, mungkin lima atau 10 tahun yang akan datang,
mal-mal yang berjualan fashion akan sepi pengunjung, kecuali pengunjung yang hendak
nonton bioskop atau hang-out cari
makan.
Namun,
untuk dua hal itu pun, kini mulai muncul layanan berbasis apps untuk pemesanan
makanan, serta layanan digital yang lebih dari sekadar nonton di bioskop. Sebut
saja dengan kehadiran Netflix yang bisa diakses dengan gadget dari manapun
dengan kualitas digital dan teknologi gambar terkini.
Lalu
ramailah semua bicara, bahwa pebisnis butuh terus menerus berinovasi,
beradaptasi dan menyesuaikan diri.
Tapi
buat saya, adaptasi dan berubah saja tidaklah cukup. Cobalah tengok lebih
dalam, siapa saja pemain bisnis apps yang benar-benar mampu mencetak uang atau
profit saat ini? Kalaupun ada, adalah pemain global dengan penguasaan
teknologi, dominasi pasar, dan modal yang superbesar.
Maka
tren merger-akuisisi global menjadi begitu umum, yang menyebabkan pemusatan
kapital pada pemain global. Tengoklah transaksi merger dan akuisisi global para
raksasa media sosial beberapa tahun terakhir. Salah satu yang spektakuler
adalah pembelian Whatsapps oleh Facebook, dengan transaksi melampaui Rp200
triliun kala itu.
Terakhir
adalah transaksi akuisisi Lazada oleh Alibaba, raksasa e-commerce dari China,
senilai US$1 miliar atau sekitar Rp13 triliun. Padahal, secara operasional,
Lazada belumlah menjadi perusahaan menguntungkan.
Nama
besar seperti Google, Facebook, Amazon, Lazada dan belakangan Uber, menjadi
pemain yang dominan.
Saya
khawatir, kecenderungan dominasi bisnis berbasis teknologi yang mengubah
perilaku bertransaksi, berbelanja, dan perilaku konsumen dalam banyak aspek
kehidupan ini justru menjadi paradoks dari apa yang disebut sharing-economy.
Jika
para pembuat kebijakan abai dan tidak aware terhadap seberapa cepat dan
seberapa dalam potensi disruptif yang muncul, pada akhirnya para pemain lokal
hanya akan menjadi penerima manfaat sharing
yang terbatas bahkan minimal.
Bisnis
media online adalah salah satu sektor industri yang telah mengalami hal ini,
karena potensi iklan tersedot dan dolar pergi ke para pemain global. Di
industri periklanan digital, barangkali hari-hari ini adalah contoh nyata
terjadinya capital flight
yang sesungguhnya.
Seorang
pengusaha besar bercerita kepada saya, untuk sekadar contoh, membelanjakan uang
untuk beriklan di Google hingga US$25 juta atau setara dengan Rp300 miliar
untuk mempromosikan e-commerce
yang dibangunnya, hanya dalam beberapa bulan.
Beriklan
ke adnetwork
global sudah menjadi candu, karena iming-iming dapat di-share ke semua media
jejaring dan dapat dihitung efektifitasnya dengan lebih akuntabel. Padahal,
kalau ditanya lebih lanjut return
on investment dari bisnis digital-nya
kapan? Pasti Anda nggak akan mendapatkan jawaban memuaskan.
Rata-rata,
jawabannya mungkin bisa 10 tahun, atau mungkin mencari investor strategis
setelah company value-nya
melonjak dengan kenaikan gross
revenue transaction. Atau, pilihan lain masuk ke pasar modal dengan
jualan prospek, meski belum tentu laku.
Karena
itu, saya membayangkan, di industri yang lain, jika tidak segera dipayungi
dengan regulasi yang memberikan batas-batas permainan yang berimbang, suatu
saat nanti juga akan terjadi capital flight yang jauh lebih besar, manakala
pasar domestik benar-benar sudah addicted dan amat bergantung dengan layanan
para penyedia apps global.
Nah,
bagaimana menurut Anda?
oleh:
Arif Budisusilo
disadur
dari Bisnis, Jum’at, 8 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar