Editors Picks

Sabtu, 28 Mei 2016

PR Kabinet Jokowi: Berdamai dengan Inovasi Disruptif




Belakangan ini, istilah digital economy menjadi nge-trend. Aplikasi ekonomi digital dalam kehidupan sehari-hari kian nyata, dengan munculnya berbagai macam start-up, perusahaan e-commerce, dan bisnis berbasis digital yang inovatif.

Lalu, kemudian muncul istilah inovasi disruptif. Dari Wikipedia, saya dapatkan pengertian disruptive innovation adalah inovasi yang membantu menciptakan pasar baru, namun kemudian mengganggu pasar yang sudah ada.

Istilah disruptive innovation pertama kali dipopulerkan oleh Clayton M. Christensen dan Joseph Bower, profesor administrasi bisnis pada Harvard Business School, melalui artikel Disruptive Technologies: Catching the Wave, tahun 1995. Lalu pada 1997, Christensen mengeluarkan buku pertama berjudul The Innovator’s Dilemma. Buku itu menjabarkan teori Christensen tentang inovasi disruptif.

Pengertian inovasi sendiri adalah proses pengembangan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman untuk menciptakan atau memperbaiki produk, proses, dan atau sistem baru, yang memberikan nilai signifikan terutama di bidang ekonomi dan sosial.

Wikipedia adalah contoh baik dari inovasi disruptif. Ia berhasil menggusur pasar ensiklopedia tradisional yang dicetak dalam bentuk buku. Konsumen kini dapat memperoleh kamus yang mulanya berharga jutaan dengan cara lebih mudah, aksesibel, dan virtually gratis berkat adanya Wikipedia.

Ketika menulis ini pun, saya memakai rujukan Wikipedia, bukan ensiklopedia cetak yang sudah jarang ditemui di toko-toko buku.

Tahun 1908 adalah tahun bersejarah bagi industri otomotif dunia. Tahun itu lahirlah “Ford model T”, mobil yang dirakit di pabrik dan menggantikan mobil buatan tangan. Berkat inovasi teknologi, harga mobil Ford saat itu menjadi sangat murah. Karya Henry Ford ini kemudian mengganggu pasar kendaraan angkut yang ditarik kuda.

Ford Model T dapat dijual murah karena produksinya lebih efisien dengan penggunaan lini perakitan dan bukan buatan tangan. Produksi pertama Model T dilakukan pada 12 Agustus 1908 dan meninggalkan pabrik pada 27 September 1908, dari Pabrik Piquet te di Detroit, Michigan.

Sebelum Model T, biaya produksi mobil begitu mahal karena dibuat dengan tangan. Lalu Henry Ford terinspirasi membuat lini perakitan saat melihat daging yang sedang dikemas dipindahkan dengan ban berjalan dari satu buruh kepada buruh lainnya agar daging itu bisa dipotong-potong.

Ford, dengan metode ATM alias amati, tiru, modifikasi, kemudian mengadopsi sistem ban berjalan untuk pembuatan mobil, sehingga produksi lebih efisien. Pekerja mulai di ujung ban berjalan, memulai dengan chasis yang kosong, lalu dirakitkan onderdil bagian per bagian di atas ban berjalan oleh pekerja pabrik.

Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan mobil mulanya lebih dari 12 jam saat Model T pertama dibuat. Sejak menggunakan ban berjalan, Ford pernah mampu memproduksi 1 mobil dalam 27 detik. Ini adalah inovasi disruptif yang membunuh kereta kuda dan mobil sebelumnya yang mahal tetapi lelet.

Model T pertama tak pernah mempunyai starter seperti mobil masa kini, apalagi tombol “engine start” pada mobil modern. Mesin Model T dinyalakan dengan engkol tangan melalui sebuah lubang yang ada di bagian bumper depan mobil.

Saya masih ingat waktu kecil, suka melihat truk dinyalakan mesinnya dengan engkol besi panjang. Cara ini bisa berbahaya jika Anda tidak hati-hati.
Jika tuas yang mengendalikan mesin tak dipasang dengan cara yang benar, tangan Anda bisa patah terpukul engkol. Para dokter malah punya nama khusus untuk jenis kepatahan ini: “Patah Ford.”

Sekali lagi, informasi ini saya baca dari Wikipedia.

Kamis (17/3) pagi kemarin saya datang ke sebuah forum diskusi tentang investasi yang diselenggarakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah atau KPPOD.

Forum bisnis yang melaporkan hasil survei atas 6 kota tentang pelaksanaan kemudahan berbisnis itu dihadiri pula oleh Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik.

Pak Dubes dalam kata sambutannya mengingatkan pemerintahan Presiden Jokowi untuk terus konsisten dalam memperbaiki iklim investasi. Ia menyebutkan posisi Indonesia yang saat ini berada dalam 16 besar perekonomian dunia, dan karenanya masuk kelompok G-20, akan mampu masuk 10 besar dunia pada 2030, merujuk laporan berbagai lembaga.

Pertanyaannya apakah Indonesia bisa menuju ke kelompok 7 besar atau bahkan 6 besar, akan sangat tergantung kebijakan Pak Jokowi. Sebab semua pelaku bisnis, kata Pak Dubes yang kebetulan muslim itu, percaya potensi Indonesia sangat besar, tetapi ada hambatan yang harus diatasi.

Hambatan pertama adalah regulasi. Sambil memuji 10 paket ekonomi yang telah dikeluarkan pemerintahan Jokowi, Pak Dubes mengatakan regulasi yang baik akan mengakselerasi bisnis. Regulasi yang bagus adalah simpel, konsisten, dan transparan.

Kedua, klasik memang, adalah infrastruktur. Biaya tinggi logistik bisa dikurangi dengan infrastruktur yang lebih baik. Pak Dubes sudah beberapa kali ngobrol dengan pejabat pemerintahan, dan memperoleh pesan yang kuat bahwa Pak Jokowi fokus pada perbaikan regulasi dan infrastruktur.

Lantas apa saja syarat untuk memperbaiki regulasi?

Pak Dubes nggak ngasih banyak resep. Tapi ia cerita, telah mendengar dari Seskab Pramono Anung, Indonesia akan memperbaiki peringkat doing business dari 109 menjadi 40, yang dinilainya ambisius tetapi bagus.

Namun butuh kerja keras. Butuh koordinasi dan kesatupaduan untuk menyederhanakan regulasi, sekaligus perlu proses konsultasi dengan stakeholders. Konsultasi akan meng-improve kebijakan publik, katanya.

Ia yakin, masa depan Asia tidak tergantung India dan China, tetapi tergantung Indonesia. Karena itu ia ingin melihat Indonesia sukses dan tidak hanya di posisi 10 pada 2030, tetapi setidaknya di posisi 7. Artinya, Indonesia semestinya bisa masuk G-7.

Ahh, mengapa dari inovasi disruptif tiba-tiba lari ke cerita Pak Dubes? Ya, buat saya erat sekali kaitannya. Anda tentu tahu, belakangan polemik tentang layanan ojek dan taksi berbasis aplikasi online terus mencuat ke permukaan.

Belum ada titik temu yang jelas, bagaimana pemerintah membuat atau menyesuaikan regulasi agar inovasi disruptif ini tidak dimatikan tetapi justru diperkuat. Tetapi juga sembari memberi kesempatan pelaku bisnis konvensional tidak tergusur. Inilah tantangannya.

Namun, saya kok yakin, meski tidak punya data yang melegitimasi, ekonomi Indonesia tahun lalu masih tumbuh mendekati 5%, sebagian antara lain berkat kegiatan bisnis berbasis inovasi disruptif, maupun aktivitas bisnis berbasis digital seperti e-commerce dan kawan-kawannya.

Merujuk Amerika dan Korea Selatan, kita tahu perputaran ekonomi negara-negara itu nyaris tak pernah berhenti. Ekspor produk inovasi semakin menjadi-jadi. Amerika adalah biangnya, yang memproduksi segala jenis produk inovasi mulai dari brand Apple, Microsoft, Amazon, Facebook hingga Google.

Indonesia, mau tak mau mesti memperkuat ekonomi inovasi. Perbaikan regulasi, seperti pesan Pak Dubes, ada baiknya pula diarahkan untuk menopang agar perselisihan bisnis antara inovasi disruptif dengan bisnis konvensional secepatnya dijembatani. Masa depan kita ada di digital economy, yang basisnya adalah inovasi.

Kerangka kebijakan untuk memperbaiki regulasi mesti “bold and firm”, tebal dan tegas, kata Pak Dubes. Supaya Indonesia tidak tertinggal dari Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam bahkan Filipina. Dan tidak lagi business as usual. Lebih responsif, bukan reaktif setelah muncul dampak dari aktivitas bisnis disruptif.

Jadi, bagaimana menurut Anda?

oleh: Arif Budisusilo
disadur dari Bisnis, Jum’at, 18 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar