Dari aspek akademis, konsep tata
kelola pemerintahan yang baik (good governance) belum selesai dari perdebatan.
Kritik utamanya terletak pada
kepentingan ekonomi yang melekat pada agenda tersebut karena sering kali, dalam
praktiknya, tata kelola pemerintahan yang baik harus disandingkan dengan agenda
restrukturisasi ekonomi. Sebutlah seperti privatisasi ataupun pengurangan
wewenang negara pada sektor ekonomi, di mana strategi semacam ini dianggap
mewakili ideologi ekonomi tertentu yang tengah berkuasa. Pendek kata, tata
kelola yang baik dituduh tidak lahir sebagai sebuah konsep ideal yang dipahami sebagai
cara untuk menjelaskan fenomena tertentu.
Meskipun demikian, tata kelola yang
baik sudah telanjur menjadi mantra pembangunan. Negara yang menerapkan prinsip
tata kelola pemerintahan yang baik, seperti transparansi, akuntabilitas, dan
partisipasi, diasumsikan akan lebih kompetitif secara ekonomi karena penghalang
pertumbuhan, yakni korupsi, bisa dihilangkan.
Penerapan tata kelola yang baik juga
dipandang mampu meningkatkan efisiensi pelayanan publik dan mendorong
peningkatan kualitas capaian program pembangunan. Tata keola yang baik kemudian
jadi prasyarat untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan
partisipatif dalam pengelolaan sumber dayanya.
Dalam konteks pemilu, sebagian
pemilih juga telah menjadikan kriteria anti korupsi seorang calon pemimpin
sebagai instrumen penilai saat menentukan pilihan mereka. Demikian halnya
dengan politisi merespons tuntutan itu dengan menawarkan dan menjual berbagai
macam janji anti korupsi pada pemilihnya meski cenderung manipulatif. Hal ini
terutama jadi fenomena kekinian di kota-kota besar dan membuat kompetisi
politik menjadi lebih ketat, terutama dibandingkan dengan daerah yang basis
primordialismenya masih sangat kuat.
Presiden Joko Widodo, Gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini,
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo, dan Bupati
Bojonegoro Suyoto—untuk menyebut sebagian contoh—sering dianggap mewakili
pemimpin yang lahir dari tuntutan anti korupsi.
Mereka juga dianggap telah
mempraktikkan prinsip tata kelola yang baik dalam gradasi kualitas yang
berbeda-beda. Mereka kini telah menjelma menjadi "media darling"
karena dahaga publik atas pemimpin yang bersih seakan terobati dengan kehadiran
dan sepak terjang mereka sebagai pemimpin politik. Terlebih-lebih di saat wakil
rakyat yang sejatinya menjadi alat kontrol eksekutif tidak kunjung membaik
tabiatnya, hingga selalu menempatkan mereka dalam posisi buncit dalam persepsi
kepercayaan publik.
Setelah
anti korupsi, apa?
Jika diasumsikan tata kelola dan
sikap anti korupsi adalah kebutuhan yang mendasar dalam mengelola pemerintahan,
hal selanjutnya yang harus dilacak adalah pengaruh model kepemimpinan itu
terhadap peningkatan kesejahteraan publik, khususnya pada kelompok masyarakat yang
tidak memiliki akses sama sekali kepada pelayanan publik. Di sini masalah kerap
timbul. Acap kali, pemimpin yang dipersepsikan bersih dari korupsi tak
serta-merta dapat menyelesaikan jurang pemisah yang lebar antara kelompok kaya
dan miskin.
Karena korupsi pada prinsipnya
adalah konsentrasi dan akumulasi sumber daya ekonomi dan kekayaan material pada
segelintir orang atau kelompok yang dilakukan dengan cara kolutif, maka anti
korupsi adalah prinsip untuk memangkasnya. Semestinya pemimpin yang memiliki prinsip
anti korupsi harus dapat melahirkan situasi yang kondusif bagi pemerataan
sumber daya publik. Pada saat yang sama, ia mampu menyediakan akses pelayanan
publik yang berkualitas pada kelompok rentan.
Dalam situasi tak berimbang, di mana
relasi antar-kelas sosial sangat timpang, kebijakan publik tak bisa diterapkan
dengan prinsip sama rata, di mana setiap orang dianggap dan diperlakukan sama.
Oleh karena itu, kebijakan publik bisa disingkirkan dari arena sosial mereka
karena satu alasan tertentu, misalnya menempati tanah negara tanpa izin.
Apalagi jika kemudian ada perlakuan
berbeda (baca: tidak digusur dan tidak diusir) diberikan kepada korporasi yang
menguasai tanah milik negara, dan membangun berbagai macam fasilitas di
dalamnya tanpa melalui prosedur dan hukum yang ditentukan. Pada titik ini,
aspek keberpihakan terhadap kelompok masyarakat yang papa menjadi sangat
penting karena pada dasarnya mereka tak memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk
berlaku sama dengan korporasi yang curang.
Kebijakan
publik
Konsep tata kelola yang baik dan
anti korupsi menjadi kian tak jelas tujuannya jika dalam praktiknya kebijakan
publik yang diputuskan justru mengabaikan nilai tata kelola pemerintahan yang
baik, baik itu dalam perencanaan, proses, maupun eksekusinya. Dalam kasus
reklamasi di DKI Jakarta sebagai contoh, dengan pertimbangan Ahok dianggap
mewakili tokoh atau pemimpin bersih, keputusan yang diambil tampak dilakukan
dengan proses sembarangan dan serampangan. Juga mengabaikan berbagai macam isu
teknis prosedur dan birokrasi yang sebenarnya tidak bisa ditanggalkan sama
sekali dalam pemerintahan seliberal apa pun. Apalagi yang tengah diputuskan
adalah penyerahan pengelolaan sumber daya publik kepada aktor swasta, di mana
konsekuensi atas kebijakan itu sangat berkaitan dengan nasib kelas sosial
tertentu yang terancam mata pencariannya.
Alasan diskresional sebagai pejabat
publik tak serta-merta membuat pemimpin bisa melakukan apa pun yang mereka
kehendaki. Wewenang diskresi seharusnya digunakan dalam kondisi dan kebutuhan
yang sangat mendesak, dengan mempertimbangkan berbagai risiko dan
konsekuensinya. Pertanyaan mendasarnya, siapa kelompok yang paling diuntungkan
dari kebijakan reklamasi: masyarakat atau korporasi? Berikutnya, apakah setara
kompensasi yang dibayarkan swasta dengan dampak lingkungan dan derita warga
yang harus jadi korban dari rancangan pembangunan semacam ini, juga dengan
keuntungan jangka panjang yang dikeruk mereka?
Jika basis dari berjalannya proyek
reklamasi hanyalah kesepakatan empat mata antara swasta dan pejabat publik, di
mana di dalamnya ada tukar-menukar kepentingan, meski bisa diklaim kepentingan
yang dimaksud adalah untuk kepentingan pemerintah, hal itu bisa dianggap
sebagai persekongkolan.
Sementara instrumen partisipasi,
yakni anggaran publik, justru tak dijadikan sumber utama dalam pembiayaan
pembangunan. Jika pemerintah lebih senang "menodong" pihak swasta
untuk membiayai berbagai macam inovasi dibandingkan mengalokasikannya melalui
anggaran publik (APBD), hal itu bisa dipandang sebagai penyingkiran proses
mendemokratisasikan kebijakan publik. Publik tentu sangat berharap kepada
pemimpin yang bersih, tetapi jika kebijakan publik yang diambil justru hanya
menguntungkan korporasi besar dan sektor swasta, prinsip tata kelola yang baik
dan anti korupsi kehilangan esensinya.
oleh: Adnan Topan Husodo
disadur dari Kompas, Selasa, 24 Mei
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar