Apakah Eropa sedang pulang ke agama? Pertanyaan ini menarik, tidak hanya untuk ilmu politik internasional, tetapi terlebih untuk filsafat politis kontemporer. Rentetan aksi teror Negara Islam Irak dan Suriah dan gelombang pengungsi Suriah ke pusat-pusat peradaban Eropa tidak hanya menyibukkan para politikus dan menggelisahkan warga masyarakat.
Tragedi-tragedi kemanusiaan itu juga
ikut mengubah lanskap intelektual di negara-negara yang selama ini dikenal
sebagai negara-negara sekuler. Konstelasi intelektual baru itu bernama post-sekularisme.
Apa itu post-sekularisme? Bagaimana
kita merespons "isme" yang masih relatif baru ini?
Gugurnya
tesis sekularisasi
Meski sekarang telah menjadi istilah
umum, sekularisasi, sekularitas, dan sekularisme memiliki asal-usulnya yang
sangat spesifik dalam gereja Katolik Roma. Kata saeculum berarti zaman. Di Abad Pertengahan, sekularisasi diartikan
sebagai proses seorang rahib meninggalkan biaranya dan kembali ke masyarakat.
Kata itu pada masa Reformasi dipakai untuk proses pengalihan aset gereja Katolik
ke pihak Protestan. Menjadi sekular berarti juga menjauh dari institusi
religius.
Sejak perjanjian Westphalia yang
mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun antara Katolik dan Protestan, sekularisasi
menjadi istilah politis, yang berarti pemisahan gereja dari negara. Istilah
politis itulah yang kemudian kita kenal sampai hari ini sebagai pemisahan
antara agama dan politik. Regulasi-regulasi publik harus dijauhkan dari
simbol-simbol dan alasan-alasan religius, dan negara harus netral dari
doktrin-doktrin religius agar terwujud keadilan bagi semua pihak.
Sekularitas politis hanyalah salah
satu arti. Dalam A Secular Age, Charles Taylor menambahkan tiga arti lainnya.
Sekularitas sosiologis adalah menghilangnya iman dan praktik religius,
sedangkan sekularitas epistemis adalah hidup dalam immanent frame atau kondisi percaya kepada Allah hanyalah salah
satu opsi. Semua mengacu juga pada sekularitas spasio-temporal, yakni orientasi kita pada zaman ini, pada saeculum. Di sini jelas bahwa
sekularitas Eropa bukan sekadar struktur politis, melainkan sebuah Weltanschauung (wawasan dunia). Orang
modern melakukan hal-hal etsi Deus non
daretur (seakan Allah tidak ada). Telah terjadi apa yang disebut Weber disenchantment of the world: Dunia tidak
lagi berisi hal-hal gaib.
Hampir semua negara demokratis di
dunia saat ini menganut sekularisme politis dengan kadar yang berbeda-beda.
Prancis dengan laicite dan Turki
dengan laiklik berada di baris depan.
Sisanya adalah varian-varian. Sekularisme politis telah mengalami globalisasi.
Namun, hal itu belum mengatakan apa pun tentang kesadaran religius. Sampai
tahun 1980-an, para intelektual Barat masih meyakini suatu anggapan bahwa lewat
modernisasi dan rasionalisasi, agama akan punah dan masyarakat akan sepenuhnya
sekular.
Anggapan yang kemudian dikenal
sebagai tesis sekularisasi ini dianut sejak abad-abad silam di Eropa.
Pemikir-pemikir utama Eropa, seperti Comte, Feuerbach, Marx, dan Freud,
menganggap agama sebagai semacam ilusi kolektif yang akan ditinggalkan ketika
sains, teknologi, dan rasionalitas sekular mendominasi masyarakat. Tesis itu
tidak pernah terbukti, malah terbukti gugur.
Alih-alih punah, memasuki abad ke-21
agama mengalami kebangkitan dan menjadi faktor yang menentukan dalam politik
kontemporer. Diguncang isu terorisme dan pengungsi Suriah, Eropa tidak lagi
diam soal agama. Popularitas kekuatan ekstrem kanan yang anti migran meningkat
tajam. Persepsi kawan-lawan yang dikaitkan dengan agama mulai tumbuh. Semua
berarti satu hal: agama kembali menjadi isu publik yang perlu dikalkulasi.
Dunia ini tidak sepenuhnya sekular, melainkan sekular sekaligus religius.
Kembalinya
agama
Sejak awal abad ke-21 ini, istilah
post-sekularisme mulai masuk literatur filsafat dan forum-forum akademis di
Eropa. Sungguhpun demikian, belum ada definisi yang bisa disepakati tentangnya.
Seperti istilah yang nyaris menjadi kembarannya, post-modernisme, istilah
tersebut mengacu kompleksitas baru seusai Perang Dingin, tetapi di sini
fokusnya diberikan pada konstelasi baru hubungan antara agama dan sekularitas di
Eropa. Namun, seperti juga sekularisme, post-sekularisme lebih daripada sekadar
fenomena politis. Ada juga aspek sosiologis, teologis, dan filosofis di
dalamnya.
Seperti diulas WA Barbieri,
menguatnya kembali peran publik agama hanyalah salah satu gejala post-sekular.
Kebangkitan global agama, termasuk Islam di Amerika dan Kekristenan di Tiongkok
dan Rusia, menguatkan kembali orientasi pada hal-hal supranatural, suatu proses
sosiologis yang boleh disebut re-enchanment
of the world. Post-sekularisme juga dapat ditunjukkan lewat suburnya
literatur kontemporer yang berupaya untuk memberikan pendasaran teologis
kembali agar iman dapat diyakini kembali dalam sekularitas, sebagaimana tampak
dalam kritik-kritik para teolog Kristiani atas Pencerahan.
Di rumah filsafat, post-sekularisme
tampak dalam menguatnya minat kembali pada agama, Allah, Alkitab, seperti dapat
ditemukan pada Caputo, Levinas, dan Jean-Luc Marion. Kearny, misalnya, mencari
"faith beyond faith" atau
"God after God".
Kehangatan diskusi tentang post-sekularisme
ini juga mendorong para pemikir Eropa untuk menemukan kembali akar-akar
religius sekularitas Eropa. Carl Schmitt dengan teologi politisnya dan diskusi
hangat antara Habermas dan Kardinal Ratzinger di Muenchen tahun 2004 banyak
memicu analisis genealogis ini, misalnya, untuk menunjukkan bagaimana negara
hukum sekular dan hak-hak asasi manusia mengandung presuposisi-presuposisi
teologis Kristiani. Post-sekularisme bahkan menjadi kritik atas proses
marginalisasi yang dialami oleh agama lewat oposisi biner sekular-religius yang
disebarkan lewat berbagai literatur dan forum pasca Pencerahan. Talal Asad,
misalnya, mencurigai oposisi sekular-religius sebagai konstruksi Barat untuk
mengokohkan dominasinya. Post-sekularisme lalu disambut bagaikan pembebas baru,
tetapi kali ini oleh dan untuk agama.
Cukup ironis bahwa "agama"
di sini tidak kurang daripada hasil konstruksi sekularisme juga sehingga libido
kekuasaan—kali ini berbusana teologi—tetap operasional di dalamnya. Eropa tidak
kembali ke agama dan menjadi religius. Ia mungkin menemukan ungkapan baru bagi
gairah kekuasaannya.
Post-sekularisme
di Indonesia?
Indonesia belum post-sekular karena
belum sekular. Namun, komentar seperti itu keliru. Tidak ada sejarah universal
bertahap yang dipimpin Barat. Globalisasi sekularisme tidak menghasilkan
sekularisme global, melainkan multiple
secularisms. Di Indonesia, agama tidak harus kembali karena tidak pernah
pergi. Di negeri ini ada terlalu banyak hal yang dikaitkan dengan agama, dan
terlalu sedikit hal yang berjarak darinya. Kata "sekularisme" pun
terdengar porno di negeri saleh ini sehingga sempat didaftarhitamkan.
Sebaliknya, post-sekularisme mungkin akan disambut hangat. Namun, di sini kita
justru perlu waspada.
Post-sekularisme Eropa mengandaikan
sekularisme politis yang matang sehingga prosedur negara hukum demokratis tetap
menjadi platform dialog agama dan sekularitas. Menurut Habermas, di sini agama
pun ditransformasikan menjadi lebih "rasional". Inti post-sekularisme
sebenarnya proses belajar antara agama dan sekularitas dalam masyarakat
majemuk. Karena itu, dalam masyarakat serba-agama, seperti Indonesia, tidaklah
tepat memahami post-sekularisme sebagai penguatan kembali peran publik agama
karena agama sudah terlalu kuat di sana. Jika di Barat sekularitas ditantang
untuk belajar mendengarkan agama kembali, di Indonesia justru sebaliknya: Agama
ditantang untuk belajar dari sekularitas agar tidak menyepelekan kemanusiaan.
Proses saling belajar agama dan
sekularitas itu tidak asing bagi kita sebab telah tercantum dalam Pancasila.
Bukankah hanya sila pertama bicara tentang agama, sedangkan keempat lainnya
tentang sekularitas? Indonesia dikonsepkan sebagai negara modern yang tidak
serong ke negara agama, tetapi juga bukan negara sekular. Tanpa gaduh dengan
post-sekularisme, Indonesia sebenarnya post-sekular, sekurangnya dalam
cetak-birunya.
oleh: F Budi Hardiman
disadur dari Kompas, Selasa, 7 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar