Editors Picks

Selasa, 07 Juni 2016

Sebulan Kemustahilan



Ketika agama sudah jadi sekadar kegiatan budaya, maka hasilnya adalah festival. Peribadatan jadi perayaan, doa jadi nyanyian. Di sana ada keramaian, kemeriahan, bunyi-bunyian, tarian, sajian kuliner, pameran busana dan aksesori, serta simbol-simbol warna dan benda.

Menjauhi keriuhan festival, spiritualitas justru menarik diri, melejit bagai kucing kecil yang terperanjat dan bersembunyi di sudut sunyi karena hakikat spiritualitas adalah personal dan individual. Manusia yang larut dalam pesta biasanya tidak sempat ingat soal kucing, apalagi yang terbirit-birit ke balik dinding.

Kendatipun ada kucing besar yang berani lewat, ia akan berlalu dengan acuh tak acuh, sama sekali tak menoleh takjub menyaksikan ulah kerumunan manusia yang lupa akan kepompong jiwanya. Minimal si kucing hanya menyantap makanan yang tercecer sejangkauan cakarnya dan sekapasitas perutnya. Sesudah itu, dia kembali ke kesunyian eksistensinya selaku entitas fitri yang tidak berprasangka, berencana, atau berangan-angan.

Kucing tak membutuhkan pesta, tetabuhan, pakaian, riasan dan perhiasan, simbol dan bentuk. Hal itu membuat si kucing mudah dilupakan oleh manusia yang merayakan pesta keagamaan, semisal tradisi menyambut Ramadhan dan sepanjang bulan puasa dengan berbagai acara sosial yang bahkan dihiasi "musik dan tarian sufi" sekalipun.

Agama adalah kesukacitaan dan kemerdekaan. Kesukacitaan menggapai pemurnian lahir dan batin, dan kemerdekaan jiwa dari perbudakan oleh hawa nafsu. Maka, karakter agama adalah pengendalian diri pribadi, pengarahan motivasi ke taraf spiritual yang setinggi-tingginya.

Sebuah pengulangan
Idealisasi itu, sejujurnya, menciutkan nyali kita kaum awam. Membaca paragraf di atas, kita merasa bersirobok dengan kemustahilan menggapai puncak keberagamaan yang dihamparkan Ilahi. Padahal, pemuliaan diri adalah dambaan setiap umat tanpa kecuali. Ajaran kepercayaan dan agama dikejar oleh setiap insan yang rindu kampung halaman. Dalam syair Hazrat Inayat Khan, dunia adalah tanah pengasingan manusia dari kampung asalnya yang bernama surga.

Meski dikunyah setiap hari, idealisasi tujuan hidup dan ungkapan surga-neraka, bagi sebagian besar kita, lebih cenderung sekadar gambaran idolatryyang tidak terbayangkan sebagai alam yang bakal kita hayati secara konkret. Tak usah kita gambarkan surga. Cukup neraka sebagai api, sel terkunci, suhu yang menggosongkan, aneka siksaan tak terperi. Demikian mengerikan berbagai penggambarannya sehingga akal kita tidak berdaya untuk mengonkretkan citraan itu seutuhnya, yang sanggup menghanguskan selera kita menikmati dunia yang penuh warna ini.

Terma-terma yang dibawa agama tampak bagi awam sebagai puncak-puncak fenomena yang menantang akal sekaligus mengecutkan spirit. Apa itu dosa, pahala, surga, neraka, kesucian, dan pembersihan? Apakah para pendakwah yang setiap hari mengkhotbahkan enam terma itu memahami dan menghayati hakikatnya? Sekarang sangat mudah orang ambil profesi sebagai juru dakwah. Pernahkah mereka mengukur kemampuan menggali arti hakiki puncak-puncak wacana religi tersebut?

Apa yang kita lakukan setiap kali selesai menyimak khotbah mereka? Boleh jadi, kebanyakan dari kita kembali ke kesibukan rutin duniawi. Urusan keagamaan kita serahkan kepada para pendakwah. Apa pula yang melekat di benak kita dari isi khotbah mereka? Bukankah banyak di antara kita yang hafal nyaris seluruh materi yang disemburkan? Jadi, apa gunanya pengulangan-pengulangan itu?

Para pendakwah medioker menciptakan gerombolan pelarian yang dalam proses kebudayaan menghasilkan berbagai tradisi atributif atas nama religi. Kita tidak bisa mengharapkan badan-badan keagamaan otoritatif memberlakukan persyaratan ketat dan standardisasi atas para juru dakwah, sebab keulamaan di mata awam kerap dicampuri unsur pesona atau karisma pribadi si juru dakwah, yang tidak ada hubungannya dengan aspek keilmuan.

Yang menyedihkan, makin permisif juru dakwah dengan dalih yang longgar terhadap fondasi syariat, makin banyak penggemarnya. Kaum awam yang tak mampu memahami terma-terma puncak keberagamaan akibat kedangkalan ilmu juru dakwah akhirnya cenderung menghibur diri sendiri dengan apologi. Hadis yang menyatakan "tiada amal tanpa ilmu" tidak populer di kalangan juru dakwah masa kini, sebab ilmu agama sebagai disiplin sendiri merupakan anasir asing di kalangan mereka.

Jalan datar dan monoton
Dari tahun ke tahun, setiap Ramadhan, sebagian besar umat Islam menunaikan ibadah puasa di jalan raya yang datar dan monoton. Jarang ada yang menatap puncak-puncak gunung religius di kejauhan akibat kelangkaan pembimbing yang mumpuni untuk menuntun mereka mendaki.

Kebebasan dalam praktik keagamaan diekspresikan dalam kemasabodohan yang tak disadari. Sementara itu, iklan di TV menebar rayuan komersial. Demikianlah seruan untuk merayakan pesta dalam arti harfiah minus edukasi.

Bagi kaum esoteris Jawa klasik, puasa adalah wujud eling: ingat kepada Ilahi Sang Pengayom ingsun (hamba/ciptaan), ingat untuk menjaga lubang-lubang hawa nafsu. Apabila sekejap saja kondisi elingitu lepas kontrol, buyarlah ritual puasa.

Menyimak ujaran itu, tidakkah kesadaran kita tertegun? Betapa Ramadhan hanya akan menjadi sebulan kemustahilan menggapai kemenangan! Bukankah ini sebuah bantahan tegas terhadap mudahnya mengakui kemenangan pada tanggal 1 Syawal?
Seandainya hadir para pembimbing yang sarat dengan ilmu, bukan sekadar juru dakwah yang membalas honor tinggi dengan kalkulasi pahala yang kapitalistis bagi praktik ibadah jemaah pendengarnya, kita tak akan telantar dalam keputusasaan menatap puncak-puncak tujuan kita.

Adakah jalan keluar dari problem ini? Kata seorang guru, "Rahmat Allah itu luas, mahaluas." Agama adalah kabar gembira bagi emansipasi rohani, bukan keputusasaan. Bila sebulan kita berjibaku mendaki puncak rohani, maka pada Hari Raya kita akan menangis mensyukuri rahmat Ilahi, bukan merayakan kemenangan tanpa bukti.

oleh: Kurnia JR
disadur dari Kompas, Senin, 6 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar