Ketika
agama sudah jadi sekadar kegiatan budaya, maka hasilnya adalah festival.
Peribadatan jadi perayaan, doa jadi nyanyian. Di sana ada keramaian, kemeriahan,
bunyi-bunyian, tarian, sajian kuliner, pameran busana dan aksesori, serta
simbol-simbol warna dan benda.
Menjauhi keriuhan festival,
spiritualitas justru menarik diri, melejit bagai kucing kecil yang terperanjat
dan bersembunyi di sudut sunyi karena hakikat spiritualitas adalah personal dan
individual. Manusia yang larut dalam pesta biasanya tidak sempat ingat soal
kucing, apalagi yang terbirit-birit ke balik dinding.
Kendatipun ada kucing besar yang
berani lewat, ia akan berlalu dengan acuh tak acuh, sama sekali tak menoleh
takjub menyaksikan ulah kerumunan manusia yang lupa akan kepompong jiwanya.
Minimal si kucing hanya menyantap makanan yang tercecer sejangkauan cakarnya
dan sekapasitas perutnya. Sesudah itu, dia kembali ke kesunyian eksistensinya
selaku entitas fitri yang tidak berprasangka, berencana, atau berangan-angan.
Kucing tak membutuhkan pesta,
tetabuhan, pakaian, riasan dan perhiasan, simbol dan bentuk. Hal itu membuat si
kucing mudah dilupakan oleh manusia yang merayakan pesta keagamaan, semisal
tradisi menyambut Ramadhan dan sepanjang bulan puasa dengan berbagai acara
sosial yang bahkan dihiasi "musik dan tarian sufi" sekalipun.
Agama adalah kesukacitaan dan
kemerdekaan. Kesukacitaan menggapai pemurnian lahir dan batin, dan kemerdekaan
jiwa dari perbudakan oleh hawa nafsu. Maka, karakter agama adalah pengendalian
diri pribadi, pengarahan motivasi ke taraf spiritual yang setinggi-tingginya.
Sebuah
pengulangan
Idealisasi itu, sejujurnya,
menciutkan nyali kita kaum awam. Membaca paragraf di atas, kita merasa
bersirobok dengan kemustahilan menggapai puncak keberagamaan yang dihamparkan
Ilahi. Padahal, pemuliaan diri adalah dambaan setiap umat tanpa kecuali. Ajaran
kepercayaan dan agama dikejar oleh setiap insan yang rindu kampung halaman.
Dalam syair Hazrat Inayat Khan, dunia adalah tanah pengasingan manusia dari
kampung asalnya yang bernama surga.
Meski dikunyah setiap hari,
idealisasi tujuan hidup dan ungkapan surga-neraka, bagi sebagian besar kita,
lebih cenderung sekadar gambaran idolatryyang tidak terbayangkan
sebagai alam yang bakal kita hayati secara konkret. Tak usah kita gambarkan
surga. Cukup neraka sebagai api, sel terkunci, suhu yang menggosongkan, aneka
siksaan tak terperi. Demikian mengerikan berbagai penggambarannya sehingga akal
kita tidak berdaya untuk mengonkretkan citraan itu seutuhnya, yang sanggup
menghanguskan selera kita menikmati dunia yang penuh warna ini.
Terma-terma yang dibawa agama tampak
bagi awam sebagai puncak-puncak fenomena yang menantang akal sekaligus mengecutkan
spirit. Apa itu dosa, pahala, surga, neraka, kesucian, dan pembersihan? Apakah
para pendakwah yang setiap hari mengkhotbahkan enam terma itu memahami dan
menghayati hakikatnya? Sekarang sangat mudah orang ambil profesi sebagai juru
dakwah. Pernahkah mereka mengukur kemampuan menggali arti hakiki puncak-puncak
wacana religi tersebut?
Apa yang kita lakukan setiap kali
selesai menyimak khotbah mereka? Boleh jadi, kebanyakan dari kita kembali ke
kesibukan rutin duniawi. Urusan keagamaan kita serahkan kepada para pendakwah.
Apa pula yang melekat di benak kita dari isi khotbah mereka? Bukankah banyak di
antara kita yang hafal nyaris seluruh materi yang disemburkan? Jadi, apa
gunanya pengulangan-pengulangan itu?
Para pendakwah medioker menciptakan
gerombolan pelarian yang dalam proses kebudayaan menghasilkan berbagai tradisi
atributif atas nama religi. Kita tidak bisa mengharapkan badan-badan keagamaan
otoritatif memberlakukan persyaratan ketat dan standardisasi atas para juru
dakwah, sebab keulamaan di mata awam kerap dicampuri unsur pesona atau karisma
pribadi si juru dakwah, yang tidak ada hubungannya dengan aspek keilmuan.
Yang menyedihkan, makin permisif
juru dakwah dengan dalih yang longgar terhadap fondasi syariat, makin banyak
penggemarnya. Kaum awam yang tak mampu memahami terma-terma puncak keberagamaan
akibat kedangkalan ilmu juru dakwah akhirnya cenderung menghibur diri sendiri
dengan apologi. Hadis yang menyatakan "tiada amal tanpa ilmu" tidak
populer di kalangan juru dakwah masa kini, sebab ilmu agama sebagai disiplin
sendiri merupakan anasir asing di kalangan mereka.
Jalan datar dan
monoton
Dari tahun ke tahun, setiap
Ramadhan, sebagian besar umat Islam menunaikan ibadah puasa di jalan raya yang
datar dan monoton. Jarang ada yang menatap puncak-puncak gunung religius di
kejauhan akibat kelangkaan pembimbing yang mumpuni untuk
menuntun mereka mendaki.
Kebebasan dalam praktik keagamaan
diekspresikan dalam kemasabodohan yang tak disadari. Sementara itu, iklan di TV
menebar rayuan komersial. Demikianlah seruan untuk merayakan pesta dalam arti
harfiah minus edukasi.
Bagi kaum esoteris Jawa klasik,
puasa adalah wujud eling: ingat kepada Ilahi Sang Pengayom ingsun (hamba/ciptaan),
ingat untuk menjaga lubang-lubang hawa nafsu. Apabila sekejap saja kondisi elingitu
lepas kontrol, buyarlah ritual puasa.
Menyimak ujaran itu, tidakkah
kesadaran kita tertegun? Betapa Ramadhan hanya akan menjadi sebulan
kemustahilan menggapai kemenangan! Bukankah ini sebuah bantahan tegas terhadap
mudahnya mengakui kemenangan pada tanggal 1 Syawal?
Seandainya hadir para pembimbing
yang sarat dengan ilmu, bukan sekadar juru dakwah yang membalas honor tinggi
dengan kalkulasi pahala yang kapitalistis bagi praktik ibadah jemaah
pendengarnya, kita tak akan telantar dalam keputusasaan menatap puncak-puncak
tujuan kita.
Adakah jalan keluar dari problem
ini? Kata seorang guru, "Rahmat Allah itu luas, mahaluas." Agama
adalah kabar gembira bagi emansipasi rohani, bukan keputusasaan. Bila sebulan
kita berjibaku mendaki puncak rohani, maka pada Hari Raya kita akan menangis
mensyukuri rahmat Ilahi, bukan merayakan kemenangan tanpa bukti.
oleh: Kurnia JR
disadur dari Kompas, Senin, 6 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar