Eksklusivisme Agama dan Pluralisme
Politik
Berbagai survei menunjukkan tingkat
intoleransi agama di dunia naik cukup tajam.
Di negara-negara Barat, yang secara
nominal mayoritas beragama Kristen, lebih dari 50 persen menganut pandangan
keagamaan yang eksklusivis. Di Afrika dan Tiongkok, di mana Kristen berkembang
pesat, sekitar 80 persen umat Kristiani dikategorikan eksklusivis. Di negara
mayoritas Muslim yang paling moderat sekalipun, seperti Turki dan Indonesia,
lebih dari 65 persen kaum Muslim berpandangan eksklusivis. Yang menimbulkan
teka-teki ialah, terkecuali memang daerah konflik, umat beragam agama
sebenarnya dapat hidup berdampingan dalam skala yang tak terjadi sebelumnya.
Ini pertanda bahwa di tengah keragaman, peran agama tak akan surut.
Para pendukung teori sekularisasi
kerap mensinyalir, revitalisasi agama yang kian asertif akan menimbulkan
guncangan hebat bagi masa depan kehidupan damai. Karena itu, solusi yang
ditawarkan penyempitan ruang gerak agama, yakni disingkirkan ke ruang privat
saja. Dipaksa atau tidak, makin modern suatu masyarakat semakin tidak memberi
ruang bagi peran publik agama.
Menarik dicatat, prediksi itu salah
total. Dari tiga makna dominan sekularisasi (menurunnya peran agama,
privatisasi, dan diferensiasi), kata José Casanova dalam Public Religions in the Modern World (1994), hanya yang terakhir
yang bisa dipertahankan. Kenyataannya, bukan saja agama tetap bertahan dan
bahkan memainkan peran makin signifikan, benturan yang dibayangkan akan terjadi
tak lebih dari mitos belaka.
Eksklusivis
vs pluralisme
Argumen yang akan saya kembangkan
dalam tulisan ini mungkin kurang populer karena melihat eksklusivisme agama
tidak sepenuhnya bertolak belakang dari pluralisme politik. Minimal,
eksklusivisme agama tidak dilihat sebagai "biang kerok" eksklusivisme
politik yang tidak memberi ruang bagi pemenuhan hak-hak sipil warga. Saya kira,
hubungan antara eksklusivisme agama dan eksklusivisme politik tidak bersifat langsung
sebagaimana umum dipersepsikan.
Sebelum menguraikan kenapa mereka
yang memiliki pandangan keagamaan eksklusivis pun akan lebih memilih pluralisme
politik, ada baiknya dijelaskan dahulu apa yang dimaksud kedua istilah
tersebut. Saya memahami "eksklusivisme agama" sebagai keyakinan
seseorang bahwa agamanya adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan dan yang
lain sebagai kesesatan. Ini bertolak belakang dari pluralisme agama yang
memandang semua agama sebagai jalan yang absah.
Sementara itu, "pluralisme
politik" dipahami sebagai pemikiran politik yang mengejawantah dalam
institusi yang mengakui hak-hak sipil dan politik warga secara sama, terlepas
dari perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sebaliknya,
eksklusivisme politik tidak memperlihatkan netralitas terhadap isu SARA, tetapi
memihak ideologi tertentu, agama tertentu, atau etnik tertentu dengan
menggunakan mekanisme paksaan untuk mengeksklusi yang lain.
Pandangan umum yang berkembang di
kalangan banyak sarjana ialah bahwa seorang yang pandangan keagamaannya
eksklusivis tidak akan pernah menjadi pluralis dalam politik. Seperti halnya
eksklusivisme politik merupakan refleksi eksklusivisme agama, pluralisme
politik juga perwujudan pluralisme agama. Benarkah hubungan keduanya bersifat kausalitas?
Barangkali JJ Rousseau yang partama
kali merumuskan hubungan linear tersebut. Yakni, seorang eksklusivis agama
jangan diharapkan akan bersikap pluralis dalam perilaku politiknya.
Dalam The Social Contract (1762), sebuah karya klasik tentang hubungan
antara masyarakat dan kekuasaan negara, Rousseau menjelaskan bahwa
eksklusivisme agama tidak kompatibel dengan pluralisme politik. "Mereka
yang memisahkan antara intoleransi sipil dan intoleransi teologis," tulis
Rousseau, "jelas keliru. Keduanya merupakan bentuk-bentuk intoleransi yang
tak dapat dipisahkan."
Intoleransi teologis, mengikuti
logika Rousseau, tidak hanya berada di awang-awang, tetapi pasti punya
implikasi empiris dalam praktik keseharian. Karena eksklusivisme politik
bukanlah pilihan cara mengelola negara di era modern, eksklusivisme agama juga
harus dilenyapkan. Rousseau memang cukup keras menyikapi eksklusivisme agama
karena dianggapnya destruktif secara sosial. "Kita menoleransi mereka yang
menoleransi yang lain, sepanjang dogma keagamaan mereka tidak bertentangan
dengan kewajiban warga lain. Namun, kalau sudah berkata "tidak ada
keselamatan di luar Gereja", maka itu harus disingkirkan dari
negara," tulisnya.
Argumen Rousseau itu hingga kini
masih diamini banyak sarjana. Sosiolog agama berpengaruh, Peter Berger,
misalnya berargumen bahwa intensitas perjumpaan dalam masyarakat plural akan
berujung pada terkikisnya eksklusivime agama. Dan, ketika pandangan keagamaan
menjadi pluralis, tak ada lagi hambatan untuk menjadi pluralis secara politik.
Dalam bukunya, A Far Glory (1993), Berger mendiskusikan proses gradual
meredupnya eksklusivisme agama di tengah arus globalisasi yang
"memaksa" manusia hidup berdampingan secara dekat. Semakin intens
pergaulan lintas agama dan komunitas, semakin terkikis pandangan yang
mengeksklusi "yang lain" dan membuka sikap politik yang pluralis.
Strategi
inklusif
Ada banyak alasan untuk mengatakan
pandangan Rousseau dan Berger itu salah. Kenyataannya, di tengah masyarakarat
modern yang kian plural, eksklusivisme keagamaan tidak semakin surut, seperti
ditunjukkan berbagai survei. Saya meragukan apakah keragaman agama dapat
menyebabkan komitmen keagamaan mengendur. Sebaliknya, dalam beberapa kasus,
relativisme justru menginspirasi absolutisme dan menumbuhkan kembali eksklusivisme
agama.
Lebih dari itu, argumen Rosseau dan
Berger tak menjelaskan dukungan sejumlah kalangan eksklusivis terhadap
pluralisme politik di Indonesia. Sejak Reformasi 1998 yang membuka keran
kebebasan berekspresi, banyak kelompok dengan pandangan keagamaan eksklusivis
berkoalisi dengan kekuatan politik pluralis. Sementara mendukung pluralisme
politik, seperti pengakuan terhadap kesetaraan hak-hak warga dan mekanisme
demokrasi lain, mereka tidak "menggadaikan" komitmen eksklusivisme
keagamaan mereka. Hal itu menunjukkan, bagi eksklusivis religius sekalipun,
pluralisme politik tetaplah opsi paling baik yang memungkinkan mereka dapat
memainkan peran lebih konstruktif.
Dalam Flourishing: Why We Need Religion in a Globalized World (2015),
Miroslav Volf menelusuri jejak-jejak pluralisme politik yang ditorehkan oleh
mereka yang memiliki pandangan keagamaan eksklusivis. Roger Williams
(1603-1683), misalnya, yang dikenal sebagai bapak pluralisme politik, adalah
seorang eksklusivis religius. Kendati berpandangan eksklusivis dalam hal
keyakinan keagamaan, Williams menyerukan supaya negara tidak menggunakan
instrumen pemaksaan untuk menekan kebebasan warga.
Guru Besar di Universitas Yale itu
lebih jauh berargumen bahwa eksklusivis religius yang menganut pluralisme
politik itu justru baik bagi dunia yang kian mengglobal. Alasannya, hanya
mereka yang memiliki komitmen keagamaan kokoh yang akan menginspirasi gerakan
sosial bagi perubahan kultural dan politik (2015: 160).
Problem dengan argumen Volf ialah
kecenderungannya menyelebrasi eksklusivisme agama seolah kaum pluralis religius
tak punya basis keagamaan kokoh. Sebenarnya yang diperlukan ialah strategi
inklusif yang tidak membentur-benturkan eksklusivisme vis-À-vis pluralisme
karena keduanya memungkinkan untuk turut ambil bagian dalam membangun dunia
yang lebih baik.
oleh: Mun’im Sirry
disadur dari Kompas, Sabtu, 4 Juni
2016
Eksklusivisme Agama dan
Pluralisme Politik (MUN’IM SIRRY)
Berbagai survei menunjukkan tingkat intoleransi agama di dunia naik
cukup tajam.
Di negara-negara Barat, yang secara nominal mayoritas beragama Kristen,
lebih dari 50 persen menganut pandangan keagamaan yang eksklusivis. Di
Afrika dan Tiongkok, di mana Kristen berkembang pesat, sekitar 80 persen
umat Kristiani dikategorikan eksklusivis. Di negara mayoritas Muslim
yang paling moderat sekalipun, seperti Turki dan Indonesia, lebih dari
65 persen kaum Muslim berpandangan eksklusivis. Yang menimbulkan
teka-teki ialah, terkecuali memang daerah konflik, umat beragam agama
sebenarnya dapat hidup berdampingan dalam skala yang tak terjadi
sebelumnya. Ini pertanda bahwa di tengah keragaman, peran agama tak akan
surut.
Para pendukung teori sekularisasi kerap mensinyalir, revitalisasi agama
yang kian asertif akan menimbulkan guncangan hebat bagi masa depan
kehidupan damai. Karena itu, solusi yang ditawarkan penyempitan ruang
gerak agama, yakni disingkirkan ke ruang privat saja. Dipaksa atau
tidak, makin modern suatu masyarakat semakin tidak memberi ruang bagi
peran publik agama.
Menarik dicatat, prediksi itu salah total. Dari tiga makna dominan
sekularisasi (menurunnya peran agama, privatisasi, dan diferensiasi),
kata José Casanova dalam Public Religions in the Modern World (1994),
hanya yang terakhir yang bisa dipertahankan. Kenyataannya, bukan saja
agama tetap bertahan dan bahkan memainkan peran makin signifikan,
benturan yang dibayangkan akan terjadi tak lebih dari mitos belaka.
Eksklusivis vs pluralisme
Argumen yang akan saya kembangkan dalam tulisan ini mungkin kurang
populer karena melihat eksklusivisme agama tidak sepenuhnya bertolak
belakang dari pluralisme politik. Minimal, eksklusivisme agama tidak
dilihat sebagai "biang kerok" eksklusivisme politik yang tidak memberi
ruang bagi pemenuhan hak-hak sipil warga. Saya kira, hubungan antara
eksklusivisme agama dan eksklusivisme politik tidak bersifat langsung
sebagaimana umum dipersepsikan.
Sebelum menguraikan kenapa mereka yang memiliki pandangan keagamaan
eksklusivis pun akan lebih memilih pluralisme politik, ada baiknya
dijelaskan dahulu apa yang dimaksud kedua istilah tersebut. Saya
memahami "eksklusivisme agama" sebagai keyakinan seseorang bahwa
agamanya adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan dan yang lain
sebagai kesesatan. Ini bertolak belakang dari pluralisme agama yang
memandang semua agama sebagai jalan yang absah.
Sementara itu, "pluralisme politik" dipahami sebagai pemikiran politik
yang mengejawantah dalam institusi yang mengakui hak-hak sipil dan
politik warga secara sama, terlepas dari perbedaan suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA). Sebaliknya, eksklusivisme politik tidak
memperlihatkan netralitas terhadap isu SARA, tetapi memihak ideologi
tertentu, agama tertentu, atau etnik tertentu dengan menggunakan
mekanisme paksaan untuk mengeksklusi yang lain.
Pandangan umum yang berkembang di kalangan banyak sarjana ialah bahwa
seorang yang pandangan keagamaannya eksklusivis tidak akan pernah
menjadi pluralis dalam politik. Seperti halnya eksklusivisme politik
merupakan refleksi eksklusivisme agama, pluralisme politik juga
perwujudan pluralisme agama. Benarkah hubungan keduanya bersifat
kausalitas?
Barangkali JJ Rousseau yang partama kali merumuskan hubungan linear
tersebut. Yakni, seorang eksklusivis agama jangan diharapkan akan
bersikap pluralis dalam perilaku politiknya.
Dalam The Social Contract (1762), sebuah karya klasik tentang hubungan
antara masyarakat dan kekuasaan negara, Rousseau menjelaskan bahwa
eksklusivisme agama tidak kompatibel dengan pluralisme politik. "Mereka
yang memisahkan antara intoleransi sipil dan intoleransi teologis,"
tulis Rousseau, "jelas keliru. Keduanya merupakan bentuk-bentuk
intoleransi yang tak dapat dipisahkan."
Intoleransi teologis, mengikuti logika Rousseau, tidak hanya berada di
awang-awang, tetapi pasti punya implikasi empiris dalam praktik
keseharian. Karena eksklusivisme politik bukanlah pilihan cara mengelola
negara di era modern, eksklusivisme agama juga harus dilenyapkan.
Rousseau memang cukup keras menyikapi eksklusivisme agama karena
dianggapnya destruktif secara sosial. "Kita menoleransi mereka yang
menoleransi yang lain, sepanjang dogma keagamaan mereka tidak
bertentangan dengan kewajiban warga lain. Namun, kalau sudah berkata
"tidak ada keselamatan di luar Gereja", maka itu harus disingkirkan dari
negara," tulisnya.
Argumen Rousseau itu hingga kini masih diamini banyak sarjana. Sosiolog
agama berpengaruh, Peter Berger, misalnya berargumen bahwa intensitas
perjumpaan dalam masyarakat plural akan berujung pada terkikisnya
eksklusivime agama. Dan, ketika pandangan keagamaan menjadi pluralis,
tak ada lagi hambatan untuk menjadi pluralis secara politik. Dalam
bukunya, A Far Glory (1993), Berger mendiskusikan proses gradual
meredupnya eksklusivisme agama di tengah arus globalisasi yang "memaksa"
manusia hidup berdampingan secara dekat. Semakin intens pergaulan
lintas agama dan komunitas, semakin terkikis pandangan yang mengeksklusi
"yang lain" dan membuka sikap politik yang pluralis.
Strategi inklusif
Ada banyak alasan untuk mengatakan pandangan Rousseau dan Berger itu
salah. Kenyataannya, di tengah masyarakarat modern yang kian plural,
eksklusivisme keagamaan tidak semakin surut, seperti ditunjukkan
berbagai survei. Saya meragukan apakah keragaman agama dapat menyebabkan
komitmen keagamaan mengendur. Sebaliknya, dalam beberapa kasus,
relativisme justru menginspirasi absolutisme dan menumbuhkan kembali
eksklusivisme agama.
Lebih dari itu, argumen Rosseau dan Berger tak menjelaskan dukungan
sejumlah kalangan eksklusivis terhadap pluralisme politik di Indonesia.
Sejak Reformasi 1998 yang membuka keran kebebasan berekspresi, banyak
kelompok dengan pandangan keagamaan eksklusivis berkoalisi dengan
kekuatan politik pluralis. Sementara mendukung pluralisme politik,
seperti pengakuan terhadap kesetaraan hak-hak warga dan mekanisme
demokrasi lain, mereka tidak "menggadaikan" komitmen eksklusivisme
keagamaan mereka. Hal itu menunjukkan, bagi eksklusivis religius
sekalipun, pluralisme politik tetaplah opsi paling baik yang
memungkinkan mereka dapat memainkan peran lebih konstruktif.
Dalam Flourishing: Why We Need Religion in a Globalized World (2015),
Miroslav Volf menelusuri jejak-jejak pluralisme politik yang ditorehkan
oleh mereka yang memiliki pandangan keagamaan eksklusivis. Roger
Williams (1603-1683), misalnya, yang dikenal sebagai bapak pluralisme
politik, adalah seorang eksklusivis religius. Kendati berpandangan
eksklusivis dalam hal keyakinan keagamaan, Williams menyerukan supaya
negara tidak menggunakan instrumen pemaksaan untuk menekan kebebasan
warga.
Guru Besar di Universitas Yale itu lebih jauh berargumen bahwa
eksklusivis religius yang menganut pluralisme politik itu justru baik
bagi dunia yang kian mengglobal. Alasannya, hanya mereka yang memiliki
komitmen keagamaan kokoh yang akan menginspirasi gerakan sosial bagi
perubahan kultural dan politik (2015: 160).
Problem dengan argumen Volf ialah kecenderungannya menyelebrasi
eksklusivisme agama seolah kaum pluralis religius tak punya basis
keagamaan kokoh. Sebenarnya yang diperlukan ialah strategi inklusif yang
tidak membentur-benturkan eksklusivisme vis-À-vis pluralisme karena
keduanya memungkinkan untuk turut ambil bagian dalam membangun dunia
yang lebih baik.
MUN'IM SIRRYPROFESOR TEOLOGI PADA UNIVERSITAS NOTRE DAME DAN KETUA
KELOMPOK KERJA TENTANG INDONESIA PADA KROC INSTITUTE FOR INTERNATIONAL
PEACE STUDIES, AS
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Juni 2016, di
halaman 7 dengan judul "Eksklusivisme Agamadan Pluralisme Politik".
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar