Editors Picks

Rabu, 22 Juni 2016

Pajak ponus dan bonus pajak



Potensi kekurangan penerimaan masih menggelantung di APBN 2016. Sejalan pelemahan harga komoditas andalan di pasar global, penerimaan dari sektor migas menurun drastis. Alhasil, pemerintah mengandalkan penerimaan dari pos pajak penghasilan (PPh) nonmigas dengan target Rp 819,4 triliun.

Upaya peningkatan PPh nonmigas tengah menemukan momentumnya. Setelah memonitor transaksi kartu kredit, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) kini menyasar multi level marketing (MLM). Menurut Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia, saat ini ada sekitar 300 perusahaan di industri MLM yang termasuk kategori pengusaha langsung.

Dari jumlah itu, hanya 200 perusahaan yang resmi memiliki izin berusaha. Total agen pemasaran barang/jasa sistem MLM diperkirakan mencapai 10 juta orang. Dari bisnis ini, Ditjen Pajak hendak membidik kepatuhan wajib pajak terhadap pembayaran PPh atas bonus/ komisi penjualan.

Dalam pandangan Ditjen Pajak, bonus dapat dipersamakan dengan penghasilan. Faktanya wajib pajak memperoleh penghasilan dan ada tambahan kemampuan ekonomi. Konsekuensinya, wajib pajak harus membayar PPh yang lebih tinggi pula.

Namun demikian, atribut ‘bonus’ yang melekat pada objek PPh ini membuat prosedur pemungutannya menjadi tidak sederhana. Kompleksitas diawali dengan pendefinisian tentang bonus itu sendiri. Secara teori, bonus adalah satu bentuk fringe benefit yaitu penghasilan di luar rutinitas penerimaan gaji/upah sebagai apresiasi perusahaan atas prestasi.

Bonus bisa diambilkan dari keuntungan perusahaan. Keuntungan adalah selisih omzet penjualan dikurangi total biaya. Keuntungan kotor ini dikenai PPh Badan pasal 25. Skenarionya adalah bonus tinggal dibagikan atau bonus yang dibagikan ke agen penjual akan dipungut PPh Orang Pribadi.

Besaran bonus terkait erat dengan penghitungan biaya. Biaya adalah pengorbanan untuk mendapatkan hasil. Sayangnya, biaya yang dikeluarkan untuk menunjang kegiatan penjualan tidak bisa dijadikan sebagai pengurang pajak. Alhasil, pajak yang dibayarkan tidak sesuai dengan penghasilan bersih yang diperoleh.

Bonus bisa pula diperlakukan sebagai biaya. Dalam konteks ini, bonus sejajar kedudukannya dengan gaji/upah. Bedanya, bonus bersifat variabel mengikuti perubahan volume penjualan, sementara gaji/upah bersifat tetap yang independen terhadap penjualan. Bonus yang diterima agen akan terkena PPh Orang Pribadi.

Bisa jadi disinsentif
Problematika pemungutan PPh atas bonus berlanjut pada status agen. Dalam kasus, agen penjual berstatus pekerja lepas tanpa gaji/upah maka biaya berjualan jadi tanggungan pribadi. Alhasil, bonus seolah menjadi ‘klaim’ atas biaya dibayar di muka. Dengan demikian, tidak ada substansi objek pajak yang bisa dipungut.

Persoalan di atas sering dihadapi oleh MLM atau industri sejenis lainnya. Dengan status bebas, agen penjual lepas harus menghitung sendiri pajaknya alih-alih PPh pasal 21 sebagaimana pekerja tetap. Dari sini muncul dorongan untuk menghindari pembayaran PPh atas bonus terutama agen yang tidak tertib administrasi.

Kerumitan akan muncul saat bonus yang diberikan kepada agen berwujud benda atau bahkan jasa. Banyak komponen terlibat di dalamnya. Alhasil, pajak ganda potensial terjadi yang mencakup pajak pertambahan nilai, PPh Badan, dan PPh Orang Pribadi.

Dengan kompleksitas persoalan semacam ini, Ditjen Pajak hendaknya bijak agar PPh atas bonus penjualan tidak bersifat distorsif terhadap industri MLM. Sebab industri ini ikut mendorong pertumbuhan ekonomi. Sistem penjualan langsung mempermudah
distribusi barang/jasa dan mendorong konsumsi masyarakat.

Dalam skala yang lebih luas, sistem MLM juga menjadi sarana pedagogis bagi anggota masyarakat untuk belajar berwirausaha secara mandiri. Pajak atas bonus penjualan yang menjadi daya tarik utama profesi ini dikhawatirkan justru jadi disinsentif bagi mereka yang baru memulai usaha.

Secara yuridis-formal, pemungutan PPh atas bonus penjualan dalam sistem MLM menjadi semacam pengakuan resmi terhadap eksistensi industri MLM di Indonesia. Di saat yang sama, aparat penegak hukum juga masih berjuang memerangi MLM tidak berizin dan praktik MLM bodong berskema Ponzi yang sangat merugikan masyarakat luas. Dua modus ini dengan sendirinya melarikan diri dari kewajiban pembayaran PPh Badan dan PPh Orang Pribadi. 

oleh Haryo Kuncoro
disadur dari Kontan, Jum’at, 17 Juni 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar