Potensi
kekurangan penerimaan masih menggelantung di APBN 2016. Sejalan pelemahan harga
komoditas andalan di pasar global, penerimaan dari sektor migas menurun
drastis. Alhasil, pemerintah mengandalkan penerimaan dari pos pajak penghasilan
(PPh) nonmigas dengan target Rp 819,4 triliun.
Upaya
peningkatan PPh nonmigas tengah menemukan momentumnya. Setelah memonitor
transaksi kartu kredit, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) kini menyasar multi level marketing
(MLM). Menurut Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia, saat ini ada sekitar 300
perusahaan di industri MLM yang termasuk kategori pengusaha langsung.
Dari
jumlah itu, hanya 200 perusahaan yang resmi memiliki izin berusaha. Total agen
pemasaran barang/jasa sistem MLM diperkirakan mencapai 10 juta orang. Dari
bisnis ini, Ditjen Pajak hendak membidik kepatuhan wajib pajak terhadap
pembayaran PPh atas bonus/ komisi penjualan.
Dalam
pandangan Ditjen Pajak, bonus dapat dipersamakan dengan penghasilan. Faktanya
wajib pajak memperoleh penghasilan dan ada tambahan kemampuan ekonomi.
Konsekuensinya, wajib pajak harus membayar PPh yang lebih tinggi pula.
Namun
demikian, atribut ‘bonus’ yang melekat pada objek PPh ini membuat prosedur
pemungutannya menjadi tidak sederhana. Kompleksitas diawali dengan pendefinisian
tentang bonus itu sendiri. Secara teori, bonus adalah satu bentuk fringe benefit yaitu
penghasilan di luar rutinitas penerimaan gaji/upah sebagai apresiasi perusahaan
atas prestasi.
Bonus
bisa diambilkan dari keuntungan perusahaan. Keuntungan adalah selisih omzet
penjualan dikurangi total biaya. Keuntungan kotor ini dikenai PPh Badan pasal
25. Skenarionya adalah bonus tinggal dibagikan atau bonus yang dibagikan ke
agen penjual akan dipungut PPh Orang Pribadi.
Besaran
bonus terkait erat dengan penghitungan biaya. Biaya adalah pengorbanan untuk
mendapatkan hasil. Sayangnya, biaya yang dikeluarkan untuk menunjang kegiatan
penjualan tidak bisa dijadikan sebagai pengurang pajak. Alhasil, pajak yang
dibayarkan tidak sesuai dengan penghasilan bersih yang diperoleh.
Bonus
bisa pula diperlakukan sebagai biaya. Dalam konteks ini, bonus sejajar
kedudukannya dengan gaji/upah. Bedanya, bonus bersifat variabel mengikuti
perubahan volume penjualan, sementara gaji/upah bersifat tetap yang independen
terhadap penjualan. Bonus yang diterima agen akan terkena PPh Orang Pribadi.
Bisa jadi disinsentif
Problematika
pemungutan PPh atas bonus berlanjut pada status agen. Dalam kasus, agen penjual
berstatus pekerja lepas tanpa gaji/upah maka biaya berjualan jadi tanggungan
pribadi. Alhasil, bonus seolah menjadi ‘klaim’ atas biaya dibayar di muka.
Dengan demikian, tidak ada substansi objek pajak yang bisa dipungut.
Persoalan
di atas sering dihadapi oleh MLM atau industri sejenis lainnya. Dengan status
bebas, agen penjual lepas harus menghitung sendiri pajaknya alih-alih PPh pasal
21 sebagaimana pekerja tetap. Dari sini muncul dorongan untuk menghindari
pembayaran PPh atas bonus terutama agen yang tidak tertib administrasi.
Kerumitan
akan muncul saat bonus yang diberikan kepada agen berwujud benda atau bahkan
jasa. Banyak komponen terlibat di dalamnya. Alhasil, pajak ganda potensial
terjadi yang mencakup pajak pertambahan nilai, PPh Badan, dan PPh Orang
Pribadi.
Dengan
kompleksitas persoalan semacam ini, Ditjen Pajak hendaknya bijak agar PPh atas
bonus penjualan tidak bersifat distorsif terhadap industri MLM. Sebab industri
ini ikut mendorong pertumbuhan ekonomi. Sistem penjualan langsung mempermudah
distribusi
barang/jasa dan mendorong konsumsi masyarakat.
Dalam
skala yang lebih luas, sistem MLM juga menjadi sarana pedagogis bagi anggota
masyarakat untuk belajar berwirausaha secara mandiri. Pajak atas bonus
penjualan yang menjadi daya tarik utama profesi ini dikhawatirkan justru jadi
disinsentif bagi mereka yang baru memulai usaha.
Secara
yuridis-formal, pemungutan PPh atas bonus penjualan dalam sistem MLM menjadi
semacam pengakuan resmi terhadap eksistensi industri MLM di Indonesia. Di saat
yang sama, aparat penegak hukum juga masih berjuang memerangi MLM tidak berizin
dan praktik MLM bodong berskema Ponzi yang sangat merugikan masyarakat luas.
Dua modus ini dengan sendirinya melarikan diri dari kewajiban pembayaran PPh
Badan dan PPh Orang Pribadi.
oleh
Haryo Kuncoro
disadur
dari Kontan, Jum’at, 17 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar