Di
tengah ketidakpastian dan perlambatan ekonomi nasional, terdapat satu hal yang
bisa menjadikan pertumbuhan ekonomi tetap tumbuh optimal, yakni konsumsi rumah
tangga. Apabila konsumsi rumah tangga dijaga kestabilannya maka pertumbuhan
ekonomi setidaknya akan tetap tumbuh di atas 4%, business as usual.
Data
pertumbuhan ekonomi nasional menyebutkan pertumbuhan ekonomi nasional terus
melambat. Pada triwulan I-2016, pertumbuhan ekonomi mencapai 4,92% (year on year). Dari
angka pertumbuhan tersebut, andil rumah tangga dalam pembentukan pertumbuhan
ekonomi sebesar 2,73%, sedangkan investasi memberi andil 1,79%. Sedangkan
lainnya (belanja pemerintah, net ekspor impor) hanya sebesar 0,40%.
Berdasarkan
komposisi andil pembentukan pertumbuhan di atas bisa dipastikan bahwa konsumsi
rumah tangga menjadi salah satu mesin pendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Hal itu juga bisa terlihat dari kontribusi konsumsi rumah tangga dalam
pembentukan PDB kita. Pada tahun 2015, konsumsi rumah tangga Indonesia
menyumbang 55,92 % PDB nasional. Pada triwulan I-2016, sumbangan konsumsi rumah
tangga mencapai 56,86%, di atas angka tahun 2015.
Agar
konsumsi rumah tangga tetap berandil besar dalam pertumbuhan ekonomi adalah
dengan menjaga daya beli masyarakat. Kuncinya ada dua, yakni menekan inflasi
dan menjaga atau meningkatkan pendapatan masyarakat.
Pertama, inflasi di Indonesia terbilang lebih
tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN. Pada periode 2011–2015, rata-rata
inflasi Indonesia berkisar 5,6%, Malaysia 2,5%, Singapura 2,05%, dan Thailand
2,72%. Inflasi di Indonesia lebih dikarenakan kenaikan harga bahan makanan,
makanan jadi, sandang, serta komoditas yang memiliki hubungan langsung atau
tidak langsung dengan sektor energi.
Selama
kurun waktu Januari 2014 hingga Mei 2016 (bulanan), bahan makanan menjadi
kelompok dengan nilai rata-rata inflasi tertinggi sebesar 0,58%. Angka tersebut
lebih tinggi 0,07% dibandingkan dengan rata-rata inflasi pada kurun waktu yang
sama sebesar 0,51%. Sedangkan kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan
tembakau menjadi kelompok barang dengan nilai inflasi tertinggi kedua sebesar
0,57%.
Selain
rata-rata inflasi bulanan, kelompok bahan makanan dan kelompok makanan jadi,
minuman rokok dan tembakau menjadi kelompok dengan rata-rata andil inflasi
terbesar. Kelompok bahan makanan memiliki andil terhadap pembentukan inflasi
sebesar 0,11% dan makanan jadi sebesar 0,09%.
Menjaga pendapatan
Kedua, meningkatkan pendapatan masyarakat
atau setidaknya menjaga tingkat pendapatan masyarakat. Instrumen yang bisa
digunakan oleh pemerintah saat ini adalah menjaga nilai upah, terutama golongan
menengah ke bawah, semisal petani/buruh tani dan buruh lepas lainnya, serta
mempertahankan atau menambah subsidi baik langsung atau tidak langsung ke rumah
tangga.
Sebagai
gambaran, nilai upah buruh tani harian, secara nominal hanya tumbuh 0,3% selama
kurun waktu Januari 2014 (Rp 43.808/ hari) hingga Mei 2016 (Rp 47.796/ hari).
Sedangkan secara riil, upah buruh tani harian justru tumbuh minus 0,16%, dari
Rp 39.383/ hari pada Januari 2014 menjadi Rp 37.563/ hari.
Fakta
bahwa adanya penurunan upah riil buruh tani menjadi gambaran bahwa usaha
mempertahankan ataupun meningkatkan upah buruh tani menjadi sesuatu yang berat.
Inflasi menjadi salah satu penggerus pendapatan buruh tani. Pertumbuhan upah
nominal hanya sebesar 0,13%, sedangkan nilai inflasi jauh di atas nilai
pertumbuhan tersebut.
Terdapat
beberapa tantangan untuk menahan inflasi dan menjaga tingkat pendapatan
masyarakat. Kendala tersebut adalah sifat inflasi di Indonesia, penegakan hukum
lemah, serta ancaman defisit anggaran pemerintah.
Pertama, sifat inflasi di Indonesia lebih
dikarenakan oleh kondisi suplai yang tidak bisa memenuhi permintaan. Itulah
mengapa instrumen pengendalian inflasi yang dimiliki Bank Indonesia tidak
optimal dalam menjinakkan inflasi yang menjangkiti Indonesia.
Kondisi
suplai yang terbatas bisa disebabkan oleh dua faktor, yakni kapasitas produksi
yang terbatas serta rantai pasok yang tidak ringkas. Kapasitas produksi yang
terbatas bisa terlihat dari besaran impor yang dilakukan oleh pemerintah.
Adapun
rantai pasok yang panjang menjadi penyebab mengapa barang atau bahan kebutuhan
pokok memerlukan waktu sampai ke tangan konsumen. Kondisi ini disebabkan oleh
infrastruktur penghubung yang masih jelek. Pada akhirnya, rantai pasok yang
panjang akan menjadikan harga barang naik.
Faktor
kedua, penegakan
hukum yang lemah. Tidak sedikit di tengah keterbatasan suplai barang, terdapat
para pemburu rente yang memanfaatkan situasi. Pemburu rente memanfaatkan
situasi dengan cara menimbun barang untuk menunggu naiknya harga barang/
komoditas. Kondisi ini menjadikan harga-harga naik melebihi yang seharusnya.
Penegakan
hukum terhadap para pemburu rente tidaklah optimal. Kita jarang menemukan
berita tertangkapnya penimbun barang yang kemudian diproses di pengadilan dan
dijebloskan ke penjara.
Faktor
ketiga,
keterbatasan anggaran pemerintah. Pada RAPBNP 2016, pemerintah berencana
memangkas belanja. Terdapat dua sasaran pemangkasan, pertama anggaran belanja
instansi pemerintah Rp 20 triliun dan kedua pemotongan anggaran subsidi
solar dan LPG 3 kg sebesar Rp 23,05 triliun menjadi Rp 40,64 triliun.
Pemotongan subsidi ini akan memukul daya beli.
Upaya
yang bisa diusahakan oleh pemerintah untuk tetap menjaga daya beli di antaranya
adalah: pertama,
memperbaiki kondisi suplai di perekonomian Indonesia. Optimasi Tim Pengendali
Inflasi Daerah (TPID) adalah salah satu solusi jitu untuk menekan inflasi sisi
suplai.
Kedua, memotong rantai pasok dengan cara
sinkronisasi rantai pasok yang lancar dan terhindar dari tangan-tangan
spekulan, dan ketiga mempertahankan subsidi dengan cara optimasi pemotongan
belanja pemerintah di pos belanja perjalanan dinas dan sejenisnya.
oleh Rusli
Abdullah
disadur
dari Kontan, Senin, 20 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar