Editors Picks

Rabu, 22 Juni 2016

Jaga pertumbuhan dalam ketidakpastian



Di tengah ketidakpastian dan perlambatan ekonomi nasional, terdapat satu hal yang bisa menjadikan pertumbuhan ekonomi tetap tumbuh optimal, yakni konsumsi rumah tangga. Apabila konsumsi rumah tangga dijaga kestabilannya maka pertumbuhan ekonomi setidaknya akan tetap tumbuh di atas 4%, business as usual.

Data pertumbuhan ekonomi nasional menyebutkan pertumbuhan ekonomi nasional terus melambat. Pada triwulan I-2016, pertumbuhan ekonomi mencapai 4,92% (year on year).  Dari angka pertumbuhan tersebut, andil rumah tangga dalam pembentukan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,73%, sedangkan investasi memberi andil 1,79%. Sedangkan lainnya (belanja pemerintah, net ekspor impor) hanya sebesar 0,40%.

Berdasarkan komposisi andil pembentukan pertumbuhan di atas bisa dipastikan bahwa konsumsi rumah tangga menjadi salah satu mesin pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Hal itu juga bisa terlihat dari kontribusi konsumsi rumah tangga dalam pembentukan PDB kita. Pada tahun 2015, konsumsi rumah tangga Indonesia menyumbang 55,92 % PDB nasional. Pada triwulan I-2016, sumbangan konsumsi rumah tangga mencapai 56,86%, di atas angka tahun 2015.

Agar konsumsi rumah tangga tetap berandil besar dalam pertumbuhan ekonomi adalah dengan menjaga daya beli masyarakat. Kuncinya ada dua, yakni menekan inflasi dan menjaga atau meningkatkan pendapatan masyarakat.  

Pertama, inflasi di Indonesia terbilang lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN. Pada periode 2011–2015, rata-rata inflasi Indonesia berkisar 5,6%, Malaysia 2,5%, Singapura 2,05%, dan Thailand 2,72%. Inflasi di Indonesia lebih dikarenakan kenaikan harga bahan makanan, makanan jadi, sandang, serta komoditas yang memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan sektor energi.

Selama kurun waktu Januari 2014 hingga Mei 2016 (bulanan), bahan makanan menjadi kelompok dengan nilai rata-rata inflasi tertinggi sebesar 0,58%. Angka tersebut lebih tinggi 0,07% dibandingkan dengan rata-rata inflasi pada kurun waktu yang sama sebesar 0,51%. Sedangkan kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau menjadi kelompok barang dengan nilai inflasi tertinggi kedua sebesar 0,57%.

Selain rata-rata inflasi bulanan, kelompok bahan makanan dan kelompok makanan jadi, minuman rokok dan tembakau menjadi kelompok dengan rata-rata andil inflasi terbesar. Kelompok bahan makanan memiliki andil terhadap pembentukan inflasi sebesar 0,11% dan makanan jadi sebesar 0,09%.

Menjaga pendapatan
Kedua, meningkatkan pendapatan masyarakat atau setidaknya menjaga tingkat pendapatan masyarakat. Instrumen yang bisa digunakan oleh pemerintah saat ini adalah menjaga nilai upah, terutama golongan menengah ke bawah, semisal petani/buruh tani dan buruh lepas lainnya, serta mempertahankan atau menambah subsidi baik langsung atau tidak langsung ke rumah tangga.

Sebagai gambaran, nilai upah buruh tani harian, secara nominal hanya tumbuh 0,3% selama kurun waktu Januari 2014 (Rp 43.808/ hari) hingga Mei 2016 (Rp 47.796/ hari). Sedangkan secara riil, upah buruh tani harian justru tumbuh minus 0,16%, dari Rp 39.383/ hari pada Januari 2014 menjadi Rp 37.563/ hari.

Fakta bahwa adanya penurunan upah riil buruh tani menjadi gambaran bahwa usaha mempertahankan ataupun meningkatkan upah buruh tani menjadi sesuatu yang berat. Inflasi menjadi salah satu penggerus pendapatan buruh tani. Pertumbuhan upah nominal hanya sebesar 0,13%, sedangkan nilai inflasi jauh di atas nilai pertumbuhan tersebut.

Terdapat beberapa tantangan untuk menahan inflasi dan menjaga tingkat pendapatan masyarakat. Kendala tersebut adalah sifat inflasi di Indonesia, penegakan hukum lemah, serta ancaman defisit anggaran pemerintah.

Pertama, sifat inflasi di Indonesia lebih dikarenakan oleh kondisi suplai yang tidak bisa memenuhi permintaan. Itulah mengapa instrumen pengendalian inflasi yang dimiliki Bank Indonesia tidak optimal dalam menjinakkan inflasi yang menjangkiti Indonesia.

Kondisi suplai yang terbatas bisa disebabkan oleh dua faktor, yakni kapasitas produksi yang terbatas serta rantai pasok yang tidak ringkas. Kapasitas produksi yang terbatas bisa terlihat dari besaran impor yang dilakukan oleh pemerintah.

Adapun rantai pasok yang panjang menjadi penyebab mengapa barang atau bahan kebutuhan pokok memerlukan waktu sampai ke tangan konsumen. Kondisi ini disebabkan oleh infrastruktur penghubung yang masih jelek. Pada akhirnya, rantai pasok yang panjang akan menjadikan harga barang naik.

Faktor kedua, penegakan hukum yang lemah. Tidak sedikit di tengah keterbatasan suplai barang, terdapat para pemburu rente yang memanfaatkan situasi. Pemburu rente memanfaatkan situasi dengan cara menimbun barang untuk menunggu naiknya harga barang/ komoditas. Kondisi ini menjadikan harga-harga naik melebihi yang seharusnya.

Penegakan hukum terhadap para pemburu rente tidaklah optimal. Kita jarang menemukan berita tertangkapnya penimbun barang yang kemudian diproses di pengadilan dan dijebloskan ke penjara.

Faktor ketiga, keterbatasan anggaran pemerintah. Pada RAPBNP 2016, pemerintah berencana memangkas belanja. Terdapat dua sasaran pemangkasan, pertama anggaran belanja instansi pemerintah Rp 20 triliun dan kedua  pemotongan anggaran subsidi solar dan LPG 3 kg sebesar Rp 23,05 triliun menjadi Rp 40,64 triliun. Pemotongan subsidi ini akan memukul daya beli.

Upaya yang bisa diusahakan oleh pemerintah untuk tetap menjaga daya beli di antaranya adalah: pertama, memperbaiki kondisi suplai di perekonomian Indonesia. Optimasi Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) adalah salah satu solusi jitu untuk menekan inflasi sisi suplai.

Kedua, memotong rantai pasok dengan cara sinkronisasi rantai pasok yang lancar dan terhindar dari tangan-tangan spekulan, dan ketiga mempertahankan subsidi dengan cara optimasi pemotongan belanja pemerintah di pos belanja perjalanan dinas dan sejenisnya.

oleh Rusli Abdullah
disadur dari Kontan, Senin, 20 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar