Editors Picks

Rabu, 22 Juni 2016

Ironi pangkas anggaran



Di tengah optimisme pemerintah bahwa ekonomi akan membaik, ternyata kondisinya malah gawat. Penerimaan pajak bukan hanya tidak mencapai target, melainkan lebih rendah ketimbang tahun lalu. Terjadi kontraksi.  

Tak pelak pemerintah harus memangkas banyak pengeluaran yang bisa dihemat. Bahkan, sejumlah pos belanja yang langsung mengena masyarakat – belanja sektor pendidikan, pelayanan umum, perlindungan sosial, subsidi solar – dipangkas.

Namun, tampak nyata terjadi ironi dalam penghematan bujet yang dikemas dalam istilah realokasi anggaran ini. Belanja transfer ke daerah tidak diutak-atik, sehingga kini nilainya jadi lebih besar ketimbang belanja kementerian dan lembaga. Jurang defisit melebar, sehingga pemerintah harus menambah utang.

Kenapa ironis? Ketimbang belanja kementerian dan lembaga, realisasi belanja daerah sangatlah parah. Sampai akhir triwulan pertama baru 8,3%. Pemerintah pusat sudah teriak-teriak kencang supaya mempercepat realisasi belanja. Bahkan sudah sejak awal tahun ini dana transfer daerah – baik dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), maupun bagi hasil – dikucurkan. Tapi realisasi proyek tetap mini. Kalau penyerapan belanja dibiarkan rendah, jelas akan menyebabkan aktivitas ekonomi daerah lesu.

Tak hanya itu, pengucuran dana transfer itu jadinya mubazir. Bahkan, bisa jadi menimbullkan peluang manipulasi juga. Betapa tidak? Sebanyak 60% anggaran yang mengendap di bank-bank pembangunan daerah itu bernilai Rp 273 triliun.
Aneh. Bila banyak pejabat daerah takut meralisasikan belanja lantaran khawatir menjadi temuan kasus bagi aparat penegak hukum, kenapa proyek itu dianggarkan dan setelah itu cuma diendapkan di bank?

Sebenarnya permasalahan ini sudah berlangsung beberapa tahun. Tapi kenapa tak ada penyelesaian? Pemerintah pusat terus berwacana menjatuhkan beberapa sanksi terhadap daerah yang lelet merealisakan anggaran. Sebutlah menyetop transfer DAK, memotong insentif, mengubah transfer daerah jadi surat utang. Namun belum juga ada eksekusi yang memberikan efek nyata.

Sangatlah mengkhawatirkan bila pemerintah membiarkan persoalan ini berlarut-larut. Di satu sisi setengah mati menutup kekurangan pembiayaan anggaran dengan menggadang-gadang tax amnesty. Targetnya bisa meraup Rp 165 triliun, tapi masih diragukan tercapai. Di sisi lain pemerintah membiarkan – tidak memangkas – dana yang ada mengendap senilai Rp 273 triliun.

oleh Ardian Taufik Gesuri
disadur dari Kontan, Senin, 20 Juni 216

Tidak ada komentar:

Posting Komentar