Di
tengah optimisme pemerintah bahwa ekonomi akan membaik, ternyata kondisinya
malah gawat. Penerimaan pajak bukan hanya tidak mencapai target, melainkan
lebih rendah ketimbang tahun lalu. Terjadi kontraksi.
Tak
pelak pemerintah harus memangkas banyak pengeluaran yang bisa dihemat. Bahkan,
sejumlah pos belanja yang langsung mengena masyarakat – belanja sektor
pendidikan, pelayanan umum, perlindungan sosial, subsidi solar – dipangkas.
Namun,
tampak nyata terjadi ironi dalam penghematan bujet yang dikemas dalam istilah
realokasi anggaran ini. Belanja transfer ke daerah tidak diutak-atik, sehingga
kini nilainya jadi lebih besar ketimbang belanja kementerian dan lembaga.
Jurang defisit melebar, sehingga pemerintah harus menambah utang.
Kenapa
ironis? Ketimbang belanja kementerian dan lembaga, realisasi belanja daerah
sangatlah parah. Sampai akhir triwulan pertama baru 8,3%. Pemerintah pusat
sudah teriak-teriak kencang supaya mempercepat realisasi belanja. Bahkan sudah
sejak awal tahun ini dana transfer daerah – baik dana alokasi umum (DAU), dana
alokasi khusus (DAK), maupun bagi hasil – dikucurkan. Tapi realisasi proyek
tetap mini. Kalau penyerapan belanja dibiarkan rendah, jelas akan menyebabkan
aktivitas ekonomi daerah lesu.
Tak
hanya itu, pengucuran dana transfer itu jadinya mubazir. Bahkan, bisa jadi
menimbullkan peluang manipulasi juga. Betapa tidak? Sebanyak 60% anggaran yang
mengendap di bank-bank pembangunan daerah itu bernilai Rp 273 triliun.
Aneh.
Bila banyak pejabat daerah takut meralisasikan belanja lantaran khawatir
menjadi temuan kasus bagi aparat penegak hukum, kenapa proyek itu dianggarkan
dan setelah itu cuma diendapkan di bank?
Sebenarnya
permasalahan ini sudah berlangsung beberapa tahun. Tapi kenapa tak ada
penyelesaian? Pemerintah pusat terus berwacana menjatuhkan beberapa sanksi
terhadap daerah yang lelet merealisakan anggaran. Sebutlah menyetop transfer
DAK, memotong insentif, mengubah transfer daerah jadi surat utang. Namun belum
juga ada eksekusi yang memberikan efek nyata.
Sangatlah
mengkhawatirkan bila pemerintah membiarkan persoalan ini berlarut-larut. Di
satu sisi setengah mati menutup kekurangan pembiayaan anggaran dengan
menggadang-gadang tax amnesty. Targetnya bisa meraup Rp 165 triliun, tapi masih
diragukan tercapai. Di sisi lain pemerintah membiarkan – tidak memangkas – dana
yang ada mengendap senilai Rp 273 triliun.
oleh
Ardian Taufik Gesuri
disadur
dari Kontan, Senin, 20 Juni 216
Tidak ada komentar:
Posting Komentar