Editors Picks

Rabu, 22 Juni 2016

Hikmah dari Venezuela



Venezuela adalah ironi yang menyesakkan. Hidup di negeri dengan cadangan minyak bumi terbesar di dunia, namun rakyatnya harus 'mati' kelaparan. Mereka harus mengantre berjam-jam, sekadar memperoleh sedikit bahan makanan pokok. Bayangkan, untuk membeli setangkup roti isi orang harus membayar Rp 3 juta.

Krisis di Amerika Selatan ini mencapai fase yang begitu buruk. Menurut perkiraan IMF, hiperinflasi di negara ini mencapai 720% di 2016 dan 1.642% di 2017. Tahun lalu, ekonomi negara ini kontraksi 5,7% dan tahun ini akan kontraksi 8%.  Seperti ditulis The Economist, dari 31 juta penduduk Venezuela, 76% kini berada dalam jurang kemiskinan.

Di tengah deraan lapar, penjarahan dan kerusuhan pecah di mana-mana. Venezuela kini jadi negara dengan pembunuhan tertinggi di dunia. Politik pun memanas. Kepercayaan pada pemimpinnya, Nicolas Maduro, terpuruk ke titik nadir.

Ada banyak faktor yang membawa Venezuela dalam krisis. Pertama, ketergantungan pada minyak bumi. Hampir 95% ekspor Venezuela  disumbang minyak bumi. Anjloknya harga minyak dari US$ 140 ke US$ 40 per barel menjadi pukulan telak.

Kedua, Venezuela mengontrol harga berbagai bahan pokok agar terjangkau. Tapi, produsen memilih berhenti berproduksi atau menjualnya ke pasar gelap. Untuk memenuhi kebutuhan rakyat, pemerintah impor dan menjualnya dengan subsidi.  

Saat harga minyak tinggi, semua baik-baik saja. Tapi, begitu harga minyak anjlok, kekacauan pecah. Subsidi mengikis cadangan devisa. Kini cadangan devisa tunai Venezuela diperkirakan tinggal US$ 1,5 juta.

Ketiga, agresifnya Venezuela berutang. Ricardo Hausmann, mantan Menteri Perencanaan Venezuela, dalam tulisannya "Overdosing on Heterodoxy Can Kill You" menyatakan, alih-alih menabung, Venezuela justru menggunakan era booming harga minyak 2004-2013 untuk melipatgandakan utangnya lima kali lipat. Kini,  saat harga minyak merosot, Venezuela terpaksa terus menjual ribuan ton cadangan emasnya untuk membayar utang. Berikutnya, negara ini terancam gagal bayar.

Lebih dari simpati, krisis Venezuela layak jadi pelajaran. Setidaknya ada satu hikmah dari Venezuela: betapa buruknya bergantung pada impor. Seperti kata Haussmann, untuk mencapai tujuan sosial, lebih baik menggunakan pasar daripada menekannya. Maka, mematok harga komoditas pangan, bukan jalan keluar. Lebih penting mengelola harga pasar agar mendorong produktivitas dan daya saing ekonomi rakyat.

oleh Mesti Sinaga
disadur Kontan, Selasa, 21 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar