Venezuela
adalah ironi yang menyesakkan. Hidup di negeri dengan cadangan minyak bumi
terbesar di dunia, namun rakyatnya harus 'mati' kelaparan. Mereka harus
mengantre berjam-jam, sekadar memperoleh sedikit bahan makanan pokok.
Bayangkan, untuk membeli setangkup roti isi orang harus membayar Rp 3 juta.
Krisis
di Amerika Selatan ini mencapai fase yang begitu buruk. Menurut perkiraan IMF,
hiperinflasi di negara ini mencapai 720% di 2016 dan 1.642% di 2017. Tahun
lalu, ekonomi negara ini kontraksi 5,7% dan tahun ini akan kontraksi 8%.
Seperti ditulis The
Economist, dari 31 juta penduduk Venezuela, 76% kini berada dalam
jurang kemiskinan.
Di
tengah deraan lapar, penjarahan dan kerusuhan pecah di mana-mana. Venezuela
kini jadi negara dengan pembunuhan tertinggi di dunia. Politik pun memanas.
Kepercayaan pada pemimpinnya, Nicolas Maduro, terpuruk ke titik nadir.
Ada
banyak faktor yang membawa Venezuela dalam krisis. Pertama, ketergantungan pada minyak bumi.
Hampir 95% ekspor Venezuela disumbang minyak bumi. Anjloknya harga minyak
dari US$ 140 ke US$ 40 per barel menjadi pukulan telak.
Kedua, Venezuela mengontrol harga berbagai
bahan pokok agar terjangkau. Tapi, produsen memilih berhenti berproduksi atau menjualnya
ke pasar gelap. Untuk memenuhi kebutuhan rakyat, pemerintah impor dan
menjualnya dengan subsidi.
Saat
harga minyak tinggi, semua baik-baik saja. Tapi, begitu harga minyak anjlok,
kekacauan pecah. Subsidi mengikis cadangan devisa. Kini cadangan
devisa tunai Venezuela diperkirakan tinggal US$ 1,5 juta.
Ketiga, agresifnya Venezuela berutang.
Ricardo Hausmann, mantan Menteri Perencanaan Venezuela, dalam tulisannya
"Overdosing on Heterodoxy Can Kill You" menyatakan, alih-alih
menabung, Venezuela justru menggunakan era booming harga minyak 2004-2013 untuk
melipatgandakan utangnya lima kali lipat. Kini, saat harga minyak
merosot, Venezuela terpaksa terus menjual ribuan ton cadangan emasnya untuk
membayar utang. Berikutnya, negara ini terancam gagal bayar.
Lebih
dari simpati, krisis Venezuela layak jadi pelajaran. Setidaknya ada satu hikmah
dari Venezuela: betapa buruknya bergantung pada impor. Seperti kata
Haussmann, untuk mencapai tujuan sosial, lebih baik menggunakan pasar daripada
menekannya. Maka, mematok harga komoditas pangan, bukan jalan keluar. Lebih
penting mengelola harga pasar agar mendorong produktivitas dan daya saing
ekonomi rakyat.
oleh
Mesti Sinaga
disadur
Kontan, Selasa, 21 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar