PERTANYAAN yang
terus menggantung dalam penegakan perda puasa seperti di Kota Serang adalah
tergolong mungkarkah buka warung makan saat siang? Jika tergolong mungkar,
perlukah makanan dan minuman yang dijual pedagang warung tersebut disita?
Tulisan ini
bukannya mempersoalkan perda syariah (baca: puasa). Yang perlu dijernihkan
adalah bagaimana memaknai kemungkaran dan kemakrufan, terutama dalam bulan yang
penuh berkah. Alquran sebagai pencerah kemanusiaan lebih mempromosikan
kemakrufan daripada penghancuran kemungkaran.
Saat miliaran
muslim di seluruh dunia memenuhi kewajiban puasa, itulah bulan penuh berkah dan
ampunan Tuhan yang kebaikannya lebih dari 1.000 bulan. Selama sebulan mereka
berjuang memenuhi hasrat suci laku saleh, bebas tindak mungkar dan maksiat.
Setiap tempat siang di seluruh lorong dan sudut negeri ini menjadi saksi
suasana pembebasan diri dari tindakan maksiat serta kemungkaran tersebut.
Tersedia tiga
pilihan bagi muslim saat melihat kemungkaran seperti hadis berikut. Dari Abu
Sa'id Al-Khudri ra berkata: Aku mendengar Rasul SAW bersabda: ''Barangsiapa
melihat kemungkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu,
dengan lisannya; jika masih tidak mampu, dengan hatinya, tapi itulah
selemah-lemahnya iman'' (HR Muslim).
Hadis nabi yang
sering dirujuk saat menghadapi kemungkaran tersebut menyediakan tiga pilihan:
diubah dengan kekuatan (biyadih; dengan tangan) secara tegas, dengan peringatan
lisan, atau menolak dalam hati. Pilihan ketiga itu menjadi indikasi kualitas
keber-iman-an seseorang yang rendah atau lemah.
Masalahnya,
apakah berjualan makanan dan minuman saat siang selama bulan Ramadan tergolong
kemungkaran? Tidak 100 persen muslim yang balig menjalani puasa karena berbagai
alasan. Perempuan yang sedang menyusui atau datang bulan juga boleh tidak
berpuasa. Demikian pula mereka yang sedang sakit atau bepergian. Layanan bagi
mereka yang tidak berpuasa, baik karena alasan syarak atau bukan muslim, adalah
bagian kemakrufan kemanusiaan.
Dalam hubungan
itulah, berjualan makanan dan minuman saat siang dalam bulan Ramadan bisa
berarti memenuhi kebutuhan mereka yang sedang tidak menjalani puasa. Bukankah
menolong orang lain yang membutuhkan tergolong tindakan makruf atau baik yang
dianjurkan ajaran Islam?
Di situ,
tindakan satpol PP yang menyita dagangan Bu Saeni saat membuka wartegnya ketika
siang pada akhir minggu pertama Ramadan di Kota Serang mengundang perdebatan.
Alasan Bu Saeni dianggap melanggar perda Kota Serang perlu di-tabayyun atau
diklarifikasi lebih dahulu.
Jadi, wajar
jika tindakan satpol PP tersebut mengundang reaksi netizen. Dalam tempo kurang
dari 36 jam, ''tragedi'' Saeni menghasilkan donasi lebih dari Rp 265 juta,
selain bantuan dari Presiden Jokowi.
Pada saat yang
sama, muncul pertanyaan mengenai bagaimana sebenarnya sikap yang lebih tepat
dan arif bagi yang menjalani puasa, juga bagi yang tidak berpuasa, berdasar
beragam alasan?
Setiap datang
bulan puasa, selalu muncul pertanyaan apakah warung, restoran, atau kafe harus
tutup. Bagaimana pedagang dan karyawan warung, restoran, atau kafe harus
memenuhi kebutuhan hidup mereka selama bulan puasa?
Soal ini
mestinya menjadi pertimbangan penetapan peraturan daerah selama bulan puasa.
Apa makna menghormati bulan puasa, bagaimana menjalani ibadah puasa secara baik
dan benar, manusiawi, serta ikhtisaaban (atas dasar iman dan kesadaran)?
Cara mengelola
ketidakpuasaan selalu menjadi persoalan saat memasuki ibadah puasa. Apakah
mereka yang tidak berpuasa harus tidak makan di ruang terbuka sehingga warung
atau restoran mesti tutup?
Bukankah mereka
yang sedang menjalani puasa harus menghormati yang tidak berpuasa? Persoalannya
adalah kesediaan menerima orang lain yang tidak sedang berpuasa apa adanya
sebagai empati kepada sesama dalam sebuah komunitas. Bahkan, bukankah Tuhan
memberi kesempatan iblis untuk menggoda manusia sehingga menjadi pengikutnya?
Sukses puasa
adalah jika berlaku sabar dan berempati kepada sesama, apa pun agama dan
komunitasnya. Mereka yang tidak sedang menjalani ibadah puasa harus diterima
dan dihormati sebagai bagian dari sabar serta empati. Baik karena memang tidak
memeluk ajaran Islam atau sedang berhalangan, safar (bepergian), sakit, atau
alasan lain yang dibenarkan syarak.
Saat Tuhan
memberikan balasan berlipat atas amal ibadah sesuai dengan kesulitan saat
menjalani ibadah, bukankah makin tinggi godaan saat puasa berarti makin tinggi
peluang mendapat bonus pahala? Bukankah orang yang sakit dan pekerja keras
seperti tukang becak boleh berbuka, selain yang safar atau bepergian?
Menghormati
yang tidak berpuasa bersama berjihad menahan nafsu makan saat melihat orang
makan dengan lahap di warung makan merupakan jalan terjal menjemput Tuhan dalam
bulan puasa penuh berkah dan ampunan Allah ini. Berkah kemanusiaan saat kitab
suci diturunkan bagai matahari menerangi muka bumi. Inilah kecerdasan spiritual
berbasis God Spot (lihat Danah Zohar & Ian Marshall), ketika seluruh
tindakan dicerahi sinar ilahi, bukan nafsu kedekatan pada-Nya.
oleh Abdul Munir Mulkan
disadur dari Jawa Pos, Jum'at, 24 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar