Gejolak harga pangan menjelang bulan
puasa menggambarkan banyak hal: produksi, sistem logistik, hingga koordinasi
dan komunikasi pemerintah.
Presiden Joko Widodo sebelum tiba
bulan puasa menyatakan keinginan agar harga sejumlah bahan pangan turun jauh di
bawah harga pasar saat itu. Harga daging sapi, misalnya, ingin diturunkan
menjadi Rp 80.000 per kilogram dari Rp 120.000. Begitu juga harga bawang merah,
gula, dan minyak goreng.
Untuk mencapai target harga
tersebut, pemerintah akhirnya membuka keran impor untuk daging sapi, gula, dan
bawang merah. Namun, memasuki hari kedua bulan puasa, harga bahan pangan yang
menjadi target belum juga turun secara nyata.
Muncul pertanyaan di masyarakat,
mengapa penurunan harga begitu lambat meskipun pemerintah sudah menyatakan
tersedia cukup stok pangan. Pernyataan pemerintah itu seperti tidak memberi
efek pada pasar.
Kementerian Pertanian menyatakan,
pada Juni ini jumlah ketersediaan pangan lebih dari cukup. Minyak goreng serta
telur dan daging ayam tersedia lebih dua kali lipat dari kebutuhan. Persediaan
beras untuk bulan puasa tahun ini dua kali lipat dibandingkan dengan periode
sama tahun lalu. Meski demikian, harga masih bergeming tinggi.
Anomali pasar tersebut menyebabkan
Presiden Joko Widodo memerintahkan Kepala Polri menyelidiki rantai tata niaga.
Tahun lalu, kepolisian juga diperintahkan menyelidiki kemungkinan penimbunan
beras ketika harga terus bergerak naik.
Apabila klaim pemerintah bahwa benar
tersedia cukup cadangan pangan, masalah komunikasi publik dan komunikasi
politik pemerintah menjadi penting. Mengelola pangan bukan hanya urusan
produksi dan rantai distribusi, melainkan juga mengelola ekspektasi masyarakat
karena pangan masih menjadi pengeluaran penting lebih dari separuh rumah tangga
Indonesia.
Komunikasi publik perlu dikelola
untuk meyakinkan masyarakat agar tidak telanjur terbentuk harga psikologis
ataupun memunculkan spekulan yang ikut memainkan harga di pasar. Dalam hal
harga daging sapi, misalnya, tidak terjadi komunikasi bahwa beragam jenis
daging sapi seharusnya berkonsekuensi pada harga yang berbeda-beda pula, tidak
semua berharga sama Rp 80.000. Begitu juga beras, pemerintah sebelumnya
bersikeras mengatakan produksi cukup, tetapi akhir tahun lalu terjadi impor.
Oleh karena itu, diharapkan
pemerintah juga mengelola dengan baik komunikasi politik di antara kementerian
dan lembaga agar tidak muncul kesan masing-masing berjalan sendiri-sendiri.
Begitu pula komunikasi dengan para akademisi dan pembentuk opini di masyarakat.
disadur dari Kompas, Rabu, 8 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar