Editors Picks

Rabu, 08 Juni 2016

Komunikasi Publik Bahan Pangan



Gejolak harga pangan menjelang bulan puasa menggambarkan banyak hal: produksi, sistem logistik, hingga koordinasi dan komunikasi pemerintah.

Presiden Joko Widodo sebelum tiba bulan puasa menyatakan keinginan agar harga sejumlah bahan pangan turun jauh di bawah harga pasar saat itu. Harga daging sapi, misalnya, ingin diturunkan menjadi Rp 80.000 per kilogram dari Rp 120.000. Begitu juga harga bawang merah, gula, dan minyak goreng.

Untuk mencapai target harga tersebut, pemerintah akhirnya membuka keran impor untuk daging sapi, gula, dan bawang merah. Namun, memasuki hari kedua bulan puasa, harga bahan pangan yang menjadi target belum juga turun secara nyata.

Muncul pertanyaan di masyarakat, mengapa penurunan harga begitu lambat meskipun pemerintah sudah menyatakan tersedia cukup stok pangan. Pernyataan pemerintah itu seperti tidak memberi efek pada pasar.

Kementerian Pertanian menyatakan, pada Juni ini jumlah ketersediaan pangan lebih dari cukup. Minyak goreng serta telur dan daging ayam tersedia lebih dua kali lipat dari kebutuhan. Persediaan beras untuk bulan puasa tahun ini dua kali lipat dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Meski demikian, harga masih bergeming tinggi.

Anomali pasar tersebut menyebabkan Presiden Joko Widodo memerintahkan Kepala Polri menyelidiki rantai tata niaga. Tahun lalu, kepolisian juga diperintahkan menyelidiki kemungkinan penimbunan beras ketika harga terus bergerak naik.

Apabila klaim pemerintah bahwa benar tersedia cukup cadangan pangan, masalah komunikasi publik dan komunikasi politik pemerintah menjadi penting. Mengelola pangan bukan hanya urusan produksi dan rantai distribusi, melainkan juga mengelola ekspektasi masyarakat karena pangan masih menjadi pengeluaran penting lebih dari separuh rumah tangga Indonesia.

Komunikasi publik perlu dikelola untuk meyakinkan masyarakat agar tidak telanjur terbentuk harga psikologis ataupun memunculkan spekulan yang ikut memainkan harga di pasar. Dalam hal harga daging sapi, misalnya, tidak terjadi komunikasi bahwa beragam jenis daging sapi seharusnya berkonsekuensi pada harga yang berbeda-beda pula, tidak semua berharga sama Rp 80.000. Begitu juga beras, pemerintah sebelumnya bersikeras mengatakan produksi cukup, tetapi akhir tahun lalu terjadi impor.

Oleh karena itu, diharapkan pemerintah juga mengelola dengan baik komunikasi politik di antara kementerian dan lembaga agar tidak muncul kesan masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Begitu pula komunikasi dengan para akademisi dan pembentuk opini di masyarakat.

disadur dari Kompas, Rabu, 8 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar