Editors Picks

Selasa, 28 Juni 2016

Peringatan Brexit untuk Indonesia



Banyak pengamat di Indonesia menyatakan bahwa peristiwa Brexit tidak relevan untuk Indonesia. Saya tidak setuju. Ketidaksetujuan saya berdasarkan perspektif sosio-historis jangka panjang.

Uni Eropa dan Indonesia dapat dilihat sebagai produk historis dari kecenderungan yang serupa: suatu upaya untuk membangun entitas yang melampaui determinasi setempat dan melahirkan realitas politik baru yang lebih majemuk nan "universal". Di Indonesia, asumsinya ialah latar belakang sosio-kultural kemelayuan, ditambah dengan kesatuan politik kolonial, merupakan landasan obyektif yang cukup kokoh untuk melampaui sejarah permusuhan, perbedaan bahasa dan agama dari suku-suku Nusantara. Didirikan atas asumsi ini, Indonesia lalu dibekali dan diperkokoh dengan perangkat ideologis kebersamaan (Pancasila-Bhinneka Tunggal Ika) yang cukup ampuh. Hasilnya relatif sukses. Dibantu penjalinan ekonomi yang semakin erat, Indonesia kini tampil, secara luar, sebagai negara yang bangunan semakin kuat dan di mana aneka lapis identitas (agama, suku, bahasa, ras, dan lain-lain) dapat berkoeksistensi di bawah naungan kebangsaan yang tunggal.

Sejarah konstruksi Eropa beranjak dari pikiran yang serupa. Asumsi dasarnya ialah bahwa kebersamaan nilai politik (demokrasi), eratnya hubungan ekonomi di antara negara sesama maju, serta kebersamaan kultural tertentu (latar belakang Kristen yang tersekularisasi) merupakan dasar obyektif yang cukup kuat, apabila direkayasa dengan jitu, untuk melampaui batasan yang terlahir dari nasionalisme sempit dan identitas kultural bangsa-bangsa lokal. Jadi tujuan para pendiri Uni Eropa ialah membangun suatu entitas baru-semacam federasi bangsa-di mana identitas nasional lokal (Perancis, Jerman, Inggris, Belanda, dan lainnya) berdampingan tanpa masalah dengan identitas Eropa. Namun, dan menariknya jika dibandingkan dengan Indonesia, peran yang diberikan pada ideologi kebersamaan adalah minor. Hanya demokrasi yang dikedepankan. Di Eropa, yang diharapkan bakal menjadi unsur pemersatu utama ialah ekonomi, diperkokoh oleh keadilan sosial, sesuai dengan angan-angan social democracy.

Ternyata sejarah tidak mengenal asumsi. Kita bisa mempelajari banyak hal dari Referendum Inggris, termasuk untuk Indonesia. Yang pertama ialah bahwa napas sejarah sangatlah panjang. Yang tak terpikirkan bagi suatu generasi bisa menjadi kenyataan generasi-generasi berikut. Di Eropa, 10 tahun yang lalu, tak terbayangkan bahwa gerakan ultra-nasionalis (UKIP di Inggris, Front Nasional di Perancis dan Pegida di Jerman) bisa turut menentukan agenda politik dan mengancam eksistensi Uni Eropa. Tetapi, impian buruk kini sudah menjadi kenyataan. Demikian pula di Indonesia. Bukankah identitas religius kini kerap dianggap lebih utama, dalam kehidupan sosial, dari identitas kebangsaan? Suatu impian buruk bagi mereka yang memimpikan suatu Indonesia yang majemuk, adil, dan makmur.

Namun, apabila hal-hal di atas ini sampai terjadi, bukanlah secara kebetulan. Di Eropa, angan-angan kebersamaan yang dibangun atas dasar suatu ekonomi yang dinamis nan berkeadilan sosial tinggi berbenturan dengan situasi di mana kapitalisme global memperluas jarak sosial miskin-kaya serta mempermiskin rakyat kecil dengan membuatnya terpaksa bersaing dengan buruh-buruh asing atau keturunan asing di negaranya sendiri-dan, secara tidak langsung, di negara berkembang. Tidak mengherankan jika hal ini mengancam posisi partai-partai sosial-demokrat sebagai wakil dari rakyat kecil dan sebaliknya menguntungkan posisi partai-partai ultra-kanan yang anti asing, bahkan kerap rasis. Xenofobia menjadi wajah dari resistensi terhadap kapitalisme global.

Sudah jelas bahwa yang terjadi di Eropa dan Inggris dengan Brexit-nya merupakan pelajaran bagi Indonesia. Pertama, persatuan suatu entitas/bangsa majemuk tidak pernah selesai. Harus senantiasa menjaga keseimbangan struktural di antara semua komponennya. Kedua, pertumbuhan ekonomi an sich tidak cukup untuk menjamin persatuan-pertumbuhan Inggris relatif tinggi. Jadi, apabila bentuk Indonesia dari kapitalisme global gagal melahirkan rasa kebersamaan yang berkeadilan dan sebaliknya mempertajam ketegangan antarkelompok (kelas sosial, suku, pulau, agama, ras), tak mustahil-bahkan sudah mulai terjadi-bahwa "agama" (atau etno-nasionalisme di dalam beberapa kasus), akan, secara sadar atau tidak sadar, menjelma menjadi "bahasa perlawanan" terhadap kapitalisme tersebut.

Yang jelas, kalau suatu masyarakat gagal mengelola kompleksitas sosialnya, ia bisa saja melahirkan badut rasis (Farage, Le Pen) yang tak mustahil menjadi monster. Di Indonesia, hati-hati dengan calon badut yang sudah memperlihatkan batang hidung sucinya.

oleh Jean Couteau 
disadur dari Kompas, Minggu, 26 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar