Banyak pengamat di Indonesia
menyatakan bahwa peristiwa Brexit tidak relevan untuk Indonesia. Saya tidak
setuju. Ketidaksetujuan saya berdasarkan perspektif sosio-historis jangka
panjang.
Uni Eropa dan Indonesia dapat
dilihat sebagai produk historis dari kecenderungan yang serupa: suatu upaya
untuk membangun entitas yang melampaui determinasi setempat dan melahirkan
realitas politik baru yang lebih majemuk nan "universal". Di
Indonesia, asumsinya ialah latar belakang sosio-kultural kemelayuan, ditambah
dengan kesatuan politik kolonial, merupakan landasan obyektif yang cukup kokoh
untuk melampaui sejarah permusuhan, perbedaan bahasa dan agama dari suku-suku
Nusantara. Didirikan atas asumsi ini, Indonesia lalu dibekali dan diperkokoh
dengan perangkat ideologis kebersamaan (Pancasila-Bhinneka Tunggal Ika) yang
cukup ampuh. Hasilnya relatif sukses. Dibantu penjalinan ekonomi yang semakin
erat, Indonesia kini tampil, secara luar, sebagai negara yang bangunan semakin
kuat dan di mana aneka lapis identitas (agama, suku, bahasa, ras, dan
lain-lain) dapat berkoeksistensi di bawah naungan kebangsaan yang tunggal.
Sejarah konstruksi Eropa beranjak
dari pikiran yang serupa. Asumsi dasarnya ialah bahwa kebersamaan nilai politik
(demokrasi), eratnya hubungan ekonomi di antara negara sesama maju, serta
kebersamaan kultural tertentu (latar belakang Kristen yang tersekularisasi)
merupakan dasar obyektif yang cukup kuat, apabila direkayasa dengan jitu, untuk
melampaui batasan yang terlahir dari nasionalisme sempit dan identitas kultural
bangsa-bangsa lokal. Jadi tujuan para pendiri Uni Eropa ialah membangun suatu
entitas baru-semacam federasi bangsa-di mana identitas nasional lokal
(Perancis, Jerman, Inggris, Belanda, dan lainnya) berdampingan tanpa masalah
dengan identitas Eropa. Namun, dan menariknya jika dibandingkan dengan
Indonesia, peran yang diberikan pada ideologi kebersamaan adalah minor. Hanya
demokrasi yang dikedepankan. Di Eropa, yang diharapkan bakal menjadi unsur
pemersatu utama ialah ekonomi, diperkokoh oleh keadilan sosial, sesuai dengan
angan-angan social democracy.
Ternyata sejarah tidak mengenal
asumsi. Kita bisa mempelajari banyak hal dari Referendum Inggris, termasuk
untuk Indonesia. Yang pertama ialah bahwa napas sejarah sangatlah panjang. Yang
tak terpikirkan bagi suatu generasi bisa menjadi kenyataan generasi-generasi
berikut. Di Eropa, 10 tahun yang lalu, tak terbayangkan bahwa gerakan
ultra-nasionalis (UKIP di Inggris, Front Nasional di Perancis dan Pegida di
Jerman) bisa turut menentukan agenda politik dan mengancam eksistensi Uni
Eropa. Tetapi, impian buruk kini sudah menjadi kenyataan. Demikian pula di
Indonesia. Bukankah identitas religius kini kerap dianggap lebih utama, dalam
kehidupan sosial, dari identitas kebangsaan? Suatu impian buruk bagi mereka
yang memimpikan suatu Indonesia yang majemuk, adil, dan makmur.
Namun, apabila hal-hal di atas ini
sampai terjadi, bukanlah secara kebetulan. Di Eropa, angan-angan kebersamaan
yang dibangun atas dasar suatu ekonomi yang dinamis nan berkeadilan sosial tinggi
berbenturan dengan situasi di mana kapitalisme global memperluas jarak sosial
miskin-kaya serta mempermiskin rakyat kecil dengan membuatnya terpaksa bersaing
dengan buruh-buruh asing atau keturunan asing di negaranya sendiri-dan, secara
tidak langsung, di negara berkembang. Tidak mengherankan jika hal ini mengancam
posisi partai-partai sosial-demokrat sebagai wakil dari rakyat kecil dan
sebaliknya menguntungkan posisi partai-partai ultra-kanan yang anti asing,
bahkan kerap rasis. Xenofobia menjadi wajah dari resistensi terhadap
kapitalisme global.
Sudah jelas bahwa yang terjadi di
Eropa dan Inggris dengan Brexit-nya merupakan pelajaran bagi Indonesia.
Pertama, persatuan suatu entitas/bangsa majemuk tidak pernah selesai. Harus
senantiasa menjaga keseimbangan struktural di antara semua komponennya. Kedua,
pertumbuhan ekonomi an sich tidak cukup untuk menjamin persatuan-pertumbuhan
Inggris relatif tinggi. Jadi, apabila bentuk Indonesia dari kapitalisme global
gagal melahirkan rasa kebersamaan yang berkeadilan dan sebaliknya mempertajam
ketegangan antarkelompok (kelas sosial, suku, pulau, agama, ras), tak
mustahil-bahkan sudah mulai terjadi-bahwa "agama" (atau
etno-nasionalisme di dalam beberapa kasus), akan, secara sadar atau tidak
sadar, menjelma menjadi "bahasa perlawanan" terhadap kapitalisme
tersebut.
Yang jelas, kalau suatu masyarakat
gagal mengelola kompleksitas sosialnya, ia bisa saja melahirkan badut rasis
(Farage, Le Pen) yang tak mustahil menjadi monster. Di Indonesia, hati-hati
dengan calon badut yang sudah memperlihatkan batang hidung sucinya.
oleh Jean Couteau
disadur dari Kompas, Minggu, 26 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar