Tata niaga pangan yang buruk belum dibenahi. Rantai distribusi yang panjang masih terjadi pada beberapa komoditas sehingga harga pangan mahal. Akibatnya, petani dan peternak yang menjadi produsen pangan belum diuntungkan meski harga melonjak.
Beberapa
petani yang ditemui Kompas
sejak pekan lalu dan Senin (6/6) mengatakan, harga pangan yang melonjak tak
pernah mereka nikmati. Masalah ini muncul karena rantai distribusi komoditas
sangat panjang.
Peternak
sapi potong di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, mengatakan, kenaikan harga
daging sapi di pasar sebenarnya merupakan kesempatan emas bagi peternak, tetapi
mereka tak bisa menikmati kenaikan ini.
“Sebagai
peternak sapi kategori kecil, dengan jumlah sapi pemeliharaan di bawah 50 ekor,
kami tidak pernah menikmati harga sapi tinggi,” ujar Ardiansyah peternak sapi
di Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran.
Peternak
sapi lain di Desa Polosiri, Kecamatan Bawen, Suparyanto, mengatakan, kenaikan,
harga daging sapi hanya dinikmati pedagang, baik pedagang sapi di pasar hewan
maupun pedagang daging di pasar.
“Pekan
lalu saya membawa enam ekor sapi ke Pasar Hewan Ambarawa, Kabupaten Semarang.
Bobot sapi yang saya bawa 450 kilogram sampai 550 kg dengan harga per ekor Rp
21 Juta. Ternyata, sapi terkecil saya malah ditawar pedagang Rp 18 juta,
akhirnya saya bawa pulang lagi,” kata Suparyanto, yang memperlihatkan posisi
pedagang menekanpetani.
Peternak,
menurut Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf, tidak
menikmati kenaikan itu akibat rantai distribusi daging sapi yang sangat
panjang.
“Dari
penggemukan ke rumah potong hewan (RPH) biasanya ada perantara. Dari RPH ke
pasar juga ada perantara lagi dan baru kemudian ke konsumen. Rantai distribusi
ini sangat panjang dan menyebabkan harga sangat mahal,” katanya.
Sementara
itu, masih tingginya harga eceran bawang merah tidak sebanding dengan harga di
tingkat petani. Saat ini, harga bawang merah di tingkat petani di wilayah
Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, hanya sekitar Rp 16.000 per kg. Namun, harga
bawang merah eceran di wilayah Brebes dan sekitarnya, termasuk di Kota Tegal,
masih Rp 30.000-Rp 32.000 per kg.
Asosiasi
Bawang Merah Indonesia (ABMI) menduga adanya perbedaan harga yang tinggi akibat
tidak efektifnya rantai perdagangan bawang merah.
Ketua
ABMI Juwari mengatakan, rantai perdagangan bawang merah dari petani melewati
sedikitnya lima tahap, yaitu calo di desa, pedagang penebas atau pengepul di
desa dan kecamatan (pedagang yang menaksir harga di sawah dan membelinya secara
borongan), kemudian pedagang besar yang siap mengirim bawang merah ke luar
daerah.
Setelah
dari pedagang besar, bawang merah dikirim ke luar daerah, misalnya Pasar
Kramatjati, dan kemudian diterima oleh bandar bawang merah dikirim ke luar
daerah, misalnya Pasar Kramatjati, dan kemudian diterima oleh bandar bawang
merah. Dari bandar kemudian dilanjutkan ke pedagang grosir, dan baru berlanjut
ke pedagang eceran.
“Itu
untuk rantai perdagangan bawang merah ke luar daerah. Kalau untuk lokal Brebes
dan sekitarnya lebih pendek, dari pedagang besar langsung ke pedagang grosir
atau pengecer,” katanya.
Menurut
dia, apabila di setiap tahapan diambil keuntungan Rp 1.000-Rp 2.000 per kg,
akan terjadi selisih yang cukup besar antara harga di petani dan harga eceran.
Pedagang bertambah
Kenaikan
harga daging ayam yang tinggi di tingkat konsumen disebut oleh peternak karena
bertambah panjangnya rantai perdagangan dari peternak. Pada masa biasa, rantai
perdagangan melalui 3-5 pedagang, kini menjadi tujuh pedagang perantara.
Kondisi ini terutama terjadi untuk pengiriman ke kota-kota besar, seperti
Semarang, Solo, dan Yogyakarta.
“Banyak
pedagang perantara dadakan yang masuk ke rantai distribusi memanfaatkan
kenaikan permintaan. Kami tidak bisa intervensi soal itu,” ujar Agus Hartono,
peternak di Kabupaten Banyumas yang kapasitas kandangnya sekitar 50.000 ekor.
Ketua
Dewan Ekonomi Perunggasan Jateng Gembong Heru Nugroho mengatakan, mahalnya
harga daging ayam terlalu panjang. Biasanya, dari peternak dijual ke pedagang
besar, kemudian dijual ke pedagang kecil. Selanjutnya ke pasar, pengecer,
sampai akhirnya kepada konsumen.
Membenahi
Dari
berbagai komoditas itu, terlihat tata niaganya belum dibenahi. Kehadiran
pedagang perantara dalam jumlah banyak mudah ditemui di hampir semua komoditas.
Akibatnya, harga di konsumen makin mahal.
Menurut
Syarkawi, pemerintah harus menyederhanakan dan menertibkan rantai distribusi
komoditas pangan untuk menekan harga pangan.
Sementara
itu, Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti mengatakan, pihaknya masih
terus memantau distribusi pangan.
Sementara
itu, terkait dengan keinginan Presiden Joko Widodo untuk menurunkan harga
daging hingga Rp 80.000 per kg, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Sarjana
Pertanian Indonesia Yeka Hendra Fatika mempertanyakan dasar penetapan harga
tersebut.
“Apakah
penetapan harga daging sapi Rp 80.000 per kg sudah memperhitungkan biaya
produksi daging sapi lokal? Bagaimana dampaknya kepada peternak, penjagal, dan
pelaku usaha peternakan lainnya?” tanyanya.
Produksi
gula yang terlambat, selain terjadi di Jawa Timur, juga terjadi di Lampung
sehingga harga gula naik. “Kami biasanya memulai musim tebang dan giling pada
pertengahan April. Baru kali ini kami jadwal giling mundur hingga 11 Mei,” ujar
Koordinator Humas PT Gunung Madu Plantation Hapris Jawodo. Kepala Bagian
Tanaman PT Perkebunan Nusantara VII Christian Priyo juga mengatakan, jadwal
masa giling mundur hingga satu bulan.
Sementara
itu, Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan DKI Jakarta memastikan,
mulai 11 Juni stok daging sapi beku di PD Dharma Jaya akan bertambah.
Stok
250 ton dari Selandia Baru dijadwalkan tiba dan akan menambah stok daging sapi
akan digelontorkan ke pasar-pasar tradisional di wilayah Jakarta untuk
penjagaan harga sepanjang puasa dan menjelang Lebaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar