Editors Picks

Rabu, 08 Juni 2016

Tata Niaga Pangan Belum Dibenahi




Tata niaga pangan yang buruk belum dibenahi. Rantai distribusi yang panjang masih terjadi pada beberapa komoditas sehingga harga pangan mahal. Akibatnya, petani dan peternak yang menjadi produsen pangan belum diuntungkan meski harga melonjak.

Beberapa petani yang ditemui Kompas sejak pekan lalu dan Senin (6/6) mengatakan, harga pangan yang melonjak tak pernah mereka nikmati. Masalah ini muncul karena rantai distribusi komoditas sangat panjang.

Peternak sapi potong di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, mengatakan, kenaikan harga daging sapi di pasar sebenarnya merupakan kesempatan emas bagi peternak, tetapi mereka tak bisa menikmati kenaikan ini.

“Sebagai peternak sapi kategori kecil, dengan jumlah sapi pemeliharaan di bawah 50 ekor, kami tidak pernah menikmati harga sapi tinggi,” ujar Ardiansyah peternak sapi di Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran.

Peternak sapi lain di Desa Polosiri, Kecamatan Bawen, Suparyanto, mengatakan, kenaikan, harga daging sapi hanya dinikmati pedagang, baik pedagang sapi di pasar hewan maupun pedagang daging di pasar.

“Pekan lalu saya membawa enam ekor sapi ke Pasar Hewan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Bobot sapi yang saya bawa 450 kilogram sampai 550 kg dengan harga per ekor Rp 21 Juta. Ternyata, sapi terkecil saya malah ditawar pedagang Rp 18 juta, akhirnya saya bawa pulang lagi,” kata Suparyanto, yang memperlihatkan posisi pedagang menekanpetani.

Peternak, menurut Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf, tidak menikmati kenaikan itu akibat rantai distribusi daging sapi yang sangat panjang.
“Dari penggemukan ke rumah potong hewan (RPH) biasanya ada perantara. Dari RPH ke pasar juga ada perantara lagi dan baru kemudian ke konsumen. Rantai distribusi ini sangat panjang dan menyebabkan harga sangat mahal,” katanya.

Sementara itu, masih tingginya harga eceran bawang merah tidak sebanding dengan harga di tingkat petani. Saat ini, harga bawang merah di tingkat petani di wilayah Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, hanya sekitar Rp 16.000 per kg. Namun, harga bawang merah eceran di wilayah Brebes dan sekitarnya, termasuk di Kota Tegal, masih Rp 30.000-Rp 32.000 per kg.

Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) menduga adanya perbedaan harga yang tinggi akibat tidak efektifnya rantai perdagangan bawang merah.

Ketua ABMI Juwari mengatakan, rantai perdagangan bawang merah dari petani melewati sedikitnya lima tahap, yaitu calo di desa, pedagang penebas atau pengepul di desa dan kecamatan (pedagang yang menaksir harga di sawah dan membelinya secara borongan), kemudian pedagang besar yang siap mengirim bawang merah ke luar daerah.

Setelah dari pedagang besar, bawang merah dikirim ke luar daerah, misalnya Pasar Kramatjati, dan kemudian diterima oleh bandar bawang merah dikirim ke luar daerah, misalnya Pasar Kramatjati, dan kemudian diterima oleh bandar bawang merah. Dari bandar kemudian dilanjutkan ke pedagang grosir, dan baru berlanjut ke pedagang eceran.

“Itu untuk rantai perdagangan bawang merah ke luar daerah. Kalau untuk lokal Brebes dan sekitarnya lebih pendek, dari pedagang besar langsung ke pedagang grosir atau pengecer,” katanya.

Menurut dia, apabila di setiap tahapan diambil keuntungan Rp 1.000-Rp 2.000 per kg, akan terjadi selisih yang cukup besar antara harga di petani dan harga eceran.

Pedagang bertambah
Kenaikan harga daging ayam yang tinggi di tingkat konsumen disebut oleh peternak karena bertambah panjangnya rantai perdagangan dari peternak. Pada masa biasa, rantai perdagangan melalui 3-5 pedagang, kini menjadi tujuh pedagang perantara. Kondisi ini terutama terjadi untuk pengiriman ke kota-kota besar, seperti Semarang, Solo, dan Yogyakarta.

“Banyak pedagang perantara dadakan yang masuk ke rantai distribusi memanfaatkan kenaikan permintaan. Kami tidak bisa intervensi soal itu,” ujar Agus Hartono, peternak di Kabupaten Banyumas yang kapasitas kandangnya sekitar 50.000 ekor.

Ketua Dewan Ekonomi Perunggasan Jateng Gembong Heru Nugroho mengatakan, mahalnya harga daging ayam terlalu panjang. Biasanya, dari peternak dijual ke pedagang besar, kemudian dijual ke pedagang kecil. Selanjutnya ke pasar, pengecer, sampai akhirnya kepada konsumen.

Membenahi
Dari berbagai komoditas itu, terlihat tata niaganya belum dibenahi. Kehadiran pedagang perantara dalam jumlah banyak mudah ditemui di hampir semua komoditas. Akibatnya, harga di konsumen makin mahal.

Menurut Syarkawi, pemerintah harus menyederhanakan dan menertibkan rantai distribusi komoditas pangan untuk menekan harga pangan.

Sementara itu, Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti mengatakan, pihaknya masih terus memantau distribusi pangan.

Sementara itu, terkait dengan keinginan Presiden Joko Widodo untuk menurunkan harga daging hingga Rp 80.000 per kg, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia Yeka Hendra Fatika mempertanyakan dasar penetapan harga tersebut.

“Apakah penetapan harga daging sapi Rp 80.000 per kg sudah memperhitungkan biaya produksi daging sapi lokal? Bagaimana dampaknya kepada peternak, penjagal, dan pelaku usaha peternakan lainnya?” tanyanya.

Produksi gula yang terlambat, selain terjadi di Jawa Timur, juga terjadi di Lampung sehingga harga gula naik. “Kami biasanya memulai musim tebang dan giling pada pertengahan April. Baru kali ini kami jadwal giling mundur hingga 11 Mei,” ujar Koordinator Humas PT Gunung Madu Plantation Hapris Jawodo. Kepala Bagian Tanaman PT Perkebunan Nusantara VII Christian Priyo juga mengatakan, jadwal masa giling mundur hingga satu bulan.

Sementara itu, Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan DKI Jakarta memastikan, mulai 11 Juni stok daging sapi beku di PD Dharma Jaya akan bertambah.
Stok 250 ton dari Selandia Baru dijadwalkan tiba dan akan menambah stok daging sapi akan digelontorkan ke pasar-pasar tradisional di wilayah Jakarta untuk penjagaan harga sepanjang puasa dan menjelang Lebaran.

disadur dari Kompas, Selasa, 7 Juni 2016 
versi bahasa Inggris, dapat dilihat pada entry selanjutnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar