Editors Picks

Rabu, 27 Juli 2016

Fitri dengan Mengalami-Nya



Jika Anda bersama keluarga atau teman-teman makan di restoran untuk makan bersama secara prasmanan, apakah Anda akan memesan masakan dengan porsi sesuai dengan jumlah anggota rombongan? Mungkin hampir tidak pernah.

Kita akan pesan porsi lebih dari kebutuhan atau porsi jumlah rombongan sehingga kerap di usai makan bersama beberapa sajian tersisa, bahkan cukup banyak. Lalu beberapa orang dengan "sukarela" coba menghabiskan walau mungkin perutnya sudah penuh.

Begitu pula jika kita menyelenggarakan buka bersama atau halal-bihalal, makanan akan dipesan porsi yang dilebihkan. Bukankah begitu dengan jumlah pakaian Anda? Mungkin Anda sudah memiliki koleksi yang bisa dipakai bertukar ganti untuk seminggu, tetapi Anda akan membeli lagi, hingga mungkin bisa untuk berganti-ganti untuk dua minggu atau sebulan. Bukankah banyak wanita masih terus memburu butik, toko baju, atau sale! walau koleksinya sudah satu lemari.

Kita adalah manusia dan masyarakat yang berlebih. Tetapi bukan dalam arti pahala, sosial maupun religius, atau harta dan kuasanya. Namun, berlebih dalam mengkonsumsi, tepatnya berlebih dalam memenuhi hasrat atau libido biologis dan mental kita. Inilah satu gaya atau cara hidup yang saya sebut eksesif, yang sesungguhnya menjadi akibat lanjut dari logika, praktik dan penetrasi industri berbasis ideologi kapitalistik.

Bukankah kita kerap mendengar terjadi antrean yang begitu panjang di sebuah toko saat diumumkannya new release, new series, atau new trend dari produk industri tertentu? Mungkin Anda pernah mengisi salah satu titik dari antrean itu.

Sebuah riset yang dilakukan perusahaan gawai ternama dunia, mengumumkan hasil risetnya di Indonesia, ternyata jumlah pemilik gawai modern di negeri ini mencapai lebih dari 330 juta. Dengan masih adanya sebagian penduduk yang tidak mampu membeli atau mengakses perangkat terkini itu, bisa jadi negeri ini memiliki angka statistik dua gawai per kapita. Di mana lebih dari 50 persen dari pemilik itu mengganti gawainya sekali dalam setahun, bukan karena rusak, melainkan karena ketinggalan zaman oleh new edition tadi.

Hidup eksesif itu tentu bisa kita amati di tiap item yang ada di tubuh kita, atau di dalam rumah kita. Gaya dan perilaku itu pun bisa menerobos keluar dari hal-hal yang material dan konsumtif, tetapi juga pada jabatan, kekuasaan, keuntungan, ketenaran, dan seterusnya.

Kelebihan yang "kurang"
Dalam arus kuat semacam tsunami halus itu, kita bersama masih menjalankan satu perintah agama untuk melakukan puasa di bulan Ramadhan. Satu jenis ibadah yang kita mafhumi maksudnya, antara lain untuk mengerem atau mengontrol nafsu dan ambisi kita yang eksesif itu. Namun, sayang, dalam kenyataan hal yang bertentangan justru terjadi. Pengeluaran kita untuk Ramadhan-apalagi menjelang Lebaran (Idul Fitri)-membengkak berkali lipat, yang bahkan tunjangan hari raya (THR) pun tidak mampu mengatasinya sehingga kita pun berkejaran usaha sampingan kanan-kiri untuk mendapatkan "THR-THR" lain, bahkan dengan cara yang mengkhianati puasa itu sendiri.

Apa yang diajarkan puasa atau Ramadhan sebenarnya lebih dari sekadar mengerem atau mengontrol, katakanlah mencukupkan kebutuhan kita. Justru Islam dan Nabi-nya yang mulia meminta dan mencontohkan untuk hidup yang "kurang". Artinya di bawah kecukupan. Jika kita biasa makan tiga-empat kali, plus jajan kanan-kiri, di bulan Ramadhan kita diminta hanya makan dua kali. Kita diajarkan mengurangi nafsu di balik pandangan, pendengaran, hingga tidur malam yang terlalu lelap dan lama.

Inilah sebuah imperasi personal yang juga sosial, kultural, dan spiritual untuk kita bisa menghadapi dan mengatasi kehidupan keras (akibat praktik industrial/kapitalisme di atas, misalnya) yang ternyata sudah diprediksi satu setengah milenium lalu itu. Dan, ternyata hidup kurang itu tidak mengurangi apa pun dari hidup yang biasa kita jalani selama ini. Hidup kurang akan membuat "pendapatan" kita pun menjadi mendapatkan lebihan.

Lebihan ini, secara masif, apalagi ditambah rezeki "tambahan Ramadhan" menjadi harta atau potensi yang luar biasa untuk, misalnya digunakan dengan tujuan-tujuan bermanfaat bagi lain orang (masyarakat). Mulai dari memberi infak, zakat, santunan, beasiswa, hingga turut membantu proses pembangunan dengan membeli saham, sukuk, obligasi negara atau bergotong royong membangun jembatan, tanpa menunggu DPRD mengalokasikannya dalam APBD. Atau sekurangnya menjadi simpanan masa depan anak, tanpa harus terjerat dalam skema rumit lembaga-lembaga keuangan.

Apa yang lebih dahsyat, nafsu eksesif untuk mendapatkan lebih dan lebih yang tidak dipraktikkan itu akan menciptakan ruang lebar bagi orang lain-yang lebih membutuhkan-untuk mengambil peluang atau rezeki itu. Bukan hanya pemerataan dan pemberdayaan publik yang terjadi, tetapi juga kesejahteraan kolektif yang kemudian menjadi efeknya. Bahkan ia berpotensi menjadi preseden di mana kesejahteraan kolektif itu diciptakan lebih oleh publik ketimbang kebijakan pemerintah/negara.

Di tingkat personal ia akan menciptakan kenyamanan batin dan pikiran karena kita telah melakukan sesuatu yang mulia. Bahkan mungkin melebihi apa yang dilakukan oleh para penguasa, petinggi, dan elite lainnya. Puasa jauh lebih dalam makna fungsi sosial, kultural, hingga spiritualnya.

Apa yang jauh lebih dahsyat lagi bisa kita dapat dari praktik ibadah di atas, peng-"kurang"-an apa yang kita ambil atau rebut (paksa atau tidak) dari kehidupan material itu akan mengangkat kita pada capaian imaterial yang lebih dalam di hati atau batin kita. Hidup kurang yang ternyata tak kurang itu segera memberi kita tidak hanya pemahaman, pengalaman, tetapi kedekatan pada hal-hal yang imaterial, baik itu hati nurani hingga hal-hal bersifat supranatural atau spiritual.

Sebagaimana diajarkan oleh banyak tradisi spiritual di mana pun, juga agama-agama di dunia, praksis hidup yang kurang menjadi semacam ritus atau proses kita mencuci diri. Membersihkan kotoran-kotoran atau kecenderungan-kecenderungan satanik dalam diri kita yang negatif dan destruktif. Apa yang dibersihkan sebenarnya adalah setapak jalan menuju kedalaman hati kita sendiri, yang selama ini berkelambu atau tertutup oleh layer-layer kotor dari perilaku, cara berpikir, sikap hidup kita yang penuh nafsu dan amarah.

Inilah sebenarnya inti jihad itu. Jihad adalah sebuah perjalanan, yang memang tidak mudah bahkan sulit sekali, tetapi sekali kita mampu menjalaninya dengan ikhlas dan istiqamah, kita akan mendapat semacam terang (enlightment) karena jalan menuju hati yang ilahiah itu kini mulai terbuka. Jiwa dan pikiran pun mantap menjalaninya karena kenyamanan itu seperti siraman kesejukan dari gersang di batin kita yang begitu lama.

Hal itu terjadi jika sikap hidup kurang itu tak hanya dipraktikkan dalam Ramadhan. Ramadhan, menurut banyak kalangan, adalah sebuah latihan untuk hidup dengan amalan yang baik. Tapi kenapa latihan itu kita lakukan bertahun-tahun, puluhan bahkan selamanya dengan cara dan kualitas yang sama, tanpa terwujudnya peningkatan kesalehan, baik secara sosial maupun spiritual? Mungkin bagus sekali jika bertemu akhir Ramadhan kita mempraktikkan apa yang sudah kita latih. Islam pun akan hidup tidak dalam bunyi yang keras, apalagi membentak, yang dilantangkan jutaan pelantang suara, dalam slogan atau tawaran kesucian yang menyesatkan, tetapi dalam ketenangan yang mendamaikan, dalam pergolakan yang terjadi di dalam diri tiap umat, bukan di luarnya.

Aku fitri bersama-Nya
Masih ada yang lebih penting dari itu semua. Di hari-hari akhir puasa, saat menjelang Lebaran, praktik puasa di atas yang dijalani dengan ikhlas, istiqamah, dan tawaddu akan memberi kita sebuah saat atau momen di mana hidup kurang yang teguh, konsisten, dan ikhlas itu dapat "pelengkap" kekurangannya. Ia bukan satu hal yang bisa dilihat, didengar, apalagi dimaterialisasi bahkan oleh pikiran (logika).

Pelengkap itu adalah sebuah pengalaman monumental, di mana kita seakan mendapatkan cahaya yang tidak hanya menciptakan terang (bagi kegelapan jalan ke hati), bahkan karena saking terangnya ia seperti melenyapkan diri (eksistensi) kita. Kita mendapatkan momen untuk mengalami-Nya, bersama-Nya, dengan kesadaran kemanusiaan kita yang terintegrasi, tidak hanya akal, jiwa, batin, tetapi juga tubuh hingga kenyataan sosial kita. Kita menyatu-diri begitu kuatnya sehingga yang tinggal adalah sesuatu yang tak terlenyapkan, sesuatu yang juga ada dalam alam natur(al) hingga supranatural. Kita seperti hilang, tetapi sesungguhnya menyatu dengan semua itu.

Maka, Lebaran pun akan menjadi mudik yang sesungguhnya, secara spiritual, bukan sekadar kebiasaan atau tradisi meneguhkan kembali eksistensi kita yang dihancurkan (atau kita hancurkan sendiri) oleh kehidupan dan peradaban kota (modern). Lebaran akan menjadi momen yang "lebar", begitu lebarnya hingga kita tidak melihat batas-batasnya, tetapi kita penuh mengisinya. Lebaran pun menjadi "fitri" karena berkah dan hidayah-Nya yang memang melulu fitri berisi.

Kesadaran terbaik dari Idul Fitri seperti terurai di atas tercipta dan kita mafhum bahwa Dia sesungguhnya tidak pernah meninggalkan umat atau makhluknya. Dia selalu hadir, tanpa tempat tanpa waktu, di mana dan kapan saja, sehingga peluang untuk mengalami-Nya tidak hanya tersua hanya pada saat puasa dan Ramadhan. Tapi, ketika kita sudah meramadhankan setiap bulan, mempuasakan keiblisan kita, kita memiliki peluang untuk didatangi hidayah itu. Kita bisa mengalami-Nya, kapan saja dan di mana saja. Bahkan sesungguhnya Dia hadir dalam tiap inci dan tiap saat kehidupan kita. Namun, karena hidup kita dipepati hijab (layer), kita pun kehilangan peluang itu untuk mengalami-Nya, kita mengoleksi kegelapan jalan setapak menuju-Nya.

Maka, betapa indah Lebaran jika ia menjadi momen awal kita untuk mendapat tamu hidayah, karena kita sudah menjadi makhluk yang pantas untuk dihampiri utusan-Nya itu. Betapa luar biasa jika masyarakat kita mulai diisi manusia-manusia semacam itu, yang tidak pernah unjuk apa pun, apalagi unjuk rasa, kecuali unjuk amalan yang semata diabdikan pada manusia lain (masyarakat) dan secara langsung juga untuk-Nya.

Betapa cantik kau manusia jika tidak cuma berpikir atau berucap-apalagi berlagak-dengan simbol-simbol agama murahan, tetapi lebih berhati alias berbuat dengan nurani Islam yang terus belajar (iqra) semata untuk meninggikan keilahian dalam dirinya. Tidak perlu Ramadhan, maka kita akan menjumpai Lebaran dan kefitrian: kapan saja, di mana saja. Bahkan mungkin tanpa satu ayat pun kita lidahkan hanya untuk mendemonstrasikan keislaman kita. Islam sesungguhnya bukan dalam kata, tetapi dalam lakunya. Itulah Indonesia dan Islam yang kita damba: perkasa, teguh, luhur, dan penuh adab.

oleh Radhar Panca Dahana
disadur dari Kompas, Kamis, 30 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar