Jika
Anda bersama keluarga atau teman-teman makan di restoran untuk makan bersama
secara prasmanan, apakah Anda akan memesan masakan dengan porsi sesuai dengan
jumlah anggota rombongan? Mungkin hampir tidak pernah.
Kita
akan pesan porsi lebih dari kebutuhan atau porsi jumlah rombongan sehingga
kerap di usai makan bersama beberapa sajian tersisa, bahkan cukup banyak. Lalu
beberapa orang dengan "sukarela" coba menghabiskan walau mungkin
perutnya sudah penuh.
Begitu
pula jika kita menyelenggarakan buka bersama atau halal-bihalal, makanan akan
dipesan porsi yang dilebihkan. Bukankah begitu dengan jumlah pakaian Anda?
Mungkin Anda sudah memiliki koleksi yang bisa dipakai bertukar ganti untuk
seminggu, tetapi Anda akan membeli lagi, hingga mungkin bisa untuk
berganti-ganti untuk dua minggu atau sebulan. Bukankah banyak wanita masih
terus memburu butik, toko baju, atau sale!
walau koleksinya sudah satu lemari.
Kita
adalah manusia dan masyarakat yang berlebih. Tetapi bukan dalam arti pahala,
sosial maupun religius, atau harta dan kuasanya. Namun, berlebih dalam mengkonsumsi,
tepatnya berlebih dalam memenuhi hasrat atau libido biologis dan mental kita.
Inilah satu gaya atau cara hidup yang saya sebut eksesif, yang sesungguhnya
menjadi akibat lanjut dari logika, praktik dan penetrasi industri berbasis
ideologi kapitalistik.
Bukankah
kita kerap mendengar terjadi antrean yang begitu panjang di sebuah toko saat
diumumkannya new release, new series,
atau new trend dari produk industri
tertentu? Mungkin Anda pernah mengisi salah satu titik dari antrean itu.
Sebuah
riset yang dilakukan perusahaan gawai ternama dunia, mengumumkan hasil risetnya
di Indonesia, ternyata jumlah pemilik gawai modern di negeri ini mencapai lebih
dari 330 juta. Dengan masih adanya sebagian penduduk yang tidak mampu membeli
atau mengakses perangkat terkini itu, bisa jadi negeri ini memiliki angka
statistik dua gawai per kapita. Di mana lebih dari 50 persen dari pemilik itu
mengganti gawainya sekali dalam setahun, bukan karena rusak, melainkan karena
ketinggalan zaman oleh new edition
tadi.
Hidup
eksesif itu tentu bisa kita amati di tiap item yang ada di tubuh kita, atau di
dalam rumah kita. Gaya dan perilaku itu pun bisa menerobos keluar dari hal-hal
yang material dan konsumtif, tetapi juga pada jabatan, kekuasaan, keuntungan,
ketenaran, dan seterusnya.
Kelebihan
yang "kurang"
Dalam
arus kuat semacam tsunami halus itu, kita bersama masih menjalankan satu
perintah agama untuk melakukan puasa di bulan Ramadhan. Satu jenis ibadah yang
kita mafhumi maksudnya, antara lain untuk mengerem atau mengontrol nafsu dan
ambisi kita yang eksesif itu. Namun, sayang, dalam kenyataan hal yang
bertentangan justru terjadi. Pengeluaran kita untuk Ramadhan-apalagi menjelang
Lebaran (Idul Fitri)-membengkak berkali lipat, yang bahkan tunjangan hari raya
(THR) pun tidak mampu mengatasinya sehingga kita pun berkejaran usaha sampingan
kanan-kiri untuk mendapatkan "THR-THR" lain, bahkan dengan cara yang
mengkhianati puasa itu sendiri.
Apa
yang diajarkan puasa atau Ramadhan sebenarnya lebih dari sekadar mengerem atau
mengontrol, katakanlah mencukupkan kebutuhan kita. Justru Islam dan Nabi-nya
yang mulia meminta dan mencontohkan untuk hidup yang "kurang".
Artinya di bawah kecukupan. Jika kita biasa makan tiga-empat kali, plus jajan
kanan-kiri, di bulan Ramadhan kita diminta hanya makan dua kali. Kita diajarkan
mengurangi nafsu di balik pandangan, pendengaran, hingga tidur malam yang
terlalu lelap dan lama.
Inilah
sebuah imperasi personal yang juga sosial, kultural, dan spiritual untuk kita bisa
menghadapi dan mengatasi kehidupan keras (akibat praktik industrial/kapitalisme
di atas, misalnya) yang ternyata sudah diprediksi satu setengah milenium lalu
itu. Dan, ternyata hidup kurang itu tidak mengurangi apa pun dari hidup yang
biasa kita jalani selama ini. Hidup kurang akan membuat "pendapatan"
kita pun menjadi mendapatkan lebihan.
Lebihan
ini, secara masif, apalagi ditambah rezeki "tambahan Ramadhan"
menjadi harta atau potensi yang luar biasa untuk, misalnya digunakan dengan
tujuan-tujuan bermanfaat bagi lain orang (masyarakat). Mulai dari memberi
infak, zakat, santunan, beasiswa, hingga turut membantu proses pembangunan
dengan membeli saham, sukuk, obligasi negara atau bergotong royong membangun
jembatan, tanpa menunggu DPRD mengalokasikannya dalam APBD. Atau sekurangnya
menjadi simpanan masa depan anak, tanpa harus terjerat dalam skema rumit
lembaga-lembaga keuangan.
Apa
yang lebih dahsyat, nafsu eksesif untuk mendapatkan lebih dan lebih yang tidak
dipraktikkan itu akan menciptakan ruang lebar bagi orang lain-yang lebih
membutuhkan-untuk mengambil peluang atau rezeki itu. Bukan hanya pemerataan dan
pemberdayaan publik yang terjadi, tetapi juga kesejahteraan kolektif yang
kemudian menjadi efeknya. Bahkan ia berpotensi menjadi preseden di mana kesejahteraan
kolektif itu diciptakan lebih oleh publik ketimbang kebijakan
pemerintah/negara.
Di
tingkat personal ia akan menciptakan kenyamanan batin dan pikiran karena kita
telah melakukan sesuatu yang mulia. Bahkan mungkin melebihi apa yang dilakukan
oleh para penguasa, petinggi, dan elite lainnya. Puasa jauh lebih dalam makna
fungsi sosial, kultural, hingga spiritualnya.
Apa
yang jauh lebih dahsyat lagi bisa kita dapat dari praktik ibadah di atas,
peng-"kurang"-an apa yang kita ambil atau rebut (paksa atau tidak)
dari kehidupan material itu akan mengangkat kita pada capaian imaterial yang
lebih dalam di hati atau batin kita. Hidup kurang yang ternyata tak kurang itu
segera memberi kita tidak hanya pemahaman, pengalaman, tetapi kedekatan pada
hal-hal yang imaterial, baik itu hati nurani hingga hal-hal bersifat
supranatural atau spiritual.
Sebagaimana
diajarkan oleh banyak tradisi spiritual di mana pun, juga agama-agama di dunia,
praksis hidup yang kurang menjadi semacam ritus atau proses kita mencuci diri.
Membersihkan kotoran-kotoran atau kecenderungan-kecenderungan satanik dalam
diri kita yang negatif dan destruktif. Apa yang dibersihkan sebenarnya adalah
setapak jalan menuju kedalaman hati kita sendiri, yang selama ini berkelambu
atau tertutup oleh layer-layer kotor
dari perilaku, cara berpikir, sikap hidup kita yang penuh nafsu dan amarah.
Inilah
sebenarnya inti jihad itu. Jihad adalah sebuah perjalanan, yang memang tidak
mudah bahkan sulit sekali, tetapi sekali kita mampu menjalaninya dengan ikhlas dan
istiqamah, kita akan mendapat semacam terang (enlightment) karena jalan menuju hati yang ilahiah itu kini mulai
terbuka. Jiwa dan pikiran pun mantap menjalaninya karena kenyamanan itu seperti
siraman kesejukan dari gersang di batin kita yang begitu lama.
Hal itu
terjadi jika sikap hidup kurang itu tak hanya dipraktikkan dalam Ramadhan.
Ramadhan, menurut banyak kalangan, adalah sebuah latihan untuk hidup dengan
amalan yang baik. Tapi kenapa latihan itu kita lakukan bertahun-tahun, puluhan
bahkan selamanya dengan cara dan kualitas yang sama, tanpa terwujudnya
peningkatan kesalehan, baik secara sosial maupun spiritual? Mungkin bagus
sekali jika bertemu akhir Ramadhan kita mempraktikkan apa yang sudah kita
latih. Islam pun akan hidup tidak dalam bunyi yang keras, apalagi membentak,
yang dilantangkan jutaan pelantang suara, dalam slogan atau tawaran kesucian
yang menyesatkan, tetapi dalam ketenangan yang mendamaikan, dalam pergolakan
yang terjadi di dalam diri tiap umat, bukan di luarnya.
Aku
fitri bersama-Nya
Masih
ada yang lebih penting dari itu semua. Di hari-hari akhir puasa, saat menjelang
Lebaran, praktik puasa di atas yang dijalani dengan ikhlas, istiqamah, dan tawaddu
akan memberi kita sebuah saat atau momen di mana hidup kurang yang teguh,
konsisten, dan ikhlas itu dapat "pelengkap" kekurangannya. Ia bukan
satu hal yang bisa dilihat, didengar, apalagi dimaterialisasi bahkan oleh
pikiran (logika).
Pelengkap
itu adalah sebuah pengalaman monumental, di mana kita seakan mendapatkan cahaya
yang tidak hanya menciptakan terang (bagi kegelapan jalan ke hati), bahkan
karena saking terangnya ia seperti melenyapkan diri (eksistensi) kita. Kita
mendapatkan momen untuk mengalami-Nya, bersama-Nya, dengan kesadaran
kemanusiaan kita yang terintegrasi, tidak hanya akal, jiwa, batin, tetapi juga
tubuh hingga kenyataan sosial kita. Kita menyatu-diri begitu kuatnya sehingga
yang tinggal adalah sesuatu yang tak terlenyapkan, sesuatu yang juga ada dalam
alam natur(al) hingga supranatural. Kita seperti hilang, tetapi sesungguhnya
menyatu dengan semua itu.
Maka,
Lebaran pun akan menjadi mudik yang sesungguhnya, secara spiritual, bukan
sekadar kebiasaan atau tradisi meneguhkan kembali eksistensi kita yang
dihancurkan (atau kita hancurkan sendiri) oleh kehidupan dan peradaban kota
(modern). Lebaran akan menjadi momen yang "lebar", begitu lebarnya
hingga kita tidak melihat batas-batasnya, tetapi kita penuh mengisinya. Lebaran
pun menjadi "fitri" karena berkah dan hidayah-Nya yang memang melulu
fitri berisi.
Kesadaran
terbaik dari Idul Fitri seperti terurai di atas tercipta dan kita mafhum bahwa
Dia sesungguhnya tidak pernah meninggalkan umat atau makhluknya. Dia selalu
hadir, tanpa tempat tanpa waktu, di mana dan kapan saja, sehingga peluang untuk
mengalami-Nya tidak hanya tersua hanya pada saat puasa dan Ramadhan. Tapi,
ketika kita sudah meramadhankan setiap bulan, mempuasakan keiblisan kita, kita
memiliki peluang untuk didatangi hidayah itu. Kita bisa mengalami-Nya, kapan
saja dan di mana saja. Bahkan sesungguhnya Dia hadir dalam tiap inci dan tiap
saat kehidupan kita. Namun, karena hidup kita dipepati hijab (layer), kita pun kehilangan peluang itu
untuk mengalami-Nya, kita mengoleksi kegelapan jalan setapak menuju-Nya.
Maka,
betapa indah Lebaran jika ia menjadi momen awal kita untuk mendapat tamu
hidayah, karena kita sudah menjadi makhluk yang pantas untuk dihampiri
utusan-Nya itu. Betapa luar biasa jika masyarakat kita mulai diisi
manusia-manusia semacam itu, yang tidak pernah unjuk apa pun, apalagi unjuk
rasa, kecuali unjuk amalan yang semata diabdikan pada manusia lain (masyarakat)
dan secara langsung juga untuk-Nya.
Betapa
cantik kau manusia jika tidak cuma berpikir atau berucap-apalagi
berlagak-dengan simbol-simbol agama murahan, tetapi lebih berhati alias berbuat
dengan nurani Islam yang terus belajar (iqra)
semata untuk meninggikan keilahian dalam dirinya. Tidak perlu Ramadhan, maka
kita akan menjumpai Lebaran dan kefitrian: kapan saja, di mana saja. Bahkan
mungkin tanpa satu ayat pun kita lidahkan hanya untuk mendemonstrasikan
keislaman kita. Islam sesungguhnya bukan dalam kata, tetapi dalam lakunya.
Itulah Indonesia dan Islam yang kita damba: perkasa, teguh, luhur, dan penuh
adab.
oleh
Radhar Panca Dahana
disadur dari Kompas, Kamis, 30 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar