Presiden Jokowi kecewa betul dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya 4,92 persen pada triwulan I 2016. Saking kecewanya, ia menuding para menteri tak mengerjakan apa yang diinstruksikannya, terutama soal penyerapan anggaran pembangunan.
Tak hanya Jokowi, semua tentu galau dengan laju pertumbuhan 3 bulan pertama tahun 2016. Sebab, angka tersebut berada di bawah konsensus pasar yang memperkirakan pertumbuhan akan mencapai 5,1 persen. Juga lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 5,04 persen.
Produk domestik bruto (PDB) atau output aktivitas ekonomi Indonesia selama triwulan I 2016, seperti dilansir dari data BPS, hanya sebesar Rp 2.947 triliun, tak jauh berbeda dengan PDB triwulan IV 2015 yang sebesar Rp 2.945 triliun, bahkan lebih rendah dibandingan triwulan III 2015 yang sebesar Rp 2.998 triliun. Artinya, selama triwulan I 2016, hampir tidak ada kemajuan aktivitas ekonomi dibandingkan triwulan sebelumnya.
Padahal, selama kurun waktu tersebut, Jokowi telah berkeliling ke banyak daerah untuk meresmikan proyek-proyek infrastruktur. Pemerintahan Jokowi juga terus mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang kini telah mencapai jilid ke-12. Tujuan paket-paket kebijakan itu adalah mendorong investasi, memperbaiki daya saing, dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Jokowi dalam setiap kesempatan berpidato di depan umum, terus menyerukan pentingnya deregulasi untuk menghapus ribuan aturan yang selama ini menghambat investasi. Proses perizinan juga harus disederhanakan dan dipermudah. Tidak lagi berbilang hari, melainkan dalam hitungan jam, izin investasi atau usaha sudah harus keluar. Terlebih lagi, Jokowi telah berulangkali menginstruksikan kepada para menterinya untuk melakukan lelang pengadaan barang dan jasa lebih awal sehingga pada awal-awal tahun diharapkan aktivitas ekonomi sudah bisa bergulir.
Namun apa daya, PDB yang terbentuk dari belanja pemerintah selama triwulan I 2016 hanya sebesar Rp 200,31 triliun. Nilai tersebut memang lebih besar dibandingkan PDB belanja pemerintah pada triwulan I 2015 yang senilai Rp 180,35 triliun. Akan tetapi, peningkatannya tidak terlampau signifikan untuk mendorong dan mestimulus perekonomian.
Di sisi lain, pendorong ekonomi lainnya yakni investasi dan ekspor, masih tergolong lemah. PDB dari investasi dan ekspor pada triwulan I 2016 lebih rendah dibandingkan triwulan IV 2015. PDB konsumsi masyarakat memang meningkat. Namun peningkatannya tidak signifikan karena lebih didorong oleh pertumbuhan penduduk, bukan oleh menguatnya daya beli.
Secara riil, tahun ini, pemerintah sebenarnya lebih agresif dalam berbelanja. Hingga akhir April 2016, mengutip data Kementerian Keuangan, total belanja negara sudah mencapai Rp 586,8 triliun atau 28 persen dari target belanja dalam APBN 2016 sebesar Rp 2.095,7 triliun.
Dalam periode yang sama tahun 2015, belanja baru sebesar 25 persen dari target APBN.
Bahkan pada 2014, saat Presiden SBY masih berkuasa, total belanja pemerintah pada periode yang sama hanya 23 persen dari target APBN. Artinya, upaya keinginan Jokowi untuk mempercepat penyerapan anggaran di awal tahun sebenarnya sudah berjalan.
Sayangnya, Indonesia bukan negara kaya yang simpanannya berlimpah. Seperti sebagian besar warganya, keinginan pemerintah untuk berbelanja harus kepentok oleh ketersediaan uang yang ada di saku. Sialnya lagi, pendapatan negara tahun ini justru melempem.
Pendapatan negara hingga akhir April 2016 hanya sebesar Rp 419.2 triliun, atau 23 persen dari target pendapatan negara dalam APBN 2016 sebesar Rp 1.822,5 triliun. Pencapaian ini lebih rendah dibandingkan akhir April 2015 yang sebesar 25,1 persen. Jadi, gelora belanja pemerintah tahun ini tidak diimbangi oleh pendapatan yang sepadan. Rendahnya pendapatan negara dipicu oleh lemahnya penerimaan pajak.
Dampak pajak sangat terasa sebab porsinya mencapai 75 persen dari total pendapatan negara. Hingga akhir April 2016, realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 272 triliun atau hanya 20 persen dari target senilai Rp 1.360 triliun. Bahkan, pencapaian itu masih lebih rendah dibandingkan realisasi pajak hingga akhir April 2015 yang sebesar Rp 307 triliun. Rendahnya penerimaan pajak tidak terlepas dari lesunya perekonomian.
Banyak perusahaan di sektor pertambangan, industri pengolahan, dan perdagangan yang keuntungannya terus menurun hingga kini sehingga pajak yang ditarik pun menjadi minim.
Lesunya perekonomian pada triwulan I 2016 sebenarnya sudah diperkirakan banyak pihak.
Dari sisi eksternal, ekonomi di Eropa dan Jepang masih terpuruk. Pemulihan ekonomi Amerika Serikat pun belum solid. Sementara ekonomi Tiongkok, meskipun mengarah ke kondisi yang lebih stabil, namun risiko pelemahan masih tinggi.
Kondisi ini menyebabkan PDB ekspor Indonesia terus menyusut dari Rp 599,3 triliun pada triwulan I 2015 menjadi Rp 533,6 triliun pada triwulan I 2016. Namun, pemerintah sepertinya terlalu percaya diri dan menggantungkan harapan pada asumsi-asumsi yang “indah”.
Pemerintah terlalu pede, paket-paket kebijakan yang dirilis akan berdampak segera pada perekonomian.
Pemerintah juga terlalu berasumsi, penerimaan pajak dapat digenjot dengan ekstensifikasi dan penegakan hukum yang tegas termasuk pemberlakuan tax amnesty atau pengampunan pajak. Berbekal rasa percaya diri dan asumsi –asumsi “indah” itu, pemerintah pun menargetkan penerimaan pajak yang ambisius. Karena merasa potensi penerimaan cukup besar, pemerintah juga akhirnya merancang belanja yang lebih ambisius.
Ternyata perhitungan itu meleset. Birokrasi yang ribet dan mental birokrat yang korup membuat implementasi paket kebijakan tidak semulus yang diperkirakan. Ditjen Pajak juga kesulitan meluaskan basis wajib pajak di tengah ekonomi yang terpuruk saat ini. Implementasi tax amnesty pun mendapatkan banyak ganjalan. Banyak pihak menentang pemberlakuan tax amnesty karena menilai kebijakan tersebut tidak fair dan hanya menguntungkan para pengempang pajak, koruptor, dan pencuci uang.
Namun, kendati penerimaan seret, pemerintah terus memacu belanja, terutama belanja infrastruktur yang tahun ini dianggarkan sebesar Rp 313,5 triliun. Dampaknya, hingga akhir April 2016, defisit anggaran sudah mencapai Rp 167,6 triliun atau 61,3 persen dari target defisit 2016 sebesar Rp 273,2 triliun. Tahun lalu, pada periode yang sama, defisit baru mencapai 31 persen dari target. Artinya, dalam empat bulan pertama 2016, pemerintah sudah harus berutang cukup besar untuk membiayai belanja.
Kini pemerintah sadar, keuangan negara tengah kritis. Pemerintah pun berencana memangkas belanja sebesar Rp 50 triliun. Namun, pemerintah menegaskan, belanja infrastruktur tetap jadi prioritas. Sepahit apapun, infrastruktur tetap harus dibangun. Sebab, tanpa infrastruktur yang memadai, bangsa Indonesia tak akan pernah bisa melangkah maju. Artinya, jika pemangkasan anggaran belum cukup, pemerintah tentu harus berutang lebih banyak untuk membiayai defisit.
Target defisit dalam APBN 2016 adalah sebesar Rp 273,2 triliun. Untuk membiayai defisit tersebut, pemerintah berencana menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) neto dalam denominasi rupiah sebesar Rp 272,8 triliun dan utang luar negeri neto sebesar Rp 400 miliar. Pembiayaan defisit tersebut setara dengan 2,15 persen dari PDB yang diperkirakan mencapai Rp 12.703,8 triliun.
Berdasarkan aturan, pemerintah bisa melebarkan defisit hingga 3 persen PDB. Namun, jika itu dilakukan, utang pemerintah akan meningkat signifikan meskipun tetap berada dalam batas aman. Berdasarkan data Kemenkeu, posisi utang pemerintah per akhir Maret 2016 sebesar Rp 3.271,82 triliun.
Rinciannya, utang dalam bentuk pinjaman luar negeri sebesar Rp 745,82 triliun, pinjaman dalam negeri sebesar Rp 4,34 triliun, dan utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 2.521,66 triliun. Jumlah utang ini meningkat sebesar Rp 173,18 triliun dibandingkan akhir tahun 2015 yang sebesar Rp 3.098,64 triliun.
Langkah lain yang ditempuh pemerintah adalah mendorong pengesahan UU Tax Amnesty sesegera mungkin. Sebab, dari tax amnesty, pemerintah bisa mendapatkan tambahan pajak sebesar Rp 70 triliun – 100 triliun. Kita tunggu, bagaimana akhirnya pemerintah menemukan jalan keluar dari situasi yang pelik ini.
Kini, pemerintah dan DPR tengah membahas RUU Tax Amnesty. Selanjutnya, eksekutif akan mengajukan rancangan strategi anggaran baru yang akan dituangkan dalam APBN-Perubahan 2016.
Melesetnya rencana dan strategi Jokowi bukan kali ini saja terjadi. Pada tahun 2015 yang merupakan tahun pemerintahan Jokowi, strategi penganggaran juga tidak berjalan sesuai rencana. Namun, melesetnya rencana anggaran bukan melulu karena ketidakbecusan pemerintahan Jokowi memprediksi situasi ekonomi dan mengelola anggaran.
Ada faktor kekurangberuntungan juga yang menyelimuti pemerintahan Jokowi. Awalnya, Jokowi datang memberi harapan bagi rakyat Indonesia, termasuk asa untuk memperbaiki ekonomi Indonesia yang bagai benang kusut alias tak tahu darimana harus diperbaiki.
Jokowi adalah presiden pertama yang berani mendobrak kebuntuan dengan mengubah besar-besaran wajah APBN.
Wajah APBN yang sebelumnya tidak produktif karena begitu minimnya anggaran stimulus dirombak sehingga menjadi lebih produktif. Anggaran subsidi yang selama bertahun-tahun membelenggu pemerintah karena besarannya mencapai 20 – 30 persen belanja negara dipangkas signifikan dan beberapa jenis subsidi, seperti premium, bahkan dihapus. Dengan menghapus subsidi, pemerintah Jokowi berharap bisa mengantongi dana kurang lebih Rp 200 triliun, yang akan dialihkan untuk kegiatan produktif terutama pembangunan infrastruktur.
Tahun 2015, anggaran infrastruktur pun dipatok sebesar Rp 290,3 triliun, yang merupakan anggaran infrastruktur tahunan terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Jumlah tersebut meningkat hampir Rp 100 triliun dibandingkan anggaran infrastruktur tahun sebelumnya. Dalam APBN 2015, pemerintah mengasumsikan harga minyak bisa mencapai 105 dollar AS per barrel. Dengan asumsi itu, pemerintah menargetkan pendapatan pajak dari migas bisa mencapai Rp 88,71 triliun dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari migas sebesar Rp 224,26 triliun.
Namun, apa yang terjadi? Siapa menyangka, harga minyak akan terus jatuh hingga mencapai titik terendahnya sekitar 30 dollar AS per barrel. Akibatnya, mimpi menangguk penerimaan besar dari minyak dan gas (migas) menjadi kandas. Di akhir tahun 2015, realisasi pajak dari migas hanya Rp 41,4 triliun. PNBP dari migas juga anjlok hanya sekitar Rp 110 triliun atau setengahnya dari target semula.
Tak hanya migas, pendapatan negara dari komoditas lain juga merosot akibat jatuhnya harga hampir seluruh komoditas di pasaran dunia. Di sisi lain, akibat pelemahan ekonomi global dan domestik, penerimaan pajak meleset sekitar Rp 253,5 triliun. Hancurnya sisi penerimaan sudah pasti akan memengaruhi sisi belanja.
Pemerintah otomatis tidak bisa berbelanja sebagaimana yang direncanakan, termasuk memenuhi belanja infrastruktur. Akhirnya, dari target belanja infrastruktur sebesar Rp 290,3 triliun, realisasinya sekitar Rp 254,9 triliun. Itupun dilakukan dengan penambahan utang yang totalnya mencapai Rp 490 triliun sepanjang tahun 2015.
Jelas sudah, kombinasi kesialan, perencanaan yang kurang matang, kebijakan ekonomi yang tidak efektif, dan keinginan belanja besar telah menempatkan Jokowi dalam posisi dilematis. Mau genjot penerimaan pajak, ekonomi sedang sulit. Ingin dorong aktivitas ekonomi, kebijakan yang diterapkan kurang efektif. Berniat pangkas belanja, infrastruktur tetap harus dibangun.
Berharap lanjutkan pembangunan infrastruktur, utang bakal bertambah signifikan.
Situasi makin suram karena pekan lalu, Bank Indonesia merevisi turun prediksinya atas angka pertumbuhan ekonomi Indonesia 2016 dari 5,2 – 5,6 persen menjadi 5 – 5,4 persen.
Artinya, target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah tahun ini sebesar 5,3 persen bakal sulit tercapai. Jika perekonomian 2016 kembali suram, maka asa untuk bisa tumbuh 8 persen pada tahun 2019 niscaya tak akan pernah jadi kenyataan.
Namun, seperti terus didengungkan Jokowi, api optimisme harus tetap dijaga. Saatnya semua pihak harus bahu membahu mewujudkan kemajuan ekonomi. Masyarakat, mari berbelanja agar ekonomi berputar lebih cepat. Pelaku usaha, mari berinvestasi dan berekspansi, jangan hanya wait and see.
Kita tentu tak ingin kecewa lagi, apalagi Presiden Jokowi.
oleh: M. Fajar Marta
disadur dari Kompas, Selasa, 24 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar