Belum lama ini, delegasi dari
lembaga pemeringkat global Standard&Poor's atau S&P bertemu Presiden
Joko Widodo. Mereka datang untuk mendengar dan menilai perkembangan
perekonomian Indonesia satu tahun terakhir.
Pada 2015, S&P telah menaikkan
prospek (outlook) peringkat (sovereign ratings) Indonesia dari stabil
menjadi positif dengan level di BB+ (speculative
level) atau satu notch di bawah
peringkat layak investasi (investment
grade).
Indonesia memperoleh peringkat layak
investasi terakhir kali dari S&P pada 1997. Namun, krisis moneter dan
perbankan 1997/1998 melenyapkannya. Bahkan, pada 1999 dan 2002, S&P
memasukkan Indonesia dalam peringkat selective
default (SD).
Sebelumnya, tiga lembaga pemeringkat
global: Moody's Investor Services, Fitch Ratings, dan Japan Credit Rating
Agency (JCRA) menyematkan peringkat layak investasi bagi Indonesia.
Makna
peringkat
Secara sederhana, negara yang
berperingkat layak investasi dipersepsikan memiliki risiko rendah sehingga
kepercayaan investor meningkat. Dampaknya akan mendorong aliran investasi, baik
ke sektor keuangan maupun sektor riil. Akumulasi aliran investasi akan
mendorong turunnya biaya dana (cost of
fund).
Beberapa studi juga menunjukkan
bahwa peringkat layak investasi berdampak positif menurunkan yield spread
obligasi pemerintah (SUN) dan korporasi (Canton&Parker, 1996;
Kaminsky&Scmukler, 2002; Sy, 2002; dan Hertellius et al, 2008; Borensztein
el al,1997).
Penurunan biaya dana akan membuat
dana murah terjangkau. Ini bisa dimanfaatkan untuk membiayai perekonomian,
khususnya infrastruktur. Sepanjang 2014-2019, dibutuhkan investasi Rp 5.500
triliun untuk membangun berbagai infrastruktur di Indonesia. Maka, pemerintah
sangat berharap S&P menyematkan peringkat layak investasi.
Jika ditimbang, peluang Indonesia
sangat terbuka. Pertama, pemerintah cukup berhasil mereformasi subsidi sektor
energi yang menjadi concern S&P.
Besarnya alokasi subsidi energi sepanjang 2009-2014 telah menumpulkan kemampuan
APBN menstimulasi perekonomian.
Presiden Joko Widodo menyadari hal
ini. Subsidi energi yang terus bengkak tidak sehat bagi APBN dan ekonomi jangka
panjang. Dalam APBN 2016, subsidi energi dipangkas menjadi Rp 102,1 triliun.
Nilai subsidi ini susut signifikan, dari Rp 306,5 triliun (2012), Rp 310 triliun
(2013), Rp 341,8 triliun (2014), dan Rp 137,8 triliun (2015).
Alokasi
ke infrastruktur
Pemangkasan membuat pemerintah
memiliki ruang untuk meningkatkan alokasi belanja infrastruktur. Dua tahun
terakhir, nilainya naik cukup signifikan.
Kedua, kebijakan pemerintah dalam
memitigasi dampak kelesuan ekonomi global dengan berbagai insentif. Dampaknya,
pertumbuhan ekonomi pada 2015 bisa mencapai 4,79 persen. Meskipun melambat dan
di bawah potensinya, hasil ini sudah relatif baik dibandingkan negara di kawasan
emerging lainnya.
Rusia dan Brasil yang menjadi dua
kekuatan ekonomi besar di poros BRIC terpukul kelesuan ekonomi global ini.
Pertumbuhan ekonomi kedua negara terkontraksi sepanjang 2015.
Bukan itu saja, anjloknya harga
minyak dunia lebih dari 50 persen pada 2015 menghantam perekonomian
negara-negara produsen minyak. Fondasi ekonomi mereka hampir oleng. Awal 2016,
S&P memangkas peringkat lima negara produsen minyak: Arab Saudi, Oman,
Bahrain, Brasil, dan Kazakhstan.
Meskipun peluang Indonesia untuk
mendapatkan peringkat layak investasi terbuka, masih terdapat beberapa titik
lemah yang butuh kerja keras untuk memperbaikinya. Inilah yang jadi dasar
pertimbangan S&P untuk menyematkan peringkat layak investasi.
Pertama, infrastruktur. Meskipun
saat ini pemerintah terus fokus menggenjot pembangunan infrastruktur, tantangan
untuk merealisasikan besar. Pembebasan lahan dan penyerapan anggaran dapat
menghambat akselerasi pembangunan infrastruktur. Apalagi, jangkauan pembangunan
infrastruktur semakin luas dan beragam.
Kedua, hambatan investasi, yang
membuat investasi sulit berkembang. Ini tecermin dari kemudahan menjalankan
bisnis yang dirilis Bank Dunia (2016). Indonesia di posisi ke-109. Jauh di
bawah Malaysia (18), Tiongkok (84), dan Filipina (103).
Paket
ekonomi
Memang, pemerintah telah memiliki
arsenal untuk membongkar hambatan investasi melalui seri paket ekonomi. Total
sudah 12 yang dirilis. Sayangnya, sebagian besar seri paket ekonomi ini tidak
mudah dieksekusi di lapangan. Jika tidak segera dibenahi, khususnya koordinasi,
sinkronisasi, eksekusi, dan evaluasi, akan mengancam kredibilitas paket ekonomi
selanjutnya.
Akhirnya, semua itu akan menggerus
kepercayaan investor yang selama ini berharap banyak pada paket ekonomi.
Bagaimanapun, kepastian jadi hal utama yang selalu dituntut investor.
Ketiga, hambatan birokrasi. Ini
masalah klasik yang sulit terpecahkan. Hambatan birokrasi adalah salah satu
kontributor rendahnya pencapaian target pembangunan ekonomi. Pemerintah pusat
dan daerah masih sering tidak sevisi menjalankan kebijakan perekonomian.
oleh: Desmon Silitonga
disadur dari Kompas, Rabu, 25 Mei
2016
Contoh sederhana dari hambatan
birokrasi ialah terkait alokasi transfer daerah. Pemerintah pusat mendorong
agar daerah segera membelanjakan alokasi transfer daerah, khususnya untuk
sektor produktif.
Namun, pemerintah daerah lebih
senang memarkir alokasi transfer daerah di perbankan daerah. Akhir April 2016,
nilainya mencapai Rp 220 triliun.
Selain itu, masih banyak regulasi
yang dirilis pemerintah daerah yang justru jadi penghambat investasi, padahal
pemerintah pusat berupaya merampingkan. Jika titik lemah ini tidak segera
diatasi, jalan menuju peringkat layak investasi masih terjal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar