Editors Picks

Rabu, 25 Mei 2016

Riset Komoditas Tak Berjalan - Industri Harus Impor Bahan Antara meski Bahan Baku dai Indonesia


Riset mengenai manfaat beberapa komoditas yang mulai hilang tidak berkembang di dalam negeri. Akibatnya, komoditas itu tidak diketahui nilai ekonominya. Bisnis komoditas itu malah dijalankan oleh perusahaan di luar negeri. Komoditas itu diekspor dan baru diimpor lagi ketika menjadi bahan antara.


Presiden Direktur PT Mustika Ratu Tbk Putri K Wardani mengatakan, banyak bahan baku kosmetika berasal dari tanaman di Indonesia, tetapi pengolahannya menjadi bahan penolong terjadi di luar negeri. Setelah itu, pengusaha baru mengimpor dari beberapa negara.

Sejumlah petani di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan beberapa daerah lainnya, ketika ditemui pekan lalu dan Senin (23/5), mengatakan,mereka tidak pernah mengetahui penggunaan komoditas pinang, kemenyan, gambir, pala, cendana, dan komoditas lainnya. Mereka hanya mengetahui komoditas itu dijual ke pengepul dan kemudian baru diekspor ke Singapura dan negara lainnya.

Meski demikian, menurut Putri, kini secara bertahap sudah mulai bertambah bahan baku dan bahan pendukung lokal sebagai substitusi impor. Kendala pengolahan bahan pendukung produksi tersebut biasanya disebabkan investasi awal yang cukup tinggi. Akan tetapi, rencana Kementerian Perindustrian memberikan insentif khusus kepada industri yang mempunyai tingkat kandungan dalam negeri 40-50 persen—yang bertahap akan terus dinaikkan—sangat baik dalam memaksa industri untuk terus mencari bahan substitusi impor. Untuk itu diperlukan riset yang memadai.

Meski demikian, riset terkait potensi manfaat suatu jenis tumbuhan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berangkat dari kebutuhan, bukan dari jenis tumbuhan. Kepala Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Joeni S Rahajoe mengatakan, tidak semua budidaya dan pengembangan komoditas terabaikan pasti diteliti LIPI.

Peneliti genetika tanaman kapur di Balai Penelitian Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) di Aek Nauli,Sipangan Bolon, Simalungun, Cut Rizlani Kholibrina mengatakan, pihaknya telah meneliti tanaman itu dan berharap bisa berlanjut.

”Banyak sekali material di dalam tanaman itu yang harus diteliti, tetapi dukungannya masih minim,” kata Cut. Tahun ini, anggaran penelitian kapur di lembaga penelitian itu hanya Rp 60 juta. Tanaman ini bisa digunakan untuk parfum dan obat.

Peneliti perdagangan kemenyan BP2LHK, Alfonsus Harianja, mengatakan, penelitiannya menunjukkan ada ketertutupan informasi dari pelaku usaha. Dugaannya, porsi margin tata niaga diperoleh eksportir sangat besar sehingga tidak bersedia untuk dibuka informasinya.
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon Herry Yesayas mengatakan, untuk mengembangkan tanaman pala, petani masih menggunakan cara tradisional. Hingga saat ini belum ada penelitian terkait rekayasa genetika pala untuk menaikkan produksi dan memanfaatkan pala secara lebih ekonomis.

Penelitian tentang pala masih sebatas cara menjaga kualitas pala pasca panen. Banyak pala asal Maluku tidak berkualitas karena dijemur saja. Metode pengeringan pada umumnya masih mengandalkan sinar matahari atau pengasapan.
 
Selain itu, petani juga tidak mempunyai panduan dalam memilih anakan pala. Anakan pala terdiri dari dua macam, yakni jantan dan betina. Pala betina yang menghasilkan buah pala dan bunga pala. 


Dosen Pertanian Universitas Lampung, Rusdi Evisal, mengatakan, pemerintah perlu membantu petani dalam penyediaan bibit lada. ”Jangan sampai kerusakan tanaman akibat penyakit terjadi kembali. Pemerintah harus memastikan bibit diambil kebun yang sehat. Pengawasan bibit menjadi hal utama jika ingin produksi meningkat. Untuk itulah, pemerintah perlu melakukan riset bibit dan manfaat pala,” ujarnya.

Masalah dana
Secara umum, kendala penelitian itu ada pada masalah dana. Penelitian di Indonesia senantiasa ditantang masalah klasik, yakni kecilnya dana riset. Secara nasional, total belanja penelitian dan pengembangan hanya sekitar 0,09 persen terhadap produk domestik bruto. Angka itu membuat Indonesia di tingkat Asia Tenggara kalah dari Thailand (0,85 persen PDB) dan Malaysia (di atas 1 persen PDB). Peneliti harus membuat prioritas agar anggaran kecil itu efektif.

Menurut Kepala Bidang Produksi Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Benyamin, saat ini bantuan untuk pengembangan tanaman pinang memang tidak dialokasikan dalam anggaran. Terakhir, bantuan bibit pinang pernah diberikan pada 2012 di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur sebanyak 10.000 bibit, tetapi selanjutnya tidak ada lagi.
Kepala Subbagian Program Dinas Perkebunan Sumatera Utara Olopan Sihombing mengatakan, sejak 2010 tidak ada lagi anggaran untuk mengembangkan tanaman kemenyan. Pemerintah hanya fokus pada kelapa sawit, kopi, cokelat, karet, dan kelapa. 

Sebelumnya, APBD Provinsi Sumatera Utara menganggarkan sedikit untuk pembenihan tanaman di Tapanuli Utara seluas sekitar 5 hektar. ”Tahun 2006 hingga 2010 ada penangkaran tanaman untuk 5 hektar atau sekitar 1.500 batang tanaman,” kata Olopan.
Menurut Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara Benhur H Simamora, tahun ini, karena ada pemotongan dana alokasi khusus, anggaran konservasi tanaman kemenyan hanya muncul di dana alokasi umum. Pengembangan tanaman kemenyan hanya dilakukan di tiga kecamatan, yakni Pangaribuan, Pahae Julu, dan Adian Koting, seluas 15 hektar.
Sementara itu, menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Muhammad Syakir, tanaman langka atau yang belum bernilai ekonomi tinggi tetap dipelihara dan dilestarikan. ”Dari aspek penelitian dan pengembangan, keragaman sumber daya genetik sangat menentukan terciptanya berbagai varietas tanaman sesuai kebutuhan,” katanya.

Masa depan
Riset beberapa komoditas ini malah banyak dilakukan lembaga riset di luar negeri. McCormick Science Institute menyebutkan, riset komoditas itu dilakukan karena dalam 10 tahun ke depan gabungan dari rempah dan herbal akan menjadi multivitamin pada masa mendatang. Rempah dan herbal kemungkinan akan masuk dalam piramida makanan warga Amerika Serikat. Persepsi konsumen terhadap rempah akan meningkat menjadi makanan pangan super, seperti buah dan sayur, dalam diet manusia saat ini.

Beberapa temuan antara lain kayu manis menurunkan konsentrasi glukosa darah, cabai meningkatkan oksidasi lemak, dan kunyit untuk anti kanker.(JOG/FRN/CAS/RAM/GER/WSI/ZAK/MAS/MAR)

disadur dari Kompas, Selasa, 24 Mei 2016 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar