Riset mengenai manfaat beberapa komoditas yang mulai hilang tidak berkembang di dalam negeri. Akibatnya, komoditas itu tidak diketahui nilai ekonominya. Bisnis komoditas itu malah dijalankan oleh perusahaan di luar negeri. Komoditas itu diekspor dan baru diimpor lagi ketika menjadi bahan antara.
Presiden Direktur PT Mustika Ratu
Tbk Putri K Wardani mengatakan, banyak bahan baku kosmetika berasal dari
tanaman di Indonesia, tetapi pengolahannya menjadi bahan penolong terjadi di
luar negeri. Setelah itu, pengusaha baru mengimpor dari beberapa negara.
Sejumlah petani di Sumatera Utara,
Sumatera Barat, dan beberapa daerah lainnya, ketika ditemui pekan lalu dan
Senin (23/5), mengatakan,mereka tidak pernah mengetahui penggunaan komoditas
pinang, kemenyan, gambir, pala, cendana, dan komoditas lainnya. Mereka
hanya mengetahui komoditas itu dijual ke pengepul dan kemudian baru diekspor ke
Singapura dan negara lainnya.
Meski demikian, menurut Putri, kini
secara bertahap sudah mulai bertambah bahan baku dan bahan pendukung lokal
sebagai substitusi impor. Kendala pengolahan bahan pendukung produksi tersebut
biasanya disebabkan investasi awal yang cukup tinggi. Akan tetapi, rencana
Kementerian Perindustrian memberikan insentif khusus kepada industri yang
mempunyai tingkat kandungan dalam negeri 40-50 persen—yang bertahap akan terus
dinaikkan—sangat baik dalam memaksa industri untuk terus mencari bahan
substitusi impor. Untuk itu diperlukan riset yang memadai.
Meski demikian, riset terkait
potensi manfaat suatu jenis tumbuhan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) berangkat dari kebutuhan, bukan dari jenis tumbuhan. Kepala Bidang Botani
Pusat Penelitian Biologi LIPI Joeni S Rahajoe mengatakan, tidak semua budidaya
dan pengembangan komoditas terabaikan pasti diteliti LIPI.
Peneliti genetika tanaman kapur di
Balai Penelitian Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) di Aek
Nauli,Sipangan Bolon, Simalungun, Cut Rizlani Kholibrina mengatakan, pihaknya
telah meneliti tanaman itu dan berharap bisa berlanjut.
”Banyak sekali material di dalam
tanaman itu yang harus diteliti, tetapi dukungannya masih minim,” kata Cut.
Tahun ini, anggaran penelitian kapur di lembaga penelitian itu hanya Rp 60
juta. Tanaman ini bisa digunakan untuk parfum dan obat.
Peneliti perdagangan kemenyan
BP2LHK, Alfonsus Harianja, mengatakan, penelitiannya menunjukkan ada
ketertutupan informasi dari pelaku usaha. Dugaannya, porsi margin tata niaga
diperoleh eksportir sangat besar sehingga tidak bersedia untuk dibuka
informasinya.
Dosen Fakultas Pertanian Universitas
Pattimura Ambon Herry Yesayas mengatakan, untuk mengembangkan tanaman pala,
petani masih menggunakan cara tradisional. Hingga saat ini belum ada penelitian
terkait rekayasa genetika pala untuk menaikkan produksi dan memanfaatkan pala
secara lebih ekonomis.
Penelitian tentang pala masih
sebatas cara menjaga kualitas pala pasca panen. Banyak pala asal Maluku tidak
berkualitas karena dijemur saja. Metode pengeringan pada umumnya masih
mengandalkan sinar matahari atau pengasapan.
Selain itu, petani juga tidak mempunyai panduan dalam memilih anakan pala. Anakan pala terdiri dari dua macam, yakni jantan dan betina. Pala betina yang menghasilkan buah pala dan bunga pala.
Dosen Pertanian Universitas Lampung,
Rusdi Evisal, mengatakan, pemerintah perlu membantu petani dalam penyediaan
bibit lada. ”Jangan sampai kerusakan tanaman akibat penyakit terjadi kembali.
Pemerintah harus memastikan bibit diambil kebun yang sehat. Pengawasan bibit
menjadi hal utama jika ingin produksi meningkat. Untuk itulah, pemerintah perlu
melakukan riset bibit dan manfaat pala,” ujarnya.
Masalah dana
Secara umum, kendala penelitian itu
ada pada masalah dana. Penelitian di Indonesia senantiasa ditantang masalah
klasik, yakni kecilnya dana riset. Secara nasional, total belanja penelitian
dan pengembangan hanya sekitar 0,09 persen terhadap produk domestik bruto.
Angka itu membuat Indonesia di tingkat Asia Tenggara kalah dari Thailand (0,85
persen PDB) dan Malaysia (di atas 1 persen PDB). Peneliti harus membuat
prioritas agar anggaran kecil itu efektif.
Menurut Kepala Bidang Produksi Dinas
Perkebunan Sumatera Selatan Benyamin, saat ini bantuan untuk pengembangan
tanaman pinang memang tidak dialokasikan dalam anggaran. Terakhir, bantuan
bibit pinang pernah diberikan pada 2012 di Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur
sebanyak 10.000 bibit, tetapi selanjutnya tidak ada lagi.
Kepala Subbagian Program Dinas
Perkebunan Sumatera Utara Olopan Sihombing mengatakan, sejak 2010 tidak ada
lagi anggaran untuk mengembangkan tanaman kemenyan. Pemerintah hanya fokus pada
kelapa sawit, kopi, cokelat, karet, dan kelapa.
Sebelumnya, APBD Provinsi
Sumatera Utara menganggarkan sedikit untuk pembenihan tanaman di Tapanuli Utara
seluas sekitar 5 hektar. ”Tahun 2006 hingga 2010 ada penangkaran tanaman untuk
5 hektar atau sekitar 1.500 batang tanaman,” kata Olopan.
Menurut Kepala Dinas Kehutanan
Kabupaten Tapanuli Utara Benhur H Simamora, tahun ini, karena ada pemotongan
dana alokasi khusus, anggaran konservasi tanaman kemenyan hanya muncul di dana
alokasi umum. Pengembangan tanaman kemenyan hanya dilakukan di tiga kecamatan,
yakni Pangaribuan, Pahae Julu, dan Adian Koting, seluas 15 hektar.
Sementara itu, menurut Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Muhammad Syakir, tanaman
langka atau yang belum bernilai ekonomi tinggi tetap dipelihara dan
dilestarikan. ”Dari aspek penelitian dan pengembangan, keragaman sumber daya
genetik sangat menentukan terciptanya berbagai varietas tanaman sesuai
kebutuhan,” katanya.
Masa depan
Riset beberapa komoditas ini malah
banyak dilakukan lembaga riset di luar negeri. McCormick Science Institute
menyebutkan, riset komoditas itu dilakukan karena dalam 10 tahun ke depan
gabungan dari rempah dan herbal akan menjadi multivitamin pada masa mendatang.
Rempah dan herbal kemungkinan akan masuk dalam piramida makanan warga Amerika
Serikat. Persepsi konsumen terhadap rempah akan meningkat menjadi makanan
pangan super, seperti buah dan sayur, dalam diet manusia saat ini.
disadur dari Kompas, Selasa, 24 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar