Sejak beberapa bulan terakhir, Pemerintah
Presiden Jokowi telah mengintrodusir 12 paket kebijakan untuk merangsang
pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.
Sangat disayangkan,
hasilnya belum sepenuhnya terlihat di lapangan. BPS melaporkan, tingkat laju pertumbuhan
ekonomi justru merosot Semester I-2016, sedangkan realisasi investasi ataupun
ekspor juga tak meningkat. Pada saat yang sama, bursa efek melaporkan adanya
penjualan efek-efek oleh investor asing serta aliran keluar modal jangka pendek
ke luar negeri. Hal ini mencerminkan belum baiknya kebijakan ekonomi dalam
semua segi, baik moneter, fiskal, maupun deregulasi perekonomian untuk
merangsang efisiensi dan pertumbuhan ekonomi.
Kondisi ini sekaligus menggambarkan
kurangnya pemahaman kabinet pemerintahan dalam memahami masalah perekonomian
nasional dan memperbaikinya. Mereka tak mampu membaca perubahan lingkungan
regional dan internasional serta mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari
potensi dunia itu seraya menghindarkan dampak negatifnya.
Pemerintahan Jokowi tak
punya tokoh seperti Profesor Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana yang punya
koneksi internasional sehingga di era mereka mampu meyakinkan pemerintah dan
parlemen negara-negara IGGI/CGI untuk memberikan bantuan dan pinjaman lunak
selama 32 tahun (1966-1998) terus-menerus kepada Indonesia. Menteri-menteri
Jokowi adalah orang-orang yang sangat alergi terhadap IMF dan Bank Dunia
ataupun negara-negara kreditor Barat. Namun, alternatif yang mereka miliki
hanya menjadi semakin bergantung pada Tiongkok.
Moneter
dan perbankan
Deflasi sudah dapat menurunkan sedikit
suku bunga acuan BI ataupun tingkat suku bunga kredit bank. Deflasi itu terjadi
bukan karena hebatnya kebijakan ekonomi, melainkan hanya karena kemerosotan
harga komoditas primer dunia baik migas dan hasil pertambangan lain, produk
pertanian dan perikanan, maupun bahan makanan. Penurunan harga migas, misalnya,
telah menurunkan tarif listrik dan angkutan di seluruh dunia, mulai dari ojek,
oplet, bus, hingga pesawat terbang. Rangkaian penurunan harga yang terjadi
karena resesi ekonomi di beberapa pelosok dunia telah menurunkan biaya produksi
maupun harga komoditas kebutuhan masyarakat yang digunakan dalam mengukur laju
inflasi.
Dalam kebijakan moneter
yang didasarkan pada pencapaian target inflasi (inflation
targeting) di Indonesia dewasa ini, suku bunga acuan BI ditentukan
tiga faktor. Pertama, tingkat suku bunga riil dalam keseimbangan jangka
panjang. Kedua, kesenjangan antara target inflasi inti BI dan realisasinya (inflationary gap). Inflasi inti
diukur BI berdasarkan indeks inflasi yang ditetapkan BPS dikurangi harga bahan
makanan dan komoditas yang disubsidi pemerintah (seperti BBM dan listrik).
Harga bahan makanan dianggap sensitif terhadap perubahan cuaca, iklim, dan
musim, dan bukan ditentukan oleh kebijakan moneter BI.
Subsidi BBM dan listrik
merupakan keputusan anggaran oleh pemerintah dan DPR. Faktor ketiga yang
memengaruhi tingkat suku bunga acuan BI adalah output
gap yang merupakan selisih antara potensi maksimum
perekonomian jika semua faktor produksi digunakan dengan tingkat produksi yang
dapat direalisasikan.
Tingkat suku bunga bank
di Indonesia masih yang tertinggi di ASEAN, antara lain karena inefisiensi
bank-bank nasional, terutama bank-bank negara. Industri keuangan, terutama perbankan,
merupakan jembatan antara BI dan dunia usaha serta masyarakat. Dewasa ini,
industri keuangan Indonesia sangat terbelakang dan hanya bertumpu pada industri
perbankan. Indonesia tak lagi punya Bank Tabungan Pos (BTP), sedangkan bursa
obligasi dan pasar modal masih sangat kecil peranannya. Dana pensiun dan
asuransi juga mulai berkembang, dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan asing.
BTP warisan kolonial sudah lama pudar karena dilanda perang saudara dan inflasi
yang tinggi hingga 1966. Setelah itu, tidak pernah ada lagi upaya pemerintah
untuk membangunnya kembali.
Beberapa negara maju,
seperti Jepang, Jerman, Perancis, dan Italia, memiliki BTP untuk memobilisasi
tabungan nasional. BTP yang kaya di negara-negara itu digunakan untuk menyerap
sebagian besar obligasi negara. Selain dana BTP, SUN di negara-negara maju juga
diserap dana pensiun serta asuransi dalam negeri. BTP memobilisasi dana dari
tabungan masyarakat ataupun menjual asuransi jiwa. Selain menyerap SUN, dana
BTP itu digunakan untuk membantu permodalan UKM dan membangun infrastruktur,
termasuk perhubungan antarpulau.
Sebaliknya, sekitar 40
persen likuiditas bursa yang memperjualbelikan SUN dan SBI di dalam negeri
Indonesia berasal dari pemasukan modal asing berjangka pendek. Akibatnya,
cadangan luar negeri, kurs devisa, dan tingkat suku bunga bank di Indonesia
ditentukan oleh arus keluar masuk modal asing jangka pendek yang sangat rawan.
Pemasukan modal menurunkan tingkat suku bunga, menguatkan nilai tukar rupiah,
dan menaikkan harga SUN serta SBI. Pelariannya ke luar negeri menimbulkan
proses yang sebaliknya. Akibatnya, kurs rupiah dan tingkat suku bunga bergerak
bagaikan yoyo, naik-turun cepat sehingga mengganggu inflasi dan menambah
kerawanan perekonomian, menimbulkan ketakpastian.
Inti dari industri
perbankan Indonesia terdiri atas empat bank BUMN dan 26 BPD yang menguasai
lebih dari 50 persen pasar perbankan nasional. Peranan yang dominan kelompok
bank milik negara ini diperoleh bukan dari kemampuan bersaing baik dalam produk
maupun dalam pelayanan, tetapi karena adanya ketetapan pemerintah yang
mewajibkan penyimpanan seluruh kekayaan finansial sektor negara dan BUMN/BUMD
hanya pada bank-bank milik negara.
APBN
APBN tetap mengalami defisit karena
rendahnya penerimaan negara dari pajak. Walaupun Indonesia sudah 70 tahun
merdeka, penerimaan pajaknya salah satu terendah di dunia, sekitar 13 persen
dari PDB. Jumlah penduduk yang terdaftar sebagai wajib pajak baru sekitar 7
persen. Ini mencerminkan buruknya administrasi perpajakan. Karena UU dan peraturan
pajak bagian dari sistem hukum nasional, rendahnya penerimaan pajak sekaligus
mencerminkan kelemahan sistem hukum, politik, dan sosial kita.
Keuntungan BUMN juga
sangat rendah. Konglomerat swasta dan perusahaan asing bisa kaya raya dari
perkebunan sawit, tambang batubara, dan industri kertas, tetapi BUMN
terus-menerus minta tambahan modal dari pemerintah. Hasil penjualan aset negara
sangat rendah karena korupsi. Dengan jumlah penerimaan yang rendah seperti ini,
sulit dapat membayangkan Indonesia dapat menjadi negara yang berdiri di atas
kaki sendiri, apalagi menjadi besar dan jaya.
Sistem fiskal juga tak berfungsi sebagai
alat pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan masyarakat, ataupun alat
stabilisasi ekonomi. Dalam sejarah manusia, tak ada negara yang dapat menjadi
besar dan jaya tanpa penerimaan pajak yang mencukupi keperluan pengeluaran
negara. Tak ada negara yang bisa menjadi besar karena dililit utang serta
mencetak uang untuk menutup defisit anggarannya.
Untuk menutup defisit
APBN, pemerintah tetap bertumpu pada pinjaman luar negeri. Selama 32 tahun Orde
Baru, seluruh defisit APBN ditutup dari pinjaman lunak negara-negara donor
Barat yang tergabung dalam konsorsium IGGI/GCI. Bantuan dan pinjaman luar
negeri tersebut menggantikan pembelanjaan defisit APBN melalui pencetakan uang
sebelum tahun 1966 yang telah menyebabkan tingkat inflasi sangat tinggi (1966:
650 persen). Setelah reformasi 1998, defisit APBN dibelanjai dengan menjual SUN
ke pasar uang dalam negeri dan luar negeri dengan persyaratan pasar. Modal
perbankan pun dipulihkan dan kredit macetnya dibersihkan dengan menyuntikkan
SUN.
Rekapitalisasi perbankan
1997-1999, sebesar 50 persen dari PDB 1998, termahal dalam sejarah manusia. UU
Keuangan Negara Tahun 2003 menggunakan disiplin fiskal Uni Eropa yang membatasi
maksimum defisit APBN 3 persen PDB dan maksimum utang negara 60 persen PDB.
Arah pengeluaran negara dalam
pemerintahan Jokowi belum banyak menyumbang pada pertumbuhan ekonomi.
Otonomi daerah tak dapat
berjalan dengan baik karena kekurangan kemampuan pemda mengurus keuangan
ataupun melakukan perencanaan serta melaksanakan pembangunan sekolah, fasilitas
kesehatan, ataupun infrastruktur yang menjadi tugas pokoknya dewasa ini. Juga
belum kelihatan adanya persaingan antarpemda menggunakan hak otonominya guna
menarik investasi dan menggalakkan ekonomi daerah masing-masing. Yang mereka
lakukan justru menambah distorsi yang menghambat kegiatan ekonomi dan lalu
lintas barang dan jasa serta faktor produksi antardaerah yang bertentangan
dengan perwujudan NKRI.
Pemerintah pusat dan
daerah perlu segera mengatasi kekurangan tenaga administrasi keuangan,
perencana, ataupun pelaksana pembangunan yang diperlukan oleh pemda itu. Tanpa
perbaikan itu, otda tak akan jalan, uang daerah terus dikorupsi atau disimpan
di BPD-nya sendiri yang mendaurulangkannya kembali ke Jakarta untuk membeli
SUN, SBI, ataupun melakukan spekulasi kurs rupiah.
Tiga UU Keuangan Negara
Tahun 2003-2004 menggantikan ICW. Pembukuan keuangan negara yang tadinya berupa
pembukuan satu sisi bagaikan pembukuan warung rokok di pinggir jalan, kini
digantikan tata buku modern yang terdiri atas dua sisi. Keuangan negara yang
tadinya tersebar di banyak tangan, termasuk pejabat yang sudah meninggal, kini
dipusatkan dalam satu pembukuan tunggal (treasury
single account). Keuangan negara yang tadinya berbasis kas
digantikan sistem yang berdasarkan kinerja (performance
basis). Pemeriksaan keuangan negara dibuat lebih tertib,
berjenjang, dan dengan jadwal yang lebih ketat.
Restrukturalisasi
perekonomian
Tujuan pokok restrukturalisasi adalah
untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas agar dapat meningkatkan daya saing
di pasar global. Belajar dari negara lain, termasuk Tiongkok setelah Deng Xiao
Ping, suatu negara dapat menjadi maju dan makmur karena dapat memanfaatkan
pasar global. India di bawah PM Manmohan Singh dan Modi sekarang ini, meniru
Tiongkok dengan mengundang penanaman modal asing dan merambah pasar perdagangan
dan investasi dunia. Investasi asing dan kenaikan kegiatan ekonomi serta ekspor
itu yang menciptakan lapangan kerja bagi tenaga kerja yang jumlahnya terlalu
banyak tetapi tak punya pendidikan dan keterampilan kerja.
Peningkatan pendapatan
negara dan pendapatan masyarakat Tiongkok dan India memungkinkan rakyatnya
hidup lebih layak, membeli rumah, menyekolahkan anak, dan memelihara kesehatan.
Korea Utara mungkin satu-satunya negara komunis yang tetap berdikari dan
menutup diri dari pergaulan dunia. Karena itu, negara itu tetap melarat dan
kelangsungan hidupnya hanya karena adanya bantuan dan subsidi dari Tiongkok.
Ada empat aspek utama
restrukturalisasi sistem sosial dan ekonomi, yakni: (i) memperbaiki penegakan
sistem dan aturan hukum, (ii) meningkatkan kualitas pengaturan negara dan
mencegah terjadinya distorsi perekonomian, (iii) meningkatkan efektivitas
penyelenggaraan negara, dan (iv) pemberantasan korupsi. Keterlambatan akibat
dari berbelit-belitnya birokrasi dan maraknya pungli telah menghambat
investasi, meningkatkan ongkos produksi, dan mengurangi daya saing ekonomi
nasional di pasar dunia. Kemampuan untuk melakukan persaingan di pasar dunia
memerlukan efisiensi logistik yang cepat dengan biaya murah.
Sistem hukum mempunyai
dua fungsi: (i) melindungi hak milik individu dan (ii) memaksakan berlakunya
kontrak perjanjian. Sistem hukum yang tak jalan menimbulkan ketidakpastian dan
meningkatkan biaya transaksi yang mengurangi efisiensi dan produktivitas. Hanya
di pengadilan negeri di Indonesia di muka bumi ini di mana pembeli surat utang
atau obligasi kalah berperkara dengan pihak yang mengeluarkan surat utang itu.
Karena tak ada
perlindungan hukum, masyarakat beralih pada preman dan debt collectors untuk
menyelesaikan utang-piutang.
Di samping karena tidak
adanya kepastian hukum, keamanan untuk menyimpan kekayaan di Indonesia menjadi
semakin terganggu karena lemahmya sistem politik dan sosial kita. Sejak
pengakuan kedaulatan pada 1950, sudah beberapa kali terjadi di Indonesia
pengusiran, perampasan hak milik, dan tindakan kriminal pada WNI turunan asing.
Kekayaan warga pribumi,
seperti Markam dan Tambunan yang dulu dekat dengan Bung Karno, pun disita tanpa
dasar hukum dan penggantian. Akibatnya, orang kaya lebih merasa aman untuk
menyimpan kekayaannya di luar negeri dan menyebabkan terjadinya diaspora tenaga
terampil Indonesia ke seluruh dunia.
Tanpa adanya perbaikan
sistem hukum, politik, dan sosial, program anmesti pajak yang diintroduksi
pemerintahan Presiden Jokowi sekarang ini tidak akan berhasil untuk menarik
kembali uang dan tenaga terampil itu ke Indonesia.
Peningkatan efisiensi
perekonomian nasional, termasuk restrukturalisasi BUMN dan BUMD, agar moto
mereka sebagai agen pembangunan bukan saja hanya sebagai semboyan kosong
belaka. Kenapa perusahaan asing dan swasta nasional bisa menjadi kaya raya,
sedangkan BUMN dan BUMD tetap terpuruk dan terus-menerus minta suntikan modal
tambahan dari pemerintah? Kenapa BUMN di Malaysia dan Singapura bisa masuk
pasar dunia, termasuk ke Indonesia, sedangkan BUMN dan BUMD kita tetap hanya
menjadi jago kandang?
Oleh: Anwar Nasution
Disadur dari
Kompas. Kamis, 19 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar