Tapi harap maklum, segala praktik yang baru memang begitu. Ada pro dan ada kontranya. Wajar saja. Sudah lama para ahli mengingatkan bahwa kita tengah memasuki era new economy. Kalau dulu ada classical dan neoclassical, kini ada new economy. Celakanya, teori-teori tentang keadaan di dunia ekonomi baru itu lebih banyak dikembangkan orang-orang micro dalam ranah strategic management, sehingga wajar kalau masih banyak yang mengorek-ngorek apakah ini socialism, capitalism, atau new capitalism.
Padahal jelas sekali, analisis ekonomi lama didasarkan owning economy, yang setelah dipetakan para pelaku bisnis dunia baru mengakibatkan banyak idle (aset yang menganggur), yang baru akan menjadi produktif kalau mereka berkolaborasi. Nah, kolaborasi itu mereka beri nama sharing, yaitu sharing resources. Ini jelas jadi membingungkan mereka yang main asal menerjemahkan dan merasa janggal kalau di Indonesiakan menjadi ”berbagi”.
Jangankan paradigmanya atau ideologinya, basis data analisisnya saja sudah berbeda. Old economy menggunakan time series data, makanya ada istilah lag. Sedangkan new economy sudah memakai big data analytics, real time (bukan time series). Maka pola supply-demand-nya tak bisa lagi dibuat kebijakan dengan batas harga atas bawah yang berlaku sekian lama (katakan setahun atau enam bulan). Wong harga dan biaya dalam hitungan jam saja sudah berubah. Apalagi harian.
Kalau dibuat rigid maka yang terjadi inefisiensi itu menjadi high cost, pengangguran. Tidak jadi daging. Berpotensi tidak menyejahterakan. Di banyak negara, fenomena ini terus bergerak namun juga menghadapi tantangan seperti di sini. Namun, saya yakin semua tantangan itu hanya akan menjadi batu pijakan untuk membuat bisnis ini menjadi semakin matang dan berkembang. Pada masanya, dan tidak akan lama lagi. Mengapa?
Sederhana saja. Masyarakat kita menerima kehadiran bisnis-bisnis baru ini dengan tangan terbuka. Juga, bukankah memang begitu lazimnya bisnis. Bukan proteksi yang membuat suatu bisnis maju dan berkembang, melainkan kompetisi dan tantangan. Fenomena semacam itu, dan kemungkinan yang terbuka di masa mendatang, membuat saya terus memikirkannya.
Tapi semua itu ada latar belakangnya. Maka kali ini saya ingin mengajak Anda memahaminya dari perspektif itu. Semoga tulisan ini, yang untuk ke sekian kali saya ulas, bisa memberi kontribusi terhadap pemahaman kita akan konsep sharing economy yang, mohon maaf, saya lihat masih sulit dicerna oleh sebagian menteri kita.
Beranjak dari Krisis
Baiklah saya ajak kita semua untuk mundur sedikit ke belakang. Kita akan melihat mengapa sharing economy tumbuh dan akhirnya berkembang di negara- negara maju. Kita mengenang masa pada 2008-2009. Itu tahun penting sebab pada tahun-tahun itulah ekonomi kolaborasi mulai berkembang, terutama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS). Anda masih ingat apa yang terjadi tahun itu? Betul, ekonomi dunia terperangkap dalam krisis finansial yang dipicu oleh skandal subprime mortgage di AS.
Skandal itu membuat sejumlah perusahaan AS bangkrut dan menyeret ekonomi Negeri Paman Sam itu masuk dalam krisis. Celakanya, AS menguasai 40% perekonomian dunia. Maka krisis di AS pun berimbas ke mana-mana, termasuk mengancam perekonomian negara kita. Perlambatan ekonomi terjadi di banyak negara, bahkan beberapa malah minus pertumbuhannya. Pengangguran meningkat.
Di AS, juga di Eropa. Kita pun terkena imbasnya, meski tak separah negara-negara maju. Di tengah kondisi yang demikian, muncul bisnis-bisnis baru yang men-disruption bisnis-bisnis lama dan sekaligus menjadi jawaban atas permasalahan yang terjadi saat itu. Ekonomi sedang krisis.
Pengangguran di mana-mana. Mengapa harga-harga masih begitu mahal? Chris Anderson, penulis buku Makers: The New Industrial Revolution (2012), menulis begini, ”If the past decade has been about finding new innovation and collaboration models on the web, the next decade will be about applying them to the real world.” Bisnis-bisnis baru ini memang mengandalkan teknologi sebagai enabler dan membuatnya menjadi sangat efisien. Apa saja teknologi yang memainkan peran penting di sini. Banyak sekali.
Misalnya, internet yang kian mengglobal dan memungkinkan seluruh warga dunia terkoneksi. Lalu, peranti gadget kita yang kian powerful dan mobile. Dulu salah satu masalah serius dalam bisnis di dunia maya adalah soal pembayaran. Ini membuat pasar maya sulit berkembang. Beruntung kini kita sudah memiliki sejumlah sistem pembayaran di pasar maya. Misalnya, Paypal. Salah satu fenomena yang memicu berkembangnya bisnis berbagi adalah social network.
Contohnya Facebook. Sampai dengan Juni 2014, pengguna aktifnya sudah mencapai 1,32 miliar atau hampir 20% dari seluruh penduduk dunia. Lalu ada Google+ yang jumlah penggunanya bahkan sudah mencapai 1,6 miliar, Twitter dengan 645,7 juta, atau Instagram 415 juta. Di luar itu masih ada beberapa media sosial lainnya, seperti LinkedIn, Pinterest, Path, atau SnapChat.
Altruisme
Pada akhirnya adalah man behind the gun. Siapa mereka? Mereka ini anak-anak muda yang peduli dengan lingkungan dan sesama, senang berbagi dan suka menolong orang lain. Auguste Comte menyebut perilaku manusia seperti ini dengan istilah altruisme, yakni perilaku yang ingin membuat dirinya bermanfaat bagi sesamanya, bahkan kalau perlu sampai mengorbankan dirinya.
CEO Google Eric Schmidt mengidentifikasi mereka: ”Ini generasi cerdas. Mereka lebih cepat, lebih global, banyak akal, dan berpendidikan lebih baik. Mereka saling terhubung sejak menjelang lahir melalui ponsel, chatting, dan jaringan sosial. Mereka saling peduli lebih dari yang pernah kita bayangkan.” Negara kita punya sejumlah kondisi yang kurang lebih sama dengan negara-negara maju kala mereka menghadapi krisis ekonomi. Kita memang tidak berada dalam kondisi krisis ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi kita pada tahun 2016 ditargetkan mencapai 5,3%. Namun, pengangguran di negara kita masih bertebaran di mana-mana. Ini jelas bukan masalah pemerintah, melainkan kita semua. Bicara teknologi, ini datanya. Jumlah pengguna internet di negara kita pada tahun 2014 diperkirakan lebih dari 93,4 juta. Kini jumlahnya pasti sudah bertambah. Lalu, pengguna Facebook pada 2014 diperkirakan sudah 69 juta. Kini pasti jumlahnya juga sudah bertambah. Kemudian, pengguna Twitter sudah menembus 50 juta pengguna.
Sementara pengguna Path dan LinkedIn masing-masing sudah di atas 4 juta. Lagi, jumlah mereka bakal terus bertambah. Jadi dari sisi social network, kita juga sudah siap melakukan tugas sharing dan berkolaborasi. Lalu, yang terakhir dan membuat saya sangat bangga, kita punya pasokan generasi altruisme. Mereka bukan hanya generasi yang mau berbagi dan suka menolong. Lebih dari itu, mereka adalah generasi yang punya mimpi-mimpi besar tentang negara ini. Mereka bukan generasi yang hanya menanti datangnya perubahan.
Mereka bertindak. Bahwa langkah yang mereka lakukan menciptakan disruption, bagi saya, itu konsekuensi logis. Sebab sebagai pendatang baru dalam dunia bisnis, perilaku mereka memang harus begitu. Mereka harus men-disruption bisnis-bisnis yang lama. Kalau hanya me too, mereka tak ada bedanya dengan pemain yang sudah existing. Hasilnya, mereka jelas tak akan mendapat tempat di pasar. Maka saya tak heran kalau perilaku mereka seperti itu.
Kondisi inilah yang, menurut saya, perlu kita pahami termasuk oleh para menteri di Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi-JK. Di Rumah Perubahan, teori disruption dan reformulasi strateginya tengah menjadi riset yang menarik perhatian. Kami sendiri sudah menyiapkan sejumlah cara untuk mengajarkan strategi baru ini, yaitu bagaimana para incumbents membangun kekuatan baru dalam era disruptions.
Kami juga menyiapkan tools untuk membantu para aparatur sipil negaranya agar siap melayani publik dengan strategi jitu. Semoga membantu!
oleh Rhenald Kasali
disadur dari Koran Sindo, Jum'at, 29 April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar