Di masa lalu, bila seorang anak
hendak berpamitan, ia mesti mengetuk pintu kamar ayahnya, atau menghampiri
ibunya ke dapur, untuk bersalaman, cium tangan, sebelum meninggalkan rumah.
Tata krama dan laku santun itu kini telah diringkas oleh perkakas bernama gawai.
Ia cukup mengetik satu-dua kalimat di layar telepon pintar, lalu kirim melalui
fasilitas online messenger ke nomor
Mama-Papa, dan tuntas perkara. Mama-Papa akan membalas pesan-pesan digital dari
anak- anaknya, lantas kembali tenggelam dalam rutinitas yang tiada sudah-sudah.
Begitu selalu, hingga banyak keluarga seperti sedang membangun rumah di semesta
jagat maya. Seolah-olah ramai perbincangan, seakan-akan semarak oleh
kehangatan, padahal mereka jarang bertemu muka.
Generasi yang lahir di era 1980-an
hingga 2000-an adalah generasi yang tumbuh di lingkungan serba digital. Mereka
meluncur ke bumi ketika dunia internet telah merajalela. Hampir semua aktivitas
dijembatani oleh internet. Gawai adalah perkakas. Jagat maya adalah napas.
Marc Prensky (2001) menyebut mereka
sebagai generasi digital native. Bila
anak-anak yang terbiasa berbincang dengan Ibu- Bapaknya via WhatsApp-meski mereka berada di rumah
yang sama-disebut digital native,
maka orangtua atau generasi di atas usia mereka adalah kaum digital immigrant. Mereka ini lahir di
zaman analog, tetapi tak bisa lari dari kepungan dunia digital. Ada yang bisa
beradaptasi, tetapi lebih banyak yang kepayahan karena generasi masa kini tidak
lagi bisa memahami fitur-fitur analog dalam bahasa mereka.
Kolumnis M Burhanuddin (2016)
mencatat, generasi digital native membangun
gaya, perilaku, dan bahasa-bahasa baru dalam alur komunikasi dan interaksi yang
cepat, masif, dan penuh fantasmagoria. Mereka mengubah tatanan nilai dan gaya
hidup jadi serba digital. Jumlah mereka sangat besar, dan akan jadi yang
terbesar di Indonesia pada 2030. Bila menggunakan istilah Manuel Castells
(1996), pertumbuhan generasi digital native dapat dianalogikan seperti rhizome, tumbuhan yang berkembang
dengan cara menjalar ke segala arah.
Di berbagai belahan dunia, kaum
digital native terus bermunculan. Bahkan di negara yang dikuasai junta militer
dan paling represif terhadap media, seperti Myanmar sekalipun, sejak
1988-sebagaimana dicatat Reza AA Wattimena-muncul kelompok virtual bernama Support the Monks Protest. Setiap 12
jam, 10.000 anggota baru mendaftar. "Kini Anda bisa menyaksikan
komunitas-komunitas yang kuat, dari orang-orang Myanmar di Norwegia, Thailand,
India, dan Inggris. Teknologi digital membuat jaringan bawah tanah menjadi
lebih efektif," kata Vincent Brossel, wartawan Reporters Without Border. Di negara-negara Arab,
revolusi digital bahkan menggerakkan perubahan sosial politik. Otoritarianisme
bertumbangan digilas gelombang perlawanan yang bermula dari suara anak-anak
dunia maya.
Penggerak
ekonomi
Dari kaum digital native pula lahir sosok seperti Travis Kalanick, pendiri
sekaligus CEO Uber, aplikasi penghubung para pengguna jasa transportasi.
Sebagaimana dilansir www.cnnindonesia.com (24/03/16), Kalanick mendirikan Uber
pada 2009 di San Fransisco, California, AS. Uber diterima masyarakat karena
harganya terjangkau. Uber mengekspansi layanan ke berbagai negara secara
agresif, mengganggu tatanan transportasi, dan memicu kontroversi.
Pada 2015 di New York, Uber
menyediakan layanan kepada 1,9 juta pengguna dalam waktu tiga tahun dan
menciptakan rata-rata 13.750 pekerjaan. Sementara di London, pengguna Uber
sudah mencapai 900.000 dan membuka 7.800 pekerjaan. Kini Uber telah menyebar ke
berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, dan dianggap mengganggu bisnis
transportasi konvensional. Anthony Tan, putra konglomerat Malaysia, suatu hari
saat ia kuliah di Harvard Business School (AS), temannya berkabar perihal
sulitnya mendapatkan taksi di Malaysia. Ia kemudian menyusun rencana bisnis
yang mirip layanan Uber pada 2012. Tan membangun GrabTaxi, aplikasi yang semula
dirancang guna mendukung operasional perusahaan taksi, tetapi kemudian malah
menggoyang perusahaan taksi itu sendiri.
Generasi digital native adalah para penggerak ekonomi digital. Pertumbuhan
kelas menengah dan penetrasi internet tak dapat diabaikan. Bank Dunia mencatat,
Indonesia telah mengalami pertumbuhan kelas menengah yang fantastis sejak
krisis moneter 1998. Pertumbuhan itu diprediksi terus meningkat hingga 2030
dengan populasi sebanyak 141 juta jiwa. Lembaga riset eMarketer mencatat, pada
2014 jumlah pengguna internet dalam negeri sudah 83,7 juta jiwa. Angka ini
diprediksi akan terus meningkat seiring majunya teknologi di Indonesia. Litbang
Kompas memprediksi, pada 2017 jumlahnya akan sebanyak 117 juta jiwa. Uber,
Grab, Go-Jek, hanya sebagian kecil dari bentuk-bentuk kreativitas kaum digital native, yang kini sedang
menggelinding jadi buah simalakama. Disukai banyak orang, tetapi dicerca banyak
orang pula. Dalam silang-sengkarut layanan transportasi publik yang tak kunjung
terurus, banyak orang merasa terbantu, ratusan ribu orang terlapangkan
ekonominya.
Namun, penyelenggara negara tak bisa
membiarkan itu bergulir tanpa aturan. Maka, dalil UU lekas dibacakan, imbauan
dimaklukmatkan, bahkan ancaman memblokir situs telah dikumandangkan. Solusi
analog dan super-manual. Kreativitas diadang dengan UU. Keleluasaan berinovasi
dikunci dengan regulasi yang kaku. Namun, anak-anak dunia maya tak terbiasa
banyak bicara di dunia analog. Mereka akan terus berselancar di layar-layar
digital, mencari celah yang bisa ditelusuri untuk kembali menemukan
bentuk-bentuk kreativitas baru, dan boleh jadi akan jatuh sebagai buah
simalakama yang jauh lebih pahit. Begitu seterusnya, hingga negara ini lapuk dalam
keletihan..
oleh Damhuri Muhammad
disadur dari Kompas, Selasa, 14 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar