Editors Picks

Sabtu, 18 Juni 2016

Pancasila, BI, dan Ekonomi



Saya setuju penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Walaupun urut-urutan silanya berbeda ketika dirumuskan secara resmi dan tercantum dalam Mukadimah Konstitusi pada 18 Agustus 1945, nama dan gagasan besar ideologi negara itu sepenuhnya milik Soekarno.

Masalahnya adalah seliweran gagasan menjelang dan setelah 1 Juni tentang Pancasila tahun ini-seperti juga tahun-tahun lalu, juga mungkin tahun depan-selalu bersifat normatif: anggapan bahwa semua kesalahan di Indonesia terletak pada absennya pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Tak ada pertanyaan apakah Pancasila itu terlalu "agung" hingga sulit diterjemahkan ke dalam "realitas konkret" Indonesia?

Hemat saya, analisis atas "realitas konkret" Indonesia inilah yang dilakukan pencetus Pancasila, Soekarno, dalam pidato pembelaannya di Pengadilan Kolonial pada 1930. Sambil melihat bahkan Sriwijaya dan Majapahit sebagai wujud imperialisme, dalam pembelaan berjudul "Indonesia Menggugat" itu Soekarno mengesankan pemerintah kolonial juga korban kekuatan besar pembentuk "realitas konkret" itu: kapitalisme dan imperialisme.

Ujarnya, "Sangkaan imperialisme itu kaum amtenar, atau bangsa kulit putih, atau pemerintah... adalah salah sama sekali." Sebab, dalam pandangan Soekarno, kapitalisme adalah "sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dengan alat-alat produksi, yang karenanya menjadi sebab nilai lebih tidak jatuh ke tangan kaum buruh, melainkan... ke tangan majikan. Kapitalisme menyebabkan akumulasi kapital... dan industrielle reserve army (kelompok penganggur). Kapitalisme mempunyai arah kepada verelendung".

Yang terakhir ini berarti memelaratkan kaum buruh. Dengan definisi ini, Soekarno menyimpulkan: "Kapitalisme itu bukan suatu badan, bukan manusia,bukan suatu bangsa." Dan dilanjutkannya: "Ia adalah suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain...mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain." Dan imperialisme adalah anak modern kapitalisme, yaitu "usaha meluaskan milik jajahan secara tidak terbatas.... untuk keuntungan industri dan kapital bank mereka sendiri".

"Commercial society"
Kecuali pernak-perniknya, 86 tahun setelah pidato pembelaan Soekarno itu, struktur pengaruh kekuatan global tidak berubah, bahkan kian dalam dan rumit. Benar, kemerdekaan Indonesia cetusan Soekarno-Hatta (1945) adalah subyektivisme bangsa membentuk "realitas politik" sendiri. Akan tetapi, secara struktural kemerdekaan tersebut terpaksa tergelar di atas "realitas konkret" bentukan kapitalisme dan imperialisme. Di sini, negara sebagai pemegang kedaulatan politik harus terus-menerus bernegosiasi dengan kekuatan abstrak ciptaan kapitalisme dan imperialisme itu. Sebagai konsekuensinya, manuver menerapkan Pancasila menjadi "sempit". Bagaimana ceritanya?

Salah satunya adalah karena terbentuknya gabungan consumer society dan market society (masyarakat konsumen dan masyarakat pasar) yang bertransformasi menjadi masyarakat komersial (commercial society). Mengikuti logika Niall Ferguson dalam bukunya, Civilization: The West and the Rest (2011), keberadaan kedua masyarakat inilah alasan utama kerja sama erat teknologi dan modal. Kemunculan industri tekstil abad ke-18 di Inggris, bukan saja tanda mulainya Revolusi Industri, melainkan juga tercipta kemampuan daya beli masyarakat.

Melalui penciptaan pabrik tenun, produksi meningkat berkali lipat. Ini mendorong harga barang lebih murah dan terjangkau masyarakat. Semakin luas masyarakat pembeli, semakin merangsang investasi modal dan temuan-temuan teknologi baru lebih lanjut. Inilah proses terciptanya commercial society, yakni himpunan sosial yang mendasari kesintasan hidup melalui mekanisme transaksional. Di sini, konsumen dan produsen menyatu dengan lainnya tanpa, menurut Pierre Manent, filosof Belanda abad ke-18, "harus berbagi pandangan hidup".

Ucapan Manent yang dikutip Samuel Gregg dalam The Commercial Society (2007) ini menyiratkan aspek struktural perluasan masyarakat ini ke tingkat global, yakni ketika kelebihan produk industrial tak mampu terserap pada tingkat domestik melahirkan kebutuhan ekspansi ke luar Eropa. Struktur usaha merkantilisme lahir melalui proses ini, ketika tambahan investasi modal dan temuan-temuan teknologi lanjutan mendapat proteksi politik otoritas kekuasaan negara bersangkutan dalam memperluas pasar bagi produk industrinya. Lahirnya masyarakat konsumen global dengan metode inilah yang dimaksud Soekarno sebagai "imperialisme".

Dengan fakta dan logika itu kita bisa menyimpulkan bahwa kemunculan masyarakat konsumen di Indonesia telah berlangsung lebih dari 100 tahun sebelum kemerdekaan. Sebab, peredaran uang dalam jumlah tak berpreseden telah berlangsung sejak 1830, ketika sistem tanam paksa diterapkan negara kolonial di Jawa. Mengutip Cornelis Fasseur dalam The Politics of Colonial Exploitation: Java, the Dutch and the Cultivation System (1992), diketahui telah beredar dana 10 juta gulden pada 1840 dan 14,5 juta gulden pada 1860 di Jawa untuk memenuhi seluruh keperluan sistem tanam paksa. Sudah tentu, dari jumlah itu, hanya sebagian kecil tersangkut kepada petani dan elite pribumi Jawa. Hanya saja, sistem pembayaran tunai kepada petani atas tanaman-tanaman ekspor yang dipaksakan negara kolonial itu membuat cash economy (ekonomi uang) mulai kian terasa.

Peredaran uang kian terjadi melalui kebijakan "liberal" sejak 1870. Mulai saat itu, Jawa dan Indonesia secara keseluruhan dibanjiri modal swasta mancanegara yang ditanamkan ke dalam sistem perkebunan bertujuan ekspor. Sifat "liberal" ini secara tidak langsung mendorong rakyat kian menjadi anggota commercial society. Berbeda dengan sistem tanam paksa, melalui UU Agraria 1870 itu para investor swasta dapat menyewa tanah rakyat secara langsung selama 70 tahun. Secara kasatmata, proses ini adalah tambahan aliran uang ke tangan rakyat. Namun, secara teoretis, ini adalah proses transformasi mental. Mengikuti Robert Heilbroner dalam The Making of Economic Society (1962), tanah yang sebelumnya dihayati sebagai wilayah pertuanan (great lord), melalui proses penyewaan itu berubah menjadi komoditas.

Dan andai tuntutan Van Derventer terpenuhi, perputaran uang di Jawa kian besar. Melalui tulisannya, "Een Eereschuld" (Utang Budi) pada 1899, tokoh politik etis ini menuntut negara induk (Belanda) mengembalikan uang 187 juta gulden plus 100 juta gulden ke Jawa. Ini tak terkabul. Tetapi, parlemen Belanda mengalokasikan 40 juta gulden bagi pembangunan pertanian sebagai bagian pelaksanaan politik etis pada 1901. Bergabung dengan modal tertanam kaum kapitalis swasta sejak 1870, dana pemerintah kolonial itu jelas kian menambah "likuiditas" masyarakat kolonial. Ujungnya, kian menguatkan sifat komersial masyarakat di Indonesia.

Peranan BI
Apa hubungan semua ini dengan penerapan Pancasila? Melihat sejarah kapitalisme di atas, tak perlu Marxisme untuk mengetahui, sejak awal realitas dan landasan material Indonesia bukanlah bentukan dan dikontrol bangsa sendiri. Sebab, akar sejarah commercial society lebih panjang dari proses pembentukan bangsa. Ini menyebabkan negara, pemegang otoritas politik, harus selalu menyesuaikan diri di dalam proses ekonomi. Judul berita utama Kompas (6/6), "Antisipasi Pemerintah Lambat", penyebab harga beberapa barang naik menjelang dan hari pertama bulan puasa 2016 dengan terang menunjukkan hal ini. Ini disambung berita utama The Jakarta Post (7/6): "Food Price Controls Failing" (Pengendalian Harga Pangan Gagal).

Keinginan Presiden Jokowi bahwa harga daging tetap pada Rp 80.000 per kilogram selama bulan puasa bertujuan mengurangi beban (ekonomi) rakyat. Gagasan Presiden itu sebenarnya menekankan sistem ekonomi Pancasila dalam versi Mubyarto, yaitu seperti diungkap dalam Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan (1987), selain rangsangan ekonomi, proses transaksi harus mempertimbangkan "rangsangan sosial dan moral". Namun, seperti tecermin dalam berita Kompas di atas, "hukum permintaan dan penawaran" alias "rangsangan ekonomi" tampak lebih kuat. Dalam arti kata lain, niat "Pancasilais" negara harus berhadapan dengan realitas yang tidak dibentuknya.

Dalam konteks inilah kita harus melihat Bank Indonesia (BI), bank sentral, pemegang otoritas moneter. Berbeda dengan Kementerian Keuangan pemegang otoritas fiskal, sebagai bank sentral, BI dihadapkan secara langsung pada commercial society yang bukan saja sangat dinamis, melainkan telah lahir jauh hari sebelum kemerdekaan. Sebagaimana terbaca dalam wawancara Deputi Senior BI Mirza Adtyaswara di The Jakarta Post (6/6), langkah BI menenangkan publik memerlukan pemahaman jitu dan kemampuan teknikal atas dinamika commercial society yang "tak bertepi" itu.

Bayangkan, walau secara geografis The Federal Reserve, bank sentral AS, sangat jauh dari Indonesia, rencana rapat Komite Pasar Terbuka Fed tentang kemungkinan naiknya suku bunga yang akan berlangsung pada 14-15 Juni ini segera memengaruhi persepsi aktor-aktor utama commercial society Indonesia.

Kondisi semacam ini kian rumit karena penyakit perekonomian AS yang mempengaruhi Indonesia itu juga belum teridentifikasikan. Mengutip Greg IP dalam artikel "Rewriting US Economic History" (The Wall Street Journal, 2/6), perekonomian itu dihinggapi anomali. Sementara belanja masyarakat (consumer spending) meningkat, bisnis investasi justru sebaliknya. Dalam pandangan Greg, fakta ini bukan saja memperlihatkan belum berakhirnya Resesi Besar yang dimulai 2009, melainkan a deeper malaise (penyakit lebih parah) yang mendahului atau bahkan mendorong krisis finansial itu.

Implikasinya penting kita lihat untuk menunjukkan betapa daya bujuk teknikal dalam pembuatan kebijakan lebih dibutuhkan daripada tindakan politik. Mengapa? Karena bahkan teori pertumbuhan dalam kepungan psikologi malaise itu belum terpecahkan. Yang bisa dilakukan adalah mendiagnosis mengapa pertumbuhan tak terjadi, yaitu karena resesi dengan latar belakang malaiseitu menimbulkan keraguan akan masa depan. Inilah yang terjadi pasca-2009. Kendatipun suku bunga turun drastis, investasi tak kunjung menaik. Akibatnya, pertumbuhan melambat. Keburaman masa depan itu menurunkan semangat berbelanja. "Businesses' and households' anticipation of less growth in the future," tulis Greg, "explains lackluster spending", Dan, seperti lingkaran setan, turunnya spending atau belanja mengancam pertumbuhan.

Ironisnya, "campur tangan politik", yaitu menggunakan resep stimulus fiskal dan moneter, bukan saja tidak efektif, tetapi justru menimbulkan persoalan baru. Di sini, Greg mengutip Gubernur The Fed Jay Powell: "Masa panjang suku bunga rendah bisa mengarah kepada spekulasi (risk taking) berkelebihan dan memperpanjang tingginya harga-harga aset dan pertumbuhan kredit."

Apa yang kita lihat di sini? Yang jelas,commercial society mempunyai logika kalkulasi tersendiri dan hanya tunduk pada mekanisme itu. Maka, jangankan "menaklukkan", negara seadidaya AS pun masih harus berjuang untuk "memahami"-nya. Persoalannya adalah bahwa teka-teki atau ketidakpastian perekonomian AS yang lahir dari psikologi malaise itu, seperti disebut di atas, berpotensi mempengaruhi perekonomian Indonesia. Di sini, dalam posisi terbalik, rumusan Soekarno pada 1930 tentang kapitalisme dan imperialisme tetap mengaum. Jika pada masa itu, dana negara-negara kapitalis menjadi pancingan menyedot sumber daya ekonomi Indonesia, kini, melalui kemungkinan kenaikan suku bunga The Fed, dana dalam mata uang AS berpotensi lari dari negeri ini. Seperti telah ditegaskan, landasan realitas material Indonesia tidak dibentuk oleh kekuatan-kekuatan dalam negeri.

Kerumitan yang lahir dari landasan "realitas material" bentukan kekuatan-kekuatan global commercial society inilah yang dihadapi BI sehari-hari. Sesuai logika kalkulatif aktor-aktor commercial society, kenaikan bunga The Fed mempunyai pengaruh panjang. Dimulai dengan pelarian modal, diikuti depresiasi rupiah. Yang terakhir ini melahirkan imported inflation dan pengurangan cadangan devisa. Ujungnya, lahirnya defisit neraca transaksi berjalan dan, sebagai akibatnya, hilangnya kepercayaan investor. Secara normatif, Pancasila adalah ideologi politik. Tetapi, "realitas material"-nya yang memengaruhi nasib ekonomi bangsa dibentuk oleh kekuatan-kekuatan suprabangsa. BI berada di garis terdepan menghadapinya.

oleh Fachry Ali
disadur dari Kompas, Selasa, 14 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar