Saya setuju penetapan 1 Juni sebagai
hari lahir Pancasila. Walaupun urut-urutan silanya berbeda ketika dirumuskan
secara resmi dan tercantum dalam Mukadimah Konstitusi pada 18 Agustus 1945,
nama dan gagasan besar ideologi negara itu sepenuhnya milik Soekarno.
Masalahnya adalah seliweran gagasan
menjelang dan setelah 1 Juni tentang Pancasila tahun ini-seperti juga
tahun-tahun lalu, juga mungkin tahun depan-selalu bersifat normatif: anggapan
bahwa semua kesalahan di Indonesia terletak pada absennya pelaksanaan Pancasila
secara murni dan konsekuen. Tak ada pertanyaan apakah Pancasila itu terlalu
"agung" hingga sulit diterjemahkan ke dalam "realitas
konkret" Indonesia?
Hemat saya, analisis atas
"realitas konkret" Indonesia inilah yang dilakukan pencetus
Pancasila, Soekarno, dalam pidato pembelaannya di Pengadilan Kolonial pada 1930.
Sambil melihat bahkan Sriwijaya dan Majapahit sebagai wujud imperialisme, dalam
pembelaan berjudul "Indonesia Menggugat" itu Soekarno mengesankan
pemerintah kolonial juga korban kekuatan besar pembentuk "realitas
konkret" itu: kapitalisme dan imperialisme.
Ujarnya, "Sangkaan imperialisme
itu kaum amtenar, atau bangsa kulit putih, atau pemerintah... adalah salah sama
sekali." Sebab, dalam pandangan Soekarno, kapitalisme adalah "sistem
pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh
dengan alat-alat produksi, yang karenanya menjadi sebab nilai lebih tidak jatuh
ke tangan kaum buruh, melainkan... ke tangan majikan. Kapitalisme menyebabkan
akumulasi kapital... dan industrielle
reserve army (kelompok penganggur). Kapitalisme mempunyai arah kepada verelendung".
Yang terakhir ini berarti
memelaratkan kaum buruh. Dengan definisi ini, Soekarno menyimpulkan:
"Kapitalisme itu bukan suatu badan, bukan manusia,bukan suatu
bangsa." Dan dilanjutkannya: "Ia adalah suatu nafsu, suatu sistem
menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain...mengendalikan ekonomi atau
negeri bangsa lain." Dan imperialisme adalah anak modern kapitalisme,
yaitu "usaha meluaskan milik jajahan secara tidak terbatas.... untuk
keuntungan industri dan kapital bank mereka sendiri".
"Commercial society"
Kecuali pernak-perniknya, 86 tahun
setelah pidato pembelaan Soekarno itu, struktur pengaruh kekuatan global tidak
berubah, bahkan kian dalam dan rumit. Benar, kemerdekaan Indonesia cetusan
Soekarno-Hatta (1945) adalah subyektivisme bangsa membentuk "realitas
politik" sendiri. Akan tetapi, secara struktural kemerdekaan tersebut
terpaksa tergelar di atas "realitas konkret" bentukan kapitalisme dan
imperialisme. Di sini, negara sebagai pemegang kedaulatan politik harus
terus-menerus bernegosiasi dengan kekuatan abstrak ciptaan kapitalisme dan
imperialisme itu. Sebagai konsekuensinya, manuver menerapkan Pancasila menjadi
"sempit". Bagaimana ceritanya?
Salah satunya adalah karena
terbentuknya gabungan consumer society
dan market society (masyarakat
konsumen dan masyarakat pasar) yang bertransformasi menjadi masyarakat
komersial (commercial society).
Mengikuti logika Niall Ferguson dalam bukunya, Civilization: The West and the Rest (2011), keberadaan kedua
masyarakat inilah alasan utama kerja sama erat teknologi dan modal. Kemunculan
industri tekstil abad ke-18 di Inggris, bukan saja tanda mulainya Revolusi
Industri, melainkan juga tercipta kemampuan daya beli masyarakat.
Melalui penciptaan pabrik tenun,
produksi meningkat berkali lipat. Ini mendorong harga barang lebih murah dan
terjangkau masyarakat. Semakin luas masyarakat pembeli, semakin merangsang
investasi modal dan temuan-temuan teknologi baru lebih lanjut. Inilah proses
terciptanya commercial society, yakni
himpunan sosial yang mendasari kesintasan hidup melalui mekanisme
transaksional. Di sini, konsumen dan produsen menyatu dengan lainnya tanpa,
menurut Pierre Manent, filosof Belanda abad ke-18, "harus berbagi
pandangan hidup".
Ucapan Manent yang dikutip Samuel
Gregg dalam The Commercial Society (2007)
ini menyiratkan aspek struktural perluasan masyarakat ini ke tingkat global,
yakni ketika kelebihan produk industrial tak mampu terserap pada tingkat
domestik melahirkan kebutuhan ekspansi ke luar Eropa. Struktur usaha
merkantilisme lahir melalui proses ini, ketika tambahan investasi modal dan
temuan-temuan teknologi lanjutan mendapat proteksi politik otoritas kekuasaan
negara bersangkutan dalam memperluas pasar bagi produk industrinya. Lahirnya
masyarakat konsumen global dengan metode inilah yang dimaksud Soekarno sebagai
"imperialisme".
Dengan fakta dan logika itu kita
bisa menyimpulkan bahwa kemunculan masyarakat konsumen di Indonesia telah
berlangsung lebih dari 100 tahun sebelum kemerdekaan. Sebab, peredaran uang
dalam jumlah tak berpreseden telah berlangsung sejak 1830, ketika sistem tanam
paksa diterapkan negara kolonial di Jawa. Mengutip Cornelis Fasseur dalam The Politics of Colonial Exploitation: Java,
the Dutch and the Cultivation System (1992), diketahui telah beredar dana 10
juta gulden pada 1840 dan 14,5 juta gulden pada 1860 di Jawa untuk memenuhi
seluruh keperluan sistem tanam paksa. Sudah tentu, dari jumlah itu, hanya
sebagian kecil tersangkut kepada petani dan elite pribumi Jawa. Hanya saja,
sistem pembayaran tunai kepada petani atas tanaman-tanaman ekspor yang
dipaksakan negara kolonial itu membuat cash
economy (ekonomi uang) mulai kian terasa.
Peredaran uang kian terjadi melalui
kebijakan "liberal" sejak 1870. Mulai saat itu, Jawa dan Indonesia
secara keseluruhan dibanjiri modal swasta mancanegara yang ditanamkan ke dalam
sistem perkebunan bertujuan ekspor. Sifat "liberal" ini secara tidak
langsung mendorong rakyat kian menjadi anggota commercial society. Berbeda dengan sistem tanam paksa, melalui UU
Agraria 1870 itu para investor swasta dapat menyewa tanah rakyat secara
langsung selama 70 tahun. Secara kasatmata, proses ini adalah tambahan aliran
uang ke tangan rakyat. Namun, secara teoretis, ini adalah proses transformasi
mental. Mengikuti Robert Heilbroner dalam The
Making of Economic Society (1962), tanah yang sebelumnya dihayati sebagai
wilayah pertuanan (great lord),
melalui proses penyewaan itu berubah menjadi komoditas.
Dan andai tuntutan Van Derventer
terpenuhi, perputaran uang di Jawa kian besar. Melalui tulisannya, "Een Eereschuld" (Utang Budi) pada
1899, tokoh politik etis ini menuntut negara induk (Belanda) mengembalikan uang
187 juta gulden plus 100 juta gulden ke Jawa. Ini tak terkabul. Tetapi,
parlemen Belanda mengalokasikan 40 juta gulden bagi pembangunan pertanian
sebagai bagian pelaksanaan politik etis pada 1901. Bergabung dengan modal
tertanam kaum kapitalis swasta sejak 1870, dana pemerintah kolonial itu jelas
kian menambah "likuiditas" masyarakat kolonial. Ujungnya, kian
menguatkan sifat komersial masyarakat di Indonesia.
Peranan
BI
Apa hubungan semua ini dengan
penerapan Pancasila? Melihat sejarah kapitalisme di atas, tak perlu Marxisme
untuk mengetahui, sejak awal realitas dan landasan material Indonesia bukanlah
bentukan dan dikontrol bangsa sendiri. Sebab, akar sejarah commercial society
lebih panjang dari proses pembentukan bangsa. Ini menyebabkan negara, pemegang
otoritas politik, harus selalu menyesuaikan diri di dalam proses ekonomi. Judul
berita utama Kompas (6/6), "Antisipasi Pemerintah Lambat", penyebab
harga beberapa barang naik menjelang dan hari pertama bulan puasa 2016 dengan
terang menunjukkan hal ini. Ini disambung berita utama The Jakarta Post (7/6): "Food
Price Controls Failing" (Pengendalian Harga Pangan Gagal).
Keinginan Presiden Jokowi bahwa
harga daging tetap pada Rp 80.000 per kilogram selama bulan puasa bertujuan
mengurangi beban (ekonomi) rakyat. Gagasan Presiden itu sebenarnya menekankan
sistem ekonomi Pancasila dalam versi Mubyarto, yaitu seperti diungkap dalam
Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan (1987), selain rangsangan ekonomi,
proses transaksi harus mempertimbangkan "rangsangan sosial dan
moral". Namun, seperti tecermin dalam berita Kompas di atas, "hukum
permintaan dan penawaran" alias "rangsangan ekonomi" tampak
lebih kuat. Dalam arti kata lain, niat "Pancasilais" negara harus
berhadapan dengan realitas yang tidak dibentuknya.
Dalam konteks inilah kita harus
melihat Bank Indonesia (BI), bank sentral, pemegang otoritas moneter. Berbeda
dengan Kementerian Keuangan pemegang otoritas fiskal, sebagai bank sentral, BI
dihadapkan secara langsung pada commercial
society yang bukan saja sangat dinamis, melainkan telah lahir jauh hari
sebelum kemerdekaan. Sebagaimana terbaca dalam wawancara Deputi Senior BI Mirza
Adtyaswara di The Jakarta Post (6/6),
langkah BI menenangkan publik memerlukan pemahaman jitu dan kemampuan teknikal
atas dinamika commercial society yang
"tak bertepi" itu.
Bayangkan, walau secara geografis
The Federal Reserve, bank sentral AS, sangat jauh dari Indonesia, rencana rapat
Komite Pasar Terbuka Fed tentang kemungkinan naiknya suku bunga yang akan
berlangsung pada 14-15 Juni ini segera memengaruhi persepsi aktor-aktor utama commercial society Indonesia.
Kondisi semacam ini kian rumit
karena penyakit perekonomian AS yang mempengaruhi Indonesia itu juga belum
teridentifikasikan. Mengutip Greg IP dalam artikel "Rewriting US Economic History" (The Wall Street Journal, 2/6), perekonomian itu dihinggapi anomali.
Sementara belanja masyarakat (consumer
spending) meningkat, bisnis investasi justru sebaliknya. Dalam pandangan
Greg, fakta ini bukan saja memperlihatkan belum berakhirnya Resesi Besar yang
dimulai 2009, melainkan a deeper malaise
(penyakit lebih parah) yang mendahului atau bahkan mendorong krisis finansial
itu.
Implikasinya penting kita lihat
untuk menunjukkan betapa daya bujuk teknikal dalam pembuatan kebijakan lebih
dibutuhkan daripada tindakan politik. Mengapa? Karena bahkan teori pertumbuhan
dalam kepungan psikologi malaise itu
belum terpecahkan. Yang bisa dilakukan adalah mendiagnosis mengapa pertumbuhan
tak terjadi, yaitu karena resesi dengan latar belakang malaiseitu menimbulkan
keraguan akan masa depan. Inilah yang terjadi pasca-2009. Kendatipun suku bunga
turun drastis, investasi tak kunjung menaik. Akibatnya, pertumbuhan melambat.
Keburaman masa depan itu menurunkan semangat berbelanja. "Businesses' and households' anticipation of
less growth in the future," tulis Greg, "explains lackluster spending", Dan, seperti lingkaran setan,
turunnya spending atau belanja
mengancam pertumbuhan.
Ironisnya, "campur tangan
politik", yaitu menggunakan resep stimulus fiskal dan moneter, bukan saja
tidak efektif, tetapi justru menimbulkan persoalan baru. Di sini, Greg mengutip
Gubernur The Fed Jay Powell: "Masa panjang suku bunga rendah bisa mengarah
kepada spekulasi (risk taking)
berkelebihan dan memperpanjang tingginya harga-harga aset dan pertumbuhan
kredit."
Apa yang kita lihat di sini? Yang
jelas,commercial society mempunyai
logika kalkulasi tersendiri dan hanya tunduk pada mekanisme itu. Maka,
jangankan "menaklukkan", negara seadidaya AS pun masih harus berjuang
untuk "memahami"-nya. Persoalannya adalah bahwa teka-teki atau
ketidakpastian perekonomian AS yang lahir dari psikologi malaise itu, seperti disebut di atas, berpotensi mempengaruhi
perekonomian Indonesia. Di sini, dalam posisi terbalik, rumusan Soekarno pada
1930 tentang kapitalisme dan imperialisme tetap mengaum. Jika pada masa itu,
dana negara-negara kapitalis menjadi pancingan menyedot sumber daya ekonomi
Indonesia, kini, melalui kemungkinan kenaikan suku bunga The Fed, dana dalam
mata uang AS berpotensi lari dari negeri ini. Seperti telah ditegaskan,
landasan realitas material Indonesia tidak dibentuk oleh kekuatan-kekuatan
dalam negeri.
Kerumitan yang lahir dari landasan
"realitas material" bentukan kekuatan-kekuatan global commercial society inilah yang dihadapi
BI sehari-hari. Sesuai logika kalkulatif aktor-aktor commercial society, kenaikan bunga The Fed mempunyai pengaruh
panjang. Dimulai dengan pelarian modal, diikuti depresiasi rupiah. Yang
terakhir ini melahirkan imported inflation dan pengurangan cadangan devisa.
Ujungnya, lahirnya defisit neraca transaksi berjalan dan, sebagai akibatnya,
hilangnya kepercayaan investor. Secara normatif, Pancasila adalah ideologi
politik. Tetapi, "realitas material"-nya yang memengaruhi nasib
ekonomi bangsa dibentuk oleh kekuatan-kekuatan suprabangsa. BI berada di garis
terdepan menghadapinya.
oleh Fachry Ali
disadur dari Kompas, Selasa, 14 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar