Harga bahan makanan yang tak kunjung
turun, meskipun pemerintah melakukan sejumlah upaya, mendorong kita mencari
akar masalah.
Pemerintah sebelumnya menginginkan
harga gula, bawang merah, minyak goreng, daging ayam dan telur, serta daging
sapi harus turun dari harga sebelum bulan puasa, bukan sekadar stabil.
Harga-harga bahan makanan tersebut
tak banyak bergerak turun meskipun dilakukan berbagai upaya. Daging beku
diimpor dengan penunjukan langsung importir selain Bulog. Operasi pasar terus
dilakukan di berbagai tempat.
Sejumlah peternak dan pengusaha
daging sapi rakyat mengatakan, apabila dipaksa menurunkan harga sesuai
keinginan pemerintah, mereka akan rugi karena di bawah biaya produksi.
Dari perkembangan tersebut, kita
dapat belajar satu hal, yaitu mengenali struktur biaya dan harga setiap
komoditas menjadi penting untuk pengambilan kebijakan.
Harga terbentuk karena biaya
produksi yang melekat pada komoditas, misalnya biaya bibit, pupuk dan pestisida
pada tanaman pangan, atau harga pakan serta anakan sapi dan ayam. Harga juga
dibentuk oleh biaya di luar komoditas, seperti biaya gudang, penyusutan, musim
tanam, nilai tukar rupiah, dan kebijakan pemerintah.
Setiap komoditas memiliki struktur
biaya khas. Bawang merah, misalnya, susut bobotnya cukup tinggi, sekitar 30 persen,
dan tidak tahan lama tanpa penyimpanan suhu rendah. Jika ditambah ongkos
transportasi, selisih menjadi cukup tinggi antara harga di konsumen dan di
petani.
Nilai tukar rupiah sangat menentukan
harga daging dan telur ayam karena 70 persen biaya produksi ditentukan harga
pakan yang separuhnya adalah jagung dan sebagian besar masih impor. Sementara
induk untuk anak ayam (DOC) seluruhnya diimpor.
Begitu pula daging sapi. Pemerintah
ingin segera berswasembada, tetapi peternakan dalam negeri yang sebagian besar
diusahakan rakyat belum mampu memenuhi kebutuhan. Pemerintah menetapkan kuota
impor sapi bakalan setiap tiga bulanan, menyebabkan Indonesia harus membeli
mahal dari Australia sebagai sumber utama sapi impor kita. Negara itu memilih
menjual sapinya ke negara lain yang membuat kontrak jangka panjang karena lebih
memberikan kepastian pasar.
Agar tahun depan kita tidak kembali
menghadapi kerepotan yang sama bila bulan puasa dan Lebaran tiba, perencanaan
jangka panjang menjadi penting.
Kita mengharap pemerintah dapat arif
dan bijaksana berdialog dengan para pemangku kepentingan, dari petani,
peternak, pengusaha, hingga pedagang, agar bersama menjaga ketersediaan pangan
dengan harga yang dapat diterima masyarakat dan pemangku kepentingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar