Kita mencatat bahwa ekonomi
Indonesia dalam triwulan pertama 2016 hanya tumbuh 4,92 persen. Lalu timbul
banyak reaksi dan pertanyaan tentang efektivitas paket kebijakan pemerintah.
Saya kira, kita harus berhati-hati
menyimpulkan. Sebagian besar paket kebijakan pemerintah berorientasi kepada
sisi produksi (supply side), yang
baru memiliki dampak jangka panjang. Dan kita butuh itu. Namun, tampaknya kita
juga perlu mendorong ekonomi segera. Karena itu, kebijakan yang ada ini harus
dikombinasikan dengan upaya meningkatkan permintaan dalam jangka pendek.
Situasi ini mengingatkan saya pada
tulisan ekonom John Maynard Keynes tahun 1923, "Jangka panjang adalah
panduan yang palsu untuk menjelaskan kekinian. Dalam jangka panjang, kita semua
akan mati. Tak ada gunanya jika dalam situasi yang bergejolak, para ekonom
hanya mampu menjelaskan keadaan jangka panjang. Situasi di mana badai telah
reda dan laut kembali tenang." Dalam tulisannya yang cerdas, ia ingin
mengatakan, tak ada gunanya kebijakan ekonomi bila tak mampu menjawab masalah
jangka pendek dan hanya bicara jangka panjang.
Penawaran-permintaan
Lewat kalimatnya, Keynes juga
mengkritik ekonom klasik Jean Baptiste Say, yang percaya bahwa penawaran akan
menciptakan permintaannya sendiri. Jean Baptiste Say percaya: dengan
berproduksi seseorang akan memperoleh pendapatan, dan dengan itu ia dapat
membeli barang. Dengan logika ini peningkatan produksi (penawaran) akan
mendorong permintaan. Inilah yang menjadi premis dari Supply side economics.
Kelompok ini percaya bahwa
pertumbuhan ekonomi dapat diciptakan melalui peningkatan investasi modal, dan
dikombinasikan dengan penurunan berbagai hambatan (deregulasi, insentif pajak)
dalam proses produksi barang dan jasa. Menarik untuk dilihat: resep ini mirip
sekali dengan strategi pembangunan infrastruktur, deregulasi ekonomi, penurunan
suku bunga untuk mendorong investasi, insentif pajak dan yang lainnya, yang
diterapkan pemerintah sekarang.
Sebaliknya, Keynes mengatakan: dalam
jangka pendek permintaanlah yang menciptakan penawaran. Mudahnya: jika ada
permintaan barang dan jasa, maka dunia usaha akan melihat peluang usaha. Mereka
akan meningkatkan produksi. Dengan ini ekonomi bergerak. Sebaliknya, jika
produksi ditingkatkan, sementara permintaan tak ada, maka barang tak terjual.
Stok meningkat. Lalu, untuk apa melakukan ekspansi usaha? Ekonomi mandek,
pengangguran meningkat. Karena itu, menurut Keynes: solusi yang efektif, dalam
jangka pendek, adalah intervensi pemerintah melalui upaya peningkatan
permintaan dan daya beli.
Debat ini sangat relevan dengan
situasi ekonomi kita saat ini. Bagaimana kita menjelaskannya? Pertama, kita
hidup di dalam dunia yang saling bergantung. Perlambatan ekonomi global dan
ekonomi Tiongkok tentu saja memengaruhi ekspor Indonesia. Tiongkok adalah
konsumen terbesar untuk komoditas dan energi. Dan kita tahu bahwa lebih dari 60
persen ekspor Indonesia terkait erat dengan komoditas dan energi. Akibatnya,
ekspor kita anjlok.
Sebenarnya, dalam situasi seperti
ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia 5 persen saja sudah relatif baik. Bandingkan
dengan negara penghasil sumber daya alam lain, seperti Brasil, Rusia, Afrika
Selatan, Malaysia, dan Australia. Tentu pertanyaan lanjutannya: bagaimana
dengan Vietnam dan Filipina? Kita tidak boleh merasa puas. Itu sebabnya
pertumbuhan harus didorong. Dengan kondisi global seperti ini, sumber
pertumbuhan domestik harus dipacu.
Kedua, sebagian besar kebijakan
pemerintah memang berorientasi pada supply
side. Untuk efektif, kebijakan ini membutuhkan waktu yang panjang.
Infrastruktur, misalnya, baru akan menciptakan lapangan kerja ketika proyek
mulai dibangun dan berjalan. Dan itu membutuhkan waktu, terutama urusan
pembebasan lahan. Begitu juga dengan deregulasi ekonomi. Deregulasi akan
mendorong investor untuk mulai melakukan ekspansi usaha. Namun, mulai dari
investasi masuk, membuat pabrik, dan menghasilkan produk membutuhkan waktu.
Selain itu, deregulasi di tingkat pemerintah pusat hanya menyelesaikan sebagian
kecil persoalan. Mengapa? Karena sebagian besar permasalahan izin ada di
daerah. Tanpa deregulasi di daerah, investasi akan tetap mandek.
Bagaimana dengan penurunan bunga?
Penurunan tingkat bunga tak mendorong investasi secepat yang diharapkan. Malah
kredit yang tak dicairkan (undisbursed
loan) di triwulan I-2016 justru meningkat. Di sini argumen Keynes menjadi
penting: jika permintaan terhadap barang dan jasa lemah, untuk apa dunia usaha
meminta kredit dan melakukan ekspansi produksi? Walaupun perizinan dipermudah,
jika permintaan tidak ada, untuk apa melakukan ekspansi bisnis? Pendekatan supply side hanya akan menolong ekonomi
dalam jangka panjang. Namun, ia tak menyelesaikan soal jangka pendek. Ekonomi
akan mandek, persis seperti kalimat Keynes di atas.
Perhitungan kuantitatif oleh Basri,
Fitrania dan Zahro (2016) menunjukkan temuan menarik. Dalam kasus Indonesia,
kausalitas antara konsumsi dan investasi terjadi di mana konsumsi mempengaruhi
investasi dan bukan sebaliknya. Studi ini menunjukkan peningkatan konsumsi akan
mendorong investasi satu triwulan kemudian. Namun sebaliknya, peningkatan
investasi tak meningkatkan konsumsi secara signifikan. Implikasinya: upaya
deregulasi, penurunan suku bunga tak serta-merta menghasilkan permintaan
seperti diperkirakan dalam hukum Say. Sebaliknya, peningkatan konsumsi akan
mendorong produksi dalam jangka pendek. Jadi jika ingin menggerakkan ekonomi
jangka pendek, tingkatkan konsumsi. Studi kuantitatif ini mendukung argumen
Keynes dalam kasus Indonesia.
Ketiga, benar bahwa pemerintah
melakukan ekspansi fiskal dengan meningkatkan defisit anggaran. Namun, kita
harus melihat efek dinamisnya. Ekspansi fiskal dibiayai oleh pajak. Ketika
ekonomi melambat, peningkatan pajak justru akan menimbulkan kontraksi. Memang uang
ini disuntikkan kembali ke perekonomian dalam bentuk belanja infrastruktur.
Namun, belanja infrastruktur baru menghasilkan output belakangan. Jadi yang
terjadi dalam jangka pendek justru kontraksi ekonomi. Stimulus melalui belanja
baru terasa dalam jangka waktu panjang. Dampaknya bisa diduga: ekonomi mandek.
Jangka
panjang-jangka pendek
Lalu, salahkah orientasi kepada supply side? Saya kira tidak.
Persoalannya hanyalah soal waktu. Ia membutuhkan waktu yang panjang. Sayangnya,
ekonomi tak bisa menunggu. Karena itu kebijakan supply side ini perlu dikombinasikan dengan peningkatan permintaan
dalam waktu yang sangat pendek (kurang dari satu tahun). Apa yang bisa
dilakukan? Solusinya adalah stimulus fiskal. Masalahnya, dengan penerimaan
pajak yang terpukul tajam akibat perlambatan ekonomi dan penurunan harga
komoditas, bagaimana ekspansi fiskal harus dilakukan?
Apalagi dalam RAPBN Perubahan 2016,
belanja pemerintah malah dipotong Rp 47,8 triliun. Artinya, ada kendala dalam
anggaran. Dalam kondisi seperti ini, stimulus fiskal harus diarahkan kepada
masyarakat yang memiliki kecenderungan mengonsumsi (marginal propensity to consume) yang tinggi dan segera. Itu artinya
peningkatan pendapatan bagi kelompok menengah bawah. Jika mereka memperoleh
penghasilan, maka konsumsi dalam negeri dapat didorong. Pemerintah memang
merencanakan menggulirkan gaji ke-13 dan 14, dan juga telah menaikkan batas
Penghasilan Tidak Kena Pajak agar konsumsi meningkat.
Namun, ini hanya mencakup pegawai
negeri atau mereka yang bekerja di sektor formal. Tentu ini tak cukup. Seperti
pernah saya sampaikan di harian ini: alokasikan dana dan perluas program cash transfer, cash for work. Buat
proyek padat karya jangka pendek yang bisa memberikan pendapatan segera bagi
orang, misalnya membersihkan kali, selokan, membangun jalan desa. Nilai
proyeknya tak terlalu besar, tak akan mengganggu defisit transaksi berjalan,
tak akan mengganggu defisit anggaran. Namun, efek penggandanya besar. Begitu
mereka menerima pendapatan, konsumsi akan meningkat. Begitu konsumsi
meningkat-seperti temuan studi di atas-investasi akan naik. Ekonomi akan
bergerak.
Benar, bahwa peningkatan daya beli
dicoba didorong melalui Dana Desa. Masalahnya itu membutuhkan waktu agar aparat
desa siap. Aparat desa tidak berpengalaman dan mungkin takut mencairkan uang.
Akibatnya, dampak permintaan tak terjadi di pedesaan. Sebenarnya untuk
mengatasi ini, infrastruktur desa bisa dibangun lewat Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), yang tata kelolanya sudah relatif mapan.
Sayangnya, program ini sudah tak lagi dilanjutkan. Apa lagi? Pastikan inflasi
dan harga makanan dapat dikendalikan agar daya beli terjaga. Dengan ini
konsumsi akan mendorong perekonomian dalam jangka pendek.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
selama ini ada dalam arah yang benar, tetapi ia bersifat jangka panjang.
Padahal, ekonomi harus didorong segera dengan kebijakan jangka pendek. Waktu
tak bersama kita. "In the long run
we are all dead", begitu ujar Keynes. Dan saya kira, Keynes benar.
oleh Muhamad Chatib Basri
disadur dari Kompas, Kamis, 16 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar