Editors Picks

Sabtu, 18 Juni 2016

Politik Pangan



Isu pangan kembali mencuat dan seolah membuat negeri agraris ini tak berdaya. Harga pangan yang menggila (daging, bawang, minyak goreng, dan lain-lain) di tingkat konsumen membuat beberapa legislator melontarkan sikap kritis.

Instabilitas harga pangan yang terjadi setiap tahun seolah membuat kementerian yang bertanggung jawab mengamankan stok pangan kelimpungan. Alhasil, aksi operasi pasar pun gencar dilakukan sebagai pendekatan jangka pendek untuk menstabilkan harga pangan.

Namun, disadari, stabilisasi harga pangan tak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan kata lain, pemahaman secara komprehensif tentang pangan sangat dibutuhkan dan mendesak. Oleh karena itu, sangat ironis jika panjangnya rantai pasok pangan selalu dikambinghitamkan sebagai penyebab masalah instabilitas harga pangan! Bukan sebaliknya, ikut memahami realitas kuasa pangan dari para pelaku utama (pemerintah, petani/peternak, dan swasta/pedagang) penyedia pangan untuk rakyat.

Sehubungan dengan konteks kuasa pangan tersebut, maka menjadi penting untuk memahami logika politik pangan, yakni logika kepentingan yang dibangun dari basis relasi para pelaku penyedia pangan. Dengan demikian, pertanyaannya adalah bagaimana relasi kuasa pangan yang ada saat ini? Lalu, apa saja upaya yang perlu segera dilakukan agar persoalan instabilitas harga pangan tak mentradisi setiap tahunnya?

Relasi kapitalistik
Instruksi Presiden Joko Widodo kepada para pembantunya untuk menjungkirbalikkan harga pangan menjelang puasa dan Lebaran adalah momentum tepat untuk membaca relasi kuasa pangan yang ada saat ini. Setidaknya ada tiga pesan yang tersirat dari instruksi itu. Pertama, realitas kondisi pengorganisasian petani yang ada saat ini. Kedua, memahami kecenderungan kepentingan swasta (pedagang). Ketiga, efektivitas kinerja pemerintah (kementerian yang bertanggung jawab menangani persoalan ini).

Dari tiga pesan tersirat di atas, tampaknya tradisi instabilitas harga pangan yang terjadi setiap tahun disebabkan dominannya relasi kapitalistik, di mana kekuatan modal swasta mampu mengatur pangan di negeri ini. Kebijakan importasi pangan tidak serta-merta hadir apabila petani kita memiliki kekuatan untuk menyediakan pangan.

Lemahnya kebijakan pengorganisasian petani adalah bukti relasi popularisme di mana petani sebagai pilar kekuatan dalam kuasa pangan sama sekali belum serius digarap. Alhasil, tampilnya relasi kapitalistik yang dominan tersebut telah berhasil membuka ruang bagi para pemburu rente mengambil keuntungan di balik mentradisinya instabilitas harga pangan di negeri ini.

Tak hanya itu, dampak dari dominannya relasi kapitalistik dalam kuasa pangan menyebabkan perwujudan kedaulatan pangan jadi utopis. Jika demikian halnya, maka ungkapan Bung Karno lebih dari setengah abad lalu, yakni "soal pangan adalah soal hidup matinya bangsa", menjadi keniscayaan.

Simaklah daftar impor pangan yang dikeluarkan BPS sepanjang Januari-Agustus 2015: beras 225.029 ton (97,8 juta dollar AS), jagung 2,3 juta ton (522,9 juta dollar), kedelai 1,52 juta ton (719,8 juta dollar), biji gandum dan meslin 4,5 juta ton (1,3 miliar dollar), tepung terigu 61.178 ton (22,3 juta dollar), gula pasir 46.298 ton (19,5 juta dollar), gula tebu (raw sugar) 1,98 juta ton (789 juta dollar), garam 1,04 juta ton (46,6 juta dollar), dan daging 302.000 ton (121 juta dollar). Artinya, data ini kian mempertegas bahwa tampilnya relasi kapitalistik yang dominan dalam kuasa pangan menjadi ancaman masa depan bangsa Indonesia yang, katanya, agraris.

Menuju popularisme
Sudah saatnya kita tidak bermimpi dan terus membangun slogan untuk berswasembada beras, daging, atau swasembada pangan lainnya dalam waktu dekat, tetapi terlebih dahulu melakukan penataan relasi kuasa pangan di negeri ini. Saatnya slogan Nawacita dipraksiskan di lapangan, di mana pertanian, desa, dan agraria dijadikan sebagai basis untuk menghidupkan kembali kejayaan negeri agraris ini.

Menitikberatkan kekuatan petani (relasi popularisme) dalam kuasa pangan menjadi hal yang mutlak. Di sini negara harus mampu menggiring para pihak untuk berjibaku di pedesaan, bersama-sama petani menata persoalan pangan yang dihadapi negeri agraris ini.

Untuk itu, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan. Pertama, melakukan konsolidasi dan pengorganisasian pangan untuk rakyat. Konsolidasi dan pengorganisasian tersebut bisa dilakukan dengan menerbitkan instrumen berupa peraturan presiden (perpres) yang mengatur lintas sektor agar lebih fokus pada petani, pengembangan komoditas strategis, penerapan inovasi teknologi pertanian, dan rekayasa kelembagaan. Cerita sukses "Bimas" dapat dijadikan pembelajaran untuk melakukan rekonstruksi pangan untuk rakyat.

Kedua, memberdayakan lulusan perguruan tinggi dan pemuda desa untuk membangun kewirausahaan sosial pangan di pedesaan. Setidaknya upaya kedua ini bisa mengatasi problem: lambatnya inovasi teknologi pertanian di pedesaan, panjangnya rantai pasok, penanganan bonus demografi, dan berkurangnya angkatan muda desa untuk bekerja di sektor pertanian.

Ketiga, mengatur dan menata pasar domestik, serta melakukan penetrasi pasar internasional melalui persekutuan pangan dengan negara lain. Pada beberapa komoditas pangan (seperti daging ayam dan hortikultur), Indonesia sudah memiliki daya saing, meski belum tertata dengan baik dalam pendistribusiannya. Di satu sisi, segmentasi pasar domestik harus diatur sedini mungkin agar konflik pelaku di dalam negeri tidak terjadi dan petani dirugikan, dan di sisi lain memanfaatkan besarnya peluang penetrasi pasar di negara-negara Muslim.

oleh Sofyan Sjaf
disadur dari Kompas, Rabu, 15 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar