Isu pangan kembali mencuat dan
seolah membuat negeri agraris ini tak berdaya. Harga pangan yang menggila (daging,
bawang, minyak goreng, dan lain-lain) di tingkat konsumen membuat beberapa
legislator melontarkan sikap kritis.
Instabilitas harga pangan yang
terjadi setiap tahun seolah membuat kementerian yang bertanggung jawab
mengamankan stok pangan kelimpungan. Alhasil, aksi operasi pasar pun gencar
dilakukan sebagai pendekatan jangka pendek untuk menstabilkan harga pangan.
Namun, disadari, stabilisasi harga
pangan tak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan kata lain, pemahaman
secara komprehensif tentang pangan sangat dibutuhkan dan mendesak. Oleh karena
itu, sangat ironis jika panjangnya rantai pasok pangan selalu dikambinghitamkan
sebagai penyebab masalah instabilitas harga pangan! Bukan sebaliknya, ikut
memahami realitas kuasa pangan dari para pelaku utama (pemerintah,
petani/peternak, dan swasta/pedagang) penyedia pangan untuk rakyat.
Sehubungan dengan konteks kuasa
pangan tersebut, maka menjadi penting untuk memahami logika politik pangan,
yakni logika kepentingan yang dibangun dari basis relasi para pelaku penyedia
pangan. Dengan demikian, pertanyaannya adalah bagaimana relasi kuasa pangan
yang ada saat ini? Lalu, apa saja upaya yang perlu segera dilakukan agar
persoalan instabilitas harga pangan tak mentradisi setiap tahunnya?
Relasi
kapitalistik
Instruksi Presiden Joko Widodo
kepada para pembantunya untuk menjungkirbalikkan harga pangan menjelang puasa
dan Lebaran adalah momentum tepat untuk membaca relasi kuasa pangan yang ada
saat ini. Setidaknya ada tiga pesan yang tersirat dari instruksi itu. Pertama,
realitas kondisi pengorganisasian petani yang ada saat ini. Kedua, memahami
kecenderungan kepentingan swasta (pedagang). Ketiga, efektivitas kinerja
pemerintah (kementerian yang bertanggung jawab menangani persoalan ini).
Dari tiga pesan tersirat di atas,
tampaknya tradisi instabilitas harga pangan yang terjadi setiap tahun
disebabkan dominannya relasi kapitalistik, di mana kekuatan modal swasta mampu
mengatur pangan di negeri ini. Kebijakan importasi pangan tidak serta-merta
hadir apabila petani kita memiliki kekuatan untuk menyediakan pangan.
Lemahnya kebijakan pengorganisasian
petani adalah bukti relasi popularisme di mana petani sebagai pilar kekuatan
dalam kuasa pangan sama sekali belum serius digarap. Alhasil, tampilnya relasi
kapitalistik yang dominan tersebut telah berhasil membuka ruang bagi para
pemburu rente mengambil keuntungan di balik mentradisinya instabilitas harga
pangan di negeri ini.
Tak hanya itu, dampak dari
dominannya relasi kapitalistik dalam kuasa pangan menyebabkan perwujudan kedaulatan
pangan jadi utopis. Jika demikian halnya, maka ungkapan Bung Karno lebih dari
setengah abad lalu, yakni "soal pangan adalah soal hidup matinya
bangsa", menjadi keniscayaan.
Simaklah daftar impor pangan yang
dikeluarkan BPS sepanjang Januari-Agustus 2015: beras 225.029 ton (97,8 juta
dollar AS), jagung 2,3 juta ton (522,9 juta dollar), kedelai 1,52 juta ton
(719,8 juta dollar), biji gandum dan meslin 4,5 juta ton (1,3 miliar dollar),
tepung terigu 61.178 ton (22,3 juta dollar), gula pasir 46.298 ton (19,5 juta
dollar), gula tebu (raw sugar) 1,98 juta ton (789 juta dollar), garam 1,04 juta
ton (46,6 juta dollar), dan daging 302.000 ton (121 juta dollar). Artinya, data
ini kian mempertegas bahwa tampilnya relasi kapitalistik yang dominan dalam
kuasa pangan menjadi ancaman masa depan bangsa Indonesia yang, katanya,
agraris.
Menuju
popularisme
Sudah saatnya kita tidak bermimpi
dan terus membangun slogan untuk berswasembada beras, daging, atau swasembada
pangan lainnya dalam waktu dekat, tetapi terlebih dahulu melakukan penataan
relasi kuasa pangan di negeri ini. Saatnya slogan Nawacita dipraksiskan di
lapangan, di mana pertanian, desa, dan agraria dijadikan sebagai basis untuk
menghidupkan kembali kejayaan negeri agraris ini.
Menitikberatkan kekuatan petani
(relasi popularisme) dalam kuasa pangan menjadi hal yang mutlak. Di sini negara
harus mampu menggiring para pihak untuk berjibaku di pedesaan, bersama-sama
petani menata persoalan pangan yang dihadapi negeri agraris ini.
Untuk itu, ada beberapa upaya yang
bisa dilakukan. Pertama, melakukan konsolidasi dan pengorganisasian pangan
untuk rakyat. Konsolidasi dan pengorganisasian tersebut bisa dilakukan dengan
menerbitkan instrumen berupa peraturan presiden (perpres) yang mengatur lintas
sektor agar lebih fokus pada petani, pengembangan komoditas strategis,
penerapan inovasi teknologi pertanian, dan rekayasa kelembagaan. Cerita sukses
"Bimas" dapat dijadikan pembelajaran untuk melakukan rekonstruksi
pangan untuk rakyat.
Kedua, memberdayakan lulusan
perguruan tinggi dan pemuda desa untuk membangun kewirausahaan sosial pangan di
pedesaan. Setidaknya upaya kedua ini bisa mengatasi problem: lambatnya inovasi
teknologi pertanian di pedesaan, panjangnya rantai pasok, penanganan bonus
demografi, dan berkurangnya angkatan muda desa untuk bekerja di sektor
pertanian.
Ketiga, mengatur dan menata pasar
domestik, serta melakukan penetrasi pasar internasional melalui persekutuan
pangan dengan negara lain. Pada beberapa komoditas pangan (seperti daging ayam
dan hortikultur), Indonesia sudah memiliki daya saing, meski belum tertata
dengan baik dalam pendistribusiannya. Di satu sisi, segmentasi pasar domestik
harus diatur sedini mungkin agar konflik pelaku di dalam negeri tidak terjadi
dan petani dirugikan, dan di sisi lain memanfaatkan besarnya peluang penetrasi
pasar di negara-negara Muslim.
oleh Sofyan Sjaf
disadur dari Kompas, Rabu, 15 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar